Selasa, Mei 6, 2025

Menahan Amarah, Kunci Kedamaian Sosial

Zikra Maulida
Zikra Maulida
Saat ini saya adalah seorang mahasiswa dari jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe. Saya tertarik untuk belajar menulis, karena saya ingin membagikan tulisan saya kepada publik. dan saya percaya bahwa tulisan adalah jembatan ilmu dan kehidupan nyata.
- Advertisement -

Di era revolusi industri 4.0, kita masih sering melihat maraknya pertikaian yang terjadi baik di dunia nyata dan dunia maya. Debat kecil di media sosial bisa dengan cepat berubah menjadi pertikaian hanya karena perbedaan pendapat. Pertikaian ini pun bisa terjadi dalam bentuk apapun dan dimanapun, bahkan bisa terjadi dengan orang terdekat dengan kita sendiri. Ini menunjukkan betapa destruktifnya amarah yang tidak terkendali menjadi sumber keretakan hubungan sosial. Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa hidup dengan damai jika kita tidak bisa menahan amarah?

Dalam tulisan ini, saya menggunakan kitab Tafsir al-Munir sebagai rujukan utama. Menurut saya, Tafsir al-Munir merupakan kitab tafsir kontemporer yang menambahkan makna dengan penjelasan konseptual, linguistik, dan pertimbangan sosial serta psikologis. Pendekatan kitab ini juga lebih cocok dan relevan dengan pembaca kontemporer yang membutuhkan pemahaman lebih mendalam.

Allah SWT berfirman: “…dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali-Imran: 134). Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Al-Quran juga berbicara tentang bagaimana kita bisa hidup bersosial dengan damai, bukan hanya tentang akhirat saja. Al-Quran juga hadir bukan hanya sebagai kitab ritual saja, tetapi juga sebagai kitab yang berisi panduan moral dan sosial.

Mengutip dari penjelasan kitab Tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhaili, maksud dari “orang-orang yang menahan amarahnya” adalah orang-orang yang apabila emosinya terbakar maka ia menyembunyikan dan menahan kemarahannya meskipun ia sebenarnya mampu untuk meluapkannya, bukan berarti karena ia lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk meluapkan. Namun sebaliknya, orang yang mampu untuk menahan amarahnya adalah orang yang kuat. Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda: “Orang yang kuat bukanlah karena kekuatan fisiknya, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dan mengontrol dirinya tatkala marah.”

Adapun cara untuk mengatasi amarah, Rasulullah telah menjelaskan melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari ‘Athiyyah bin Sa’ad as-Sa’di, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya marah adalah (pengaruh godaan) dari setan dan sesungguhnya setan diciptakan dari api, sedangkan api dipadamkan dengan air. Maka oleh karena itu, jika salah satu dari kalian marah, maka hendaklah ia mengambil air wudhu.”

Wudhu bukan hanya sebagai syarat sah dalam salat, tetapi wudhu juga bisa menjadi cara untuk menenangkan diri saat kita marah. Hal ini telah dibuktikan dalam beberapa riset psikologi bahwa air dingin yang membasuh tubuh saat berwudhu dapat menstimulasi sistem saraf parasimpatis, yang bertugas menenangkan tubuh sehingga memperlambat reaksi tubuh terhadap stres termasuk perasaan marah.

Bayangkan saja bagaimana damainya hidup jika kita mampu untuk menahan amarah dan berpikir bahwa ketika kita tidak meluapkannya bukan artinya kita lemah, tapi justru artinya kita memiliki kecerdasan emosional yang lebih matang dalam merespon sesuatu. Jika setiap individu dari kita bisa melakukannya, mungkin saja pertikaian yang sering terjadi bisa untuk dihindari. Dan kita tidak akan mudah tersulut oleh perasaan marah karena komentar pedas atau perilaku negatif orang lain.

Langkah selanjutnya dari menahan amarah, yaitu kita mampu untuk memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat jahat kepada kita. Dalam kitab Tafsir al-Munir, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa memaafkan bukan hanya soal menahan untuk tidak membalas dendam, tetapi juga menjadi bukti kecerdasan emosional, kedewasaan moral, dan integritas diri. Bahkan beliau juga menyebutkan bahwa memaafkan adalah tingkatan tertinggi dalam pengendalian diri melebihi sekedar menahan amarah. dengan memaafkan kesalahan orang lain, kita juga membuka ruang dalam diri kita untuk berdamai dan melepaskan perasaan-perasaan negatif yang menyebabkan kerugian pada diri kita.

Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti kadang pernah merasa diperlakukan tidak adil atau direndahkan oleh orang lain. Tentu saja perasaan marah dan sakit hati wajar muncul dalam diri kita. Kadang pula, rasa marah yang kita rasakan mendorong kita untuk membalas perbuatan mereka dengan lebih kejam hingga tanpa sadar kita juga merusak hubungan baik dengan orang disekitar kita.

Namun jika emosi ini terus dibiarkan, kita akan terus terbawa suasana hati yang buruk, merasa gelisah, marah, dan hidup dalam perasaan tidak tenang. Hal ini justru merugikan diri kita sendiri akibat pikiran dan perasaan yang dipenuhi oleh emosi-emosi yang negatif tadi. Dengan menahan amarah dan memaafkan orang yang sudah berbuat jahat kepada kita, meskipun tidak mudah, tetapi dengan begitu hati kita akan menjadi lebih tenang, pikiran jadi lebih jernih, dan kita bisa hidup dengan damai tanpa ada beban dendam. Memaafkan kesalahan orang lain bukan hanya membangun hubungan yang lebih baik, tetapi juga melindungi diri sendiri dari kerugian perasaan-perasaan negatif yang berlebihan.

- Advertisement -

Karena itu, penting bagi kita untuk belajar menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain, bukan semata-mata karena mereka layak untuk dimaafkan, tapi karena diri kita lebih pantas untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian. Menahan amarah serta memaafkan juga bukanlah menjadikan kita orang yang lemah, namun artinya kita mampu untuk menghadapi diri sendiri. Kunci kedamaian yang diinginkan oleh semua orang itu dimulai dari hati yang mampu untuk menahan marah. mereka yang mampu menahan marah tidak hanya memperbaiki diri, tetapi juga berkontribusi membangun masyarakat yang lebih damai.

Zikra Maulida
Zikra Maulida
Saat ini saya adalah seorang mahasiswa dari jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe. Saya tertarik untuk belajar menulis, karena saya ingin membagikan tulisan saya kepada publik. dan saya percaya bahwa tulisan adalah jembatan ilmu dan kehidupan nyata.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.