Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) kini tengah menghadapi masa-masa sulit. Lembaga yang dihajatkan menjadi pendekar pemberantasan korupsi itu per hari ini tengah mengalami sakit berat yang bisa saja berujung pada kematian.
Lahir sebagai produk reformasi, KPK berdiri secara kelembagaan pada tahun 2004. Tak sedikit kasus-kasih korupsi bahkan mega korupsi yang berhasil di ungkap KPK, baik kasus yang melibatkan pejabat biasa maupun pejabat tinggi negara. Masih kekal diingatan, Ketua DPR RI, menteri, Calon Kapolri bahkan ketua-ketua partai menjadi deretan tersangka yang berhasil dijebloskan KPK ke Penjara.
Namun prestasi tersebut tak sepenuhnya diapresiasi. Tentu kita masih ingat, bagaimana KPK dalam menjalankan tugas sering mengalami counter attack. Beberapa mantan ketua KPK bahkan berhasil di tersangkakan, semisal Antasari Azhar, Abraham Samad dan pimpinan-pimpinan KPK lainnya.
Teranyar, proses pelemahan terhadap lembaga KPK mewujud dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK, yang banyak memunculkan penolakan publik. Dalam Undang-Undang KPK hasil revisi tersebut, terdapat beberapa perubahan yang sangat kontras dan menjadi atensi publik.
Pertama, yaitu pembentukan badan baru yang bertugas mengawasi kerja KPK yang disebut Dewan Pengawas (Dewas). Salah satu wewenang dewas yang menuai banyak kritik adalah wewenangnya memberikan izin atau menolak proses penyelidikan. Kedua, dalam pasal 24 dan 69C yang menerangkan perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pasal 24 dan 69C tersebut pun, menjadi dasar penyelenggaraan seleksi pegawai KPK, salah satu tahapan seleksinya adalah asesment wawasan kebangsaan. Namun, seleksi yang kemudian dikenal dengan istilah TWK tersebut menuai kontroversi. Enam puluh tujuh pegawai KPK dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan melalui SK pimpinan KPK no 652, termasuk didalamnya penyidik senior KPK Novel Baswedan.
SK KPK tersebut dianggap bertentangan dengan hasil putusan MK yang manyatakan bahwa “proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai” namun nyatanya tidak diindahkan pimpinan KPK.
Posisi Negara
Menyikapi polemik tes TWK KPK itu, negara melalui Presiden mengatakan bahwa “hasil TWK tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai”.
Dalam himbauan itu, presiden pun tak menunjukkan keseriusannya. Ia tidak menyatakan dengan tegas bahwa proses peralihan status pegawai KPK tidak boleh menciderai hak pegawai KPK apalagi merugikan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga pimpinan KPK harus membatalkan keputusannya.
Arahan Presiden yang setengah hati itu pun dijalankan oleh pimpinan KPK dengan setengah hati ,dari 75 pegawai yang dinyatakan tidak lolos tes TWK melalui SK kontroversial tersebut, hanya 24 yang diberikan kesempatan untuk dilakukan pembinaan, 51 lainnya dinyatakan berhenti dengan alasan memiliki rapor merah.
Kini, publik menanti komitmen pemerintah untuk pemberatasan korupsi. Janji presiden untuk tidak mendukung proses-proses pelemahan terhadap KPK diuji di sini. Komitmen itu membutuhkan pembuktian, beranikah pemerintah menerbitkan kepres untuk menganulir surat keputusan pimpinan KPK yang cacat hukum tersebut. Pertanyaan skeptis itu mewakili perasaan dan harapan rakyat Indonesia terhadap komitmen pemberantasan korupsi Presiden Jokowi.