Natal yang dirayakan umat kristiani seluruh dunia merupakan deklarasi Allah yang menjelma menjadi manusia. Sosok Yesus manusia yang lahir di kandang domba merupakan sosok yang meninggalkan keagungan dan kebesaran surga dan menjadi manusia yang sangat sederhana. Ia tidak tinggal dalam kemegahan surga. Ia memilih hadir di tengah bangsa manusia yang dirundung dosa.
Ia pun memilih kandang domba sebagai tempat lahir dan memilih gembala-gembala yang sederhana menjadi kawan di palungan. Ia pun menyatakan diri sebagai anak manusia bahkan menyebut dirinya sebagai anak domba karena lahir di kandang. Ia pun memilih perempuan desa sederhana Maria sebagai ibu-Nya dan berayahkan Yusuf seorang tukang kayu yang miskin.
Pilihan itu bukan tanpa maksud. Yesus memilih Maria perawan desa yang sederhana menjadi ibu-Nya. Bersama tukang kayu bernama Yusuf, Yesus berkembang sebagaimana anak-anak pada umumnya. Yesus memilih Maria Maria karena ia merupakan perempuan yang percaya penuh kepada kehendak Allah. Kedua sosok sederhana inilah yang mendidik Yesus menjadi sang juruselamat.
Filosofi dosa sebagai kutuk dan hukuman Tuhan berubah sejak Yesus datang. Yesus hendak menyampaikan yang terpenting bukan dosa manusia. Bukan saat orang jatuh yang utama. Melainkan kerahiman dan belas kasihan Allah yang melampaui segala-Nya sehingga merelakan Putera-Nya sendiri lahir di tengah-tengah kesederhanaan kandang domba.
Ini menjadi cermin Allah menempatkan martabat manusia sebagai yang utama. Manusia telah diciptakan secitra dengan Allah tidak begitu saja ditinggalkan oleh Allah meski jatuh dalam dosa. Dosa memang membuat manusia berjarak dengan Allah. Dosa menyebabkan manusia kehilangan kesempatan merasakan belas kasihan dan cinta kasih Allah.
Dosa pun menyebabkan manusia kehilangan kehangatan dengan sesama manusia. Dosa dengan sendirinya merusak hubungan manusia dengan sesamanya. Orang yang berkubang dalam dosa akan sulit untuk bangkit. Namun Allah sendiri yang mengambil prakarsa dengan solider dan turun sendiri menjemput manusia yang berdosa.
Dengan demikian Allah yang kita kenal bukanlah Allah yang keras, suka menghakimi, suka menghukum kejahatan manusia. Allah kita adalah Allah yang rahim, maha pengampun dan penyayang. Ia menanggalkan keagungan dan kemegahan Allah untuk bersama-sama dengan manusia. Bekerja, hidup, menderita dan berjuang seperti manusia. Karena itu kisah Natal adalah kisah Allah yang mencari dan menyelamatkan manusia.
Allah yang bergerak masuk dalam pengalaman manusia. Allah berada diantara orang-orang berdosa untuk menyelamatkannya. Dan yang menarik, inisiatif penyelamatan tidak datang dari manusia meski membutuhkan kerjasama dengan manusia. Allah sendiri yang mengambil prakarsa datang ke tengah-tengah dunia untuk menyelamatkan-Nya. Dari manusia dituntut kesediaan untuk bekerjasama dengan Allah agar selamat.
Sikap dan tindakan Allah ini berlawanan dengan sikap manusia pada umumnya. Dalam kehidupan nyata manusia yang berdosa selalu dikucilkan banyak orang. Dijauhi dan dianggap aib kebanyakan orang. Tidak jarang mereka yang mengalami kegagalan dalam hidup justru semakin terpuruk dan mengasingkan diri karena tidak ada orang yang mau menjadi kawan dan menemani dalam kesulitan yang dialami.
Sikap itu bertolak belakang dengan sikap Allah yang dirayakan pada hari Natal. Allah sendiri datang ke dunia untuk menyelamatkan dosa manusia. Perutusan Yesus ini menjawab keraguan manusia akan kemanusiaan Yesus. Sering kita berpikir karena Yesus adalah Putera Allah yang serba sempurna dengan melupakan kemanusiaan Yesus.
Oleh karena itu dalam momentum Natal menjadi saat tepat melihat kembali bagaimana kita dapat belajar dari Allah yang menempatkan martabat manusia sebagai yang utama. Martabat manusia tidak ditentukan oleh status sosial, kekayaan, harta benda, kepandaian dan kecantikan. Martabat manusia ditentukan oleh kesadaran bahwa manusia dilahirkan karena secitra dengan Allah. Manusia dilahirkan sama dengan Allah.
Ketika tragedi kekerasan marak dimana-mana, ketika pembantaian manusia atas nama pembangunan terus terjadi berpihak kepada yang lemah adalah keharusan. Ketika para penguasa dan mereka yang berduit memandang orang hanya sekedar sebagai pekerja dan beban pembangunan tidak demikian dengan Allah. Allah menempatkan manusia demikian pentingnya sehingga mengutus Putera-Nya sendiri menjadi kawan dan menderita bersama dengan manusia.
Karena itu Allah telah mendunia, tetapi Allah yang benar-benar menjadi sahabat dalam pergumulan manusia. Allah tidak menolak dengan siapa hendak bergaul. Allah pulalah yang menjadi sahabat semua orang. Sikap dan tindakan Allah menjadi relevan ketika semua orang kian rendah hati dalam memandang karya penyelamatan Allah. Oleh karenanya Natal menjadi ajang yang tepat untuk kembali berpihak dan menjadi sahabat bagi mereka yang menderita.
Merayakan Natal adalah memperingati Allah yang bersahabat dengan penderitaan. Allah tidak membiarkan orang yang berdosa kehilangan pengharapan. Orang berdosa pun dapat kehilangan pengharapan. Natal menjadi ajang untuk menemani mereka yang sakit, kehilangan pengharapan, juga mereka yang dikucilkan karena dianggap beban oleh orang lain.