Tahun 1998 menjadi tonggak sejarah lahirnya gelombang demokratisasi di Indonesia. Kita tahu persis bagaimana pada masa Orde Baru Soeharto, kebebasan sipil tidak benar-benar ditegakkan. Justru dibawah kekuasaan otoriterianisme Soeharto, kebebasan sipil diamputasi dengan tujuan meredam perlawanan dari kalangan aktivis progresif dan masyarakat sipil yang hendak menggulingkan kekuasaan yang sangat korup. Namun kita juga tahu, Orde Baru sangatlah lihai dalam mempertahankan kekuasaannya.
Kalangan masyarakat sipil yang hendak melakukan perlawanan terhadap rezim bahkan selalui diintimidasi dan dikucilkan. Di samping itu mereka juga distigmatisasi sebagai kelompok yang tidak Pancasilais. Di sini Pancasila digunakan sebagai alat untuk membungkam kritikan, alih-alih sebagai strategi politik rezim untuk menekan mereka-mereka yang kritis pada saat itu.
Ditengah situasi ekonomi-politik yang mulai goncang pada saat itu, perlawanan dari masyarakat sipil mulai bangkit. Kalangan yang hendak menggulingkan Soeharto mulai membentuk barisan perlawanan dengan tujuan menegakkan demokrasi. Buntut dari perlawanan itu berujung pada kejatuhan rezim Soeharto akibat desakkan masa yang terus menuntut reformasi. Hingga akhirnya, Soeharto benar-benar mengundurkan diri.
Namun reformasi yang sudah berumur 23 tahun lamanya itu belum banyak membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Yang ada pasca reformasi, sebagaimana Vedi Hadiz (2005) menggambarkan bahwa, pasca reformasi demokrasi Indonesia justru dicengkram oleh kekuatan oligarki. Mirisnya, kekuatan oligarki ini malah mengamputasi gerakkan-gerakkan masyarakat sipil yang kritis. Tidak heran apabila pasca reformasi kekuatan civil society justru melemah.
Di samping itu, kita juga tahu, bagaimana pasca reformasi korupsi justru semakin berurat-akar di dalam lembaga dan institusi negara. Tuntutan reformasi nyaris hanyalah slogan semata, buktinya masih begitu banyak kasus-kasus korupsi yang mangkrak begitu saja tanpa proses pengusutan dan penyelesaian. Namun kita juga mengamini bersama bahwa butuh waktu dan proses untuk memulihkan kembali situasi hari ini.
Tentu untuk mencapai itu semua dibutuhkan kerja kolaborasi dari semua segmen masyarakat sipil dan pemerintah. Namun, mengapa hal itu tidak pernah terlaksana sampai hari ini? Apa problem mendasar sehingga kerja kolaborasi itu sulit dikerjakan? Di sinilah menurut saya kita perlu melihat kembali seraya berpikir apakah demokrasi betul-betul ditegakan bagi kepentingan masyarakat.
Kerja Kolaborasi
Menurut saya, pertanyaan tersebut diatas bisa dijawab dengan melihat kompleksitasnya problem ekonomi-politik di negeri ini. Kita tentu tidak bisa hanya melihat dan beranggapan bahwa kerja kolaborasi itu tidak dikerjakan hanya karena menguatnya oligarki, tidak pula hal ini diakibatkan oleh lemahnya masyarakat sipil. Hemat saya dan sejauh pembacaan saya, kondisi seperti ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang melingkupinya.
Kompleksnya persolan ekonomi-politik rezim, menguatnya kehadiran oligarki, lemahnya kekuatan masyarakat sipil, partai politik yang mulai mengambil jarak dari masyarakat tetapi dekat ketika momentum Pemilu dan Pilkada, belum terselesaikannya kasus HAM masa lalu, korupsi yang berurat-akar, dan masih banyak persoalan lain adalah contoh dari apa yang saya sebut tadi sebagai kompleksitasnya problem di negeri ini. Hal ini bahkan semakin diperparah oleh aktor-aktor yang terus memupuk kekuasaan demi kepentingan dirinya. Pada tingkat inilah saya beranggapan bahwa kerja kolaborasi ini akan sangat sulit tercapai, dikarenakan di dalamnya berbagai aktor yang ada saling bersaing.
Oleh karena itu, menurut saya, kerja kolaborasi membutuhkan waktu yang panjang dan melelahkan apabila hendak kita capai. Kuncinya menurut saya ialah pemerintah musti selesaikan terlebih dahulu PR masa lalu yang belum tuntas. Di sini selain berupaya mencapai kerja kolaborasi tersebut dan menyelesaikan kompleksitas persoalan, menurut saya hal ini akan meningkatkan kepercayaan dari kalangan masyarakat terhadap pemerintah.
Menurut saya jika hal ini dilakukan tentu akan banyak mengundang kerja kolaborasi lebih giat lagi dalam upaya untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi-politik yang menyandera masyarakat Indonesia hari ini. Namun, apabila hal diabaikan, hemat saya kerja kolaborasi itu akan sulit tercapai karena kurangnya dukungan dari masyarakat sipil. Di sini terlihat pula bahwa kompleksitas persoalan ini akan semakin runyam karena tidak ada penyelesaian yang bisa dilakukan demi perbaikan di masa-masa yang akan datang.
Demokrasi Dari Bawah
Namun apabila kerja kolaborasi itu sulit dikerjakan, menurut saya jalan satu-satunya ialah menegakkan demokrasi dari bawah. Demokrasi dari bawah berarti menjalin kerjasama diantara kelompok masyarakat sipil seperti, buruh, LSM, media, akademisi, petani, mahasiswa dan kelompok-kelompok yang merasa diri terpinggirkan dari domain pembangunan negara.
Menurut saya konsep demokrasi dari bawah ini akan bisa tercapai selama kelompok ini merasa memiliki kesadaran ekonomi politik yang sama. Karena itu, saya justru optimis bahwa gerakkan seperti tahun 1998 dimana kekuatan dari bawah tergabung menjadi satu aliansi politik yang sama akan terulang kembali. Hal ini tentu membawa angin segar bagi stabilitas politik, sebab sejauh pembacaan saya gerakkan ini akan mampu membendung kekuatan oligarki dan bahkan menghancurkannya.
Karena itu, demokrasi tidak boleh dibiarkan dikuasai oleh kepentingan oligarki dan kroni-kroninya. Harus ada gerakkan perlawanan dari bawah yang mampu mengimbangi kekuatan oligarki agar stabilitas ekonomi-politik tidak nampak dikuasai oleh oligarki semata. Saya optimis selalu bahwa dengan membentuk jaringan kerjasama diantara masyarakat sipil, demokrasi akan kita tegakkan bagi kepentingan masyarakat Indonesia. Itulah harapan kita bersama. Sehingga amanat reformasi tahun 1998 tidak menjadi bahasa politik yang diumbar-umbar toh, tetapi harus ada gerakkan yang selalu ingin mencapai itu meskipun kita tahu membutuhkan waktu dan proses yang panjang dan melelahkan.
Selama kita memiliki perjuangan dan sikap politik yang sama untuk membangun perubahan bagi Indonesia dan mencapai cita-cita reformasi, hemat saya kita harus bersama-sama merangkul diantara segmen masyarakat sipil.