Rabu, April 24, 2024

Memerdekakan Perempuan dari Penjara Domestikasi

Rahmah Eka Saputri
Rahmah Eka Saputri
Ibu muda, penulis lepas, dan mahasiswa Filsafat Islam

Praktek patriarki paling kuno adalah rumah tangga, yang untuk dapat mengubahnya laki-laki kadang harus dipaksa untuk bekerjasama membuat perubahan itu. Demikian Nawal El sadawi melalui Perempuan dalam Budaya Patriarki mengungkapkan.

Tepat sekali pernyataan yang disampaikan oleh Nawal El Sadawi. Sebelum jauh-jauh memotret jalan panjang perempuan berdikari di ranah public, ada baiknya menyigi perjuangan alot mereka selama berabad-abad di dalam rumah tangga.

Sebagian kecil  menentang patriarki itu habis-habisan, dengan menolak mentah-mentah semua urusan domestic atau apapun itu yang disangkut-pautkan dengan pelayanan. Ihsan Abdul Quddus sastrawan asal Mesir dalam karyanya Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan menggambarkan perempuan ini sebagai perempuan yang berjuang menggapai titik kasta karir yang paling tinggi. Berkeluarga tapi menolak peran ibu dan istri pada saat yang sama. Sehingga tokoh utama dalam cerita itu meski telah menikah berkali-kali ia tetap hanya berakhir dengan mencintai diri sendiri.

Sebagian besar yang lain memahami bahwa praktek patriarki itu adalah satu kesatuan tak terpisahkan dalam menjalani sebuah keluarga, sehingga perempuan terjebak dalam mengkondratkan dirinya dalam semua tugas-tugas domestic. Menerima dengan sabar semua tugas itu meski di banyak waktu mesti menahan hati.

Beberapa waktu lalu ada sebuah meme yang lewat di beranda medsos saya, tentang realitas kehidupan perempuan di rumah tangga. Hal itu mengingatkan saya tentang cerita seorang ibu yang harus dirawat di rumah sakit dengan kondisi lemah. Tapi dia harus berjuang sendirian tanpa anggota keluarga yang selalu menemani. Anak-anaknya jauh di perantauan, sedangkan suaminya sibuk di rumah atau cuma datang beberapa kali menemani sang istri, hanya untuk melihat sekitar 15 menit saja, lalu menghilang untuk merokok, dan kembali besok hari.

Sekembalinya dari rumah sakit dengan kondisi yang masih lemah si Ibu bahkan sudah harus mengurusi pekerjaan rumah dan mengurus ternaknya. Saya bertanya kenapa si ibu masih mengerjakan semua itu. Lalu beliau menjawab, “Siapa lagi yang akan mengerjakan kalau bukan saya? Begitulah kita menjadi perempuan meskipun sakit tetap harus melakukan segalanya.” katanya menutup pembicaraan.

Memang itulah yang jamak terjadi di masyarakat. Malangnya perempuan dengan kondisi begini dimestikan oleh kultur untuk tidak protes karena memang itulah kodratnya ketika sudah menjadi istri atau ibu. Perempuan bisa dilabel suka mengeluh, lupa dengan kodrat keperempuanan, atau dianggap sebagai bukan ibu/istri yang baik

Domestikasi yang dapat diartikan sebagai pengibu-rumahtanggaan perempuan dinilai sangat memberatkan perempuan. Isu inilah yang ditentang habis-habisan oleh gerakan feminism gelombang kedua pada tahun 1960-an. Para perempuan pada periode ini memahami bahwa pengambil-alihan semua tugas rumah tangga yang tak ada habisnya untuk ibu atau istri adalah salah satu bentuk perbudakan terhadap mereka.

Dalam kasus di atas misalnya. Masyarakat yang sudah terdoktrin dengan narasi domestikasi perempuan, tidak akan menaruh iba jika perempuan harus menyapu, mencuci piring, dan memasak pada saat bersamaan bahkan jika kondisinya tidak terlalu fit. Mereka bahkan kerap bersikap seperti miskin empati terhadap kesusahan perempuan dalam mengurusi rumah. Alih-alih bersikap iba, anggota keluarga lain justru menambah beban dengan tetap minta dilayani disediakan ini itu.

Bagaimana bisa masyarakat bisa menerima jika pada saat bersamaan seorang ibu dengan balita misalnya harus menggendong balitanya sambil menyapu, memasak di dapur, menjemurkan pakaiannya, dan begitu seterusnya hampir tak pernah berhenti. Setelah anak-anaknya besar si ibu mengurusi sekolah si anak, mempersiapkan segala keperluannya bersekolah dari a sampai z. Di masyarakat bahkan ada anak-anak yang hanya menerima pelayanan ibunya tanpa pernah membantu.

Setelah sang anak menikah memiliki anak pula, si ibu mengurusi cucunya. Ditambah dengan mengurusi rumah dan memikirkan isi perut orang serumah. Habis harinya dari bangun tidur sampai tidur lagi untuk mengurusi semua orang, bahkan ketika sakit pun harus si ibu yang mengerjakan semua.

Inilah siklus kehidupan kebanyakan perempuan di dalam masyarakat. Sejak mulai hidup berkeluarga sampai memiliki anak cucu waktunya, tenaga dan perhatiannya hampir habis terpakai untuk melayani semua anggota keluarganya. Dan masyarakat kita mengangggap bahwa pelayanan perempuan di rumah tagga seorang diri seperti itu adalah hal wajar. Tapi menurut Dian Sastro dalam wawancaranya dengan Daniel Mananta menyebut “It’s slavery” itu perbudakan.

Masyarakat kita butuh dicerahkan dengan konsep rumah tangga yang egaliter dan penuh kegotong-royongan bukan pelayanan satu pihak saja. Nabi Muhammad misalnya mencontohkan romantisme dalam berumah tangga itu dengan membantu istrinya, bahkan di waktu tertentu beliau turun tangan menambal bajunya sendiri.

Sang Nabi mencontohkan bahwa berumah tangga berarti saling bekerja sama termasuk dalam hal-hal yang dianggap masyarakat kita kecil di dalam keluarga. Beliau dengan sikapnya menambal baju sendiri juga menyiratkan bahwa sebagai suami atau anggota keluarga beliau tidak harus selalu dilayani, adalah wajar untuk melayani dirinya sedniri.

Sudah bukan jaman nya lagi sekarang perempuan berkutat seorang diri dengan semua tugas domestic. Itu bukan tugas perempuan saja tapi tugas semua anggota keluarga. Dalam konsep keluarga pembaharu misalnya, tidak ada penjenis-kelaminan pekerjaan rumah. Semua pekerjaan rumah dapat dikerjakan bersama-sama.

Sehingga tidak perlu kita temukan di masyarakat kondisi mengenaskan dimana si ibu pontang-panting keluar masuk rumah, bolak-balik mengerjakan semua pekerjaan rumah, sedangkan si bapak sibuk menonton acara kesayangannya sambil minta dibuatkan kopi dan minta diambilkan ini itu, si anak sibuk pula dengan urusannya di ruangan mereka masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan kesibukan perempuan atau ibu di rumah itu. Tidak ada pembagian tugas kerja, hanya pelayanan satu arah, yang hampir seperti perbudakan terhadap si ibu.

Untuk merubah system ini seperti kata Nawal El Sadawi kita perlu dipaksa, bukan laki-laki saja  tapi seisi rumah suami dan anak semua mesti diajak untuk berubah. Dan perubahan itu bisa terjadi jika perempuannya mampu berkomunikasi secara asertif terhadap anggota keluarga yang lain.

Komuniskasi yang asertif atau tegas akan dapat membuat orang lain mengerti apa yang kita inginkan. Perempuan tidak perlu merasa sungkan meminta suaminya memandikan balitanya, karena pada saat itu sang suami bukan membantunya tapi juga ikut melaksanakan tugas keayahannya. Si ibu juga tidak perlu merasa iba ketika harus meminta anaknya mengerjakan beberapa pekerjaan rumah, karena anak memang harus dibiasakan memiliki tanggung jawab dan mesti mampu mengurus dirinya sendiri.

Dengan demikian, jika si ibu tidak mau untuk membiasakan dan mengkomunikasikan hal ini secara asertif kepada anaknya atau pasangannya, maka semua anggota keluarga yang lain tidak akan pernah memiliki rasa tanggung jawab untuk ikut bekerja sama. Yang terjadi malah rumah tangga akan tetap melanggengkan perbudakan terhadap si ibu dalam bentuk domestikasi. Jadi perempuan mesti memerdekakan dirinya secara tegas.

Rahmah Eka Saputri
Rahmah Eka Saputri
Ibu muda, penulis lepas, dan mahasiswa Filsafat Islam
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.