Di tengah gelombang globalisasi dan revolusi digital yang semakin cepat, pondasi kebangsaan kita, Pancasila menghadapi tantangan eksistensial yang unik. Pendidikan Pancasila, yang seharusnya menjadi jangkar moral dan ideologi bagi generasi muda, kini terasa semakin terasing dan terjebak dalam formalitas kaku kurikulum sekolah.
Era digital telah membawa kita ke ruang tak terbatas (borderless world). Akses informasi yang tanpa filter, masifnya penetrasi ideologi transnasional, serta kemudahan penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian di media sosial, secara fundamental mengikis nilai-nilai luhur Pancasila: persatuan, keragaman, musyawarah, dan keadilan sosial.
Generasi muda hari ini lebih akrab dengan algoritma daripada sila-sila. Mereka membentuk identitas mereka melalui tren global yang seringkali bertentangan dengan kearifan lokal. Ironisnya, alih-alih menjadi alat pemersatu, teknologi justru berpotensi menjadi medan perang ideologi yang memecah belah bangsa, terutama melalui polarisasi ekstrem berbasis agama dan politik.
Masalah utama dalam Pendidikan Pancasila saat ini adalah metodenya yang cenderung textbook-oriented dan indoktrinatif. Para siswa diajak menghafal butir-butir, bukan menghayati nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana mengajarkan “Keadilan Sosial” jika materi hanya berupa ceramah tanpa praktik nyata melihat kesenjangan di sekitar mereka? Bagaimana mengajarkan “Persatuan Indonesia” jika diskusi di kelas tidak pernah menyentuh isu-isu diskriminasi atau intoleransi yang sedang hangat di media sosial?
Pancasila harus diposisikan sebagai solusi atas masalah kontemporer, bukan sekadar mata pelajaran sejarah.
Tiga Pilar Revitalisasi Pendidikan Pancasila
Untuk mengembalikan relevansi Pancasila, kita perlu melakukan reformasi mendalam:
- Transformasi Digital dan Kritis:Pendidikan Pancasila harus masuk ke ruang digital tempat generasi muda berada. Materinya harus diintegrasikan dengan isu-isu digital citizenship (kewarganegaraan digital), seperti literasi media kritis, etika berinternet, dan filterisasi konten radikal. Pancasila harus menjadi framework etis dalam bermedia sosial.
- Pendekatan Berbasis Aksi (Proyek):Alih-alih hafalan, siswa harus didorong untuk mengimplementasikan nilai Pancasila melalui proyek nyata. Misalnya, membuat program sosial untuk warga kurang mampu (Keadilan Sosial), atau mengadakan dialog antar-iman di lingkungan sekolah (Ketuhanan yang Berkebudayaan dan Persatuan). Pancasila adalah amal perbuatan, bukan hanya teks.
- Pendidik sebagai Teladan dan Fasilitator:Para pendidik perlu dibekali pelatihan untuk menjadi fasilitator, bukan sekadar penceramah. Mereka harus mampu menghubungkan nilai Pancasila dengan krisis iklim, isu human rights, geopolitik, dan dinamika politik lokal. Pendidik adalah kunci untuk menjadikan Pancasila hidup dan dinamis.
Pancasila bukan warisan museum yang harus dibanggakan dalam keheningan, melainkan kompas yang harus digunakan di tengah badai. Membumikan Pancasila di era sekarang adalah tugas kolektif. Ini adalah panggilan mendesak bagi pemerintah, institusi pendidikan, dan setiap warga negara, untuk memastikan bahwa ideologi ini tidak hanya hidup di tugu-tugu dan dokumen resmi, tetapi benar-benar terinternalisasi sebagai jiwa yang membimbing setiap langkah bangsa.
