Dunia hari ini telah masuk dalam model modernitas yang nyata. Perubahan demi perubahan terjadi sebagai wujud kekinian abad-21. Struktur masyarakat dunia yang kian kompleks menyebabkan munculnya sebuah muka baru.
Tatanan kehidupan dunia yang mempunyai sifat relatifitas membuahkan hasil yang dinamis. Selalu mengalami evolusi jangka panjang, tidak terjadi secara serta merta lantaran satu atau dua fenomena saja.
Hasil dari akibat perubahan zaman ini dapat dilihat dari berbagai aspek. Teknologi super canggih yang saat ini dapat dinikmati manusia merupakan contoh sebagai hasil upaya-upaya revolusioner manusia itu sendiri. Kemudian kemajuan di bidang-bidang keilmuan lain juga masuk dalam sederet inovasi yang membantu manusia dalam mengembangkan potensi mereka.
Selain segudang pembaharuan luar biasa, kompleksitas ini pula yang mendorong terjadinya sebuah keberagaman pemikiran manusia yang terjadi dewasa ini. Perbedaan-perbedaan pemaknaan atas suatu hal menggiring manusia kepada situasi yang cukup mengkhawatirkan.
Satu sisi manusia membuka diri menyambut situasi baru sesuai era milenial, namun di sisi yang lain manusia masih membatasi dirinya untuk dapat menerima realitas macam sekarang. Ada hal-hal yang mereka anggap sebagai kepastian yang pada era kapanpun akan tetap relevan jika diaplikasikan.
Hal itu tidak terkecuali terjadi pada peristiwa yang berkaitan dengan kepercayaan yakni agama. Manusia Islam hingga kini masih terkotak-kotak menjadi banyak golongan. Golongan-golongan itu juga mempunyai model pandangan yang berbeda-beda. Sehingga hal ini memungkinkan risiko gesekan yang cukup tinggi.
Bagi mereka yang sudi membuka diri terhadap kerangka baru saat ini, maka bukanlah perihal yang darurat jikalau pemahamannya ditentang oleh kelompok lain. Namun bagi manusia yang berciri pada pentauladanan mutlak pada zaman awal Islam maka akan sedikit lebih kaku serta pragmatis untuk menerima sebuah penyesuaian terhadap neo-peradaban.
Sifat saklek yang dimiliki oleh beberapa golongan Islam ini yang perlu diperhatikan dengan serius. Mereka beranggapan bahwa sebuah ajaran agama tidak bisa dipengaruhi oleh kultur baru. Kelompok ini berkiblat pada kondisi di zaman Rasulullah dan Sahabat yang diartikan sebagai nilai absolut.
Sehingga tidak ada celah lebar untuk dimasuki oleh konsep-konsep yang relevan dengan situasi sekarang. Salah satunya ialah dengan pengupayaan pemurnian Islam di dunia. Sistem kekhalifahan yang memposisikan Islam sebagai otoritas tertinggi untuk mengatur kehidupan global menjadi gerakan yang sedang diupayakan. Dengan begitu problematika yang dinilai sudah jauh menyimpang dari norma kehidupan, akan teratasi dengan berdirinya sebuah kepemimpinan di bawah naungan Islam secara murni.
Hal ini tentu akan mendatangkan reaksi sebagai akibat dari aksi mereka. Reaksi dari manusia lain yang tidak seakidah yaitu orang-orang non-muslim. Betapa tidak, karena adanya sebuah pemurnian maka secara otomatis yang beragama non-muslim wajib tunduk kepada setiap maklumat Khalifah. Sebuah perenggutan hak terhadap orang-orang non-muslim atau yang kontra terhadap kekhalifahan.
Karena perihal kekhalifahan inilah yang kemudian mendorong siapa pun yang pro untuk melangsungkan segala upaya, melalui dakwah-dakwah secara sistematis dan strategis. Bahkan yang menjadi keironisan ketika upaya untuk menggapai sebuah tujuan itu dilakukan dengan cara yang berindikasi pada kekerasan. Istilah populer sekarang menyebutnya sebagai tindakan radikalisme.
Lebih ekstrim lagi jikalau upaya itu pada puncaknya menyebabkan terjadinya peperangan. Mereka melakukannya terhadap siapa pun yang mencoba menghalangi proses dakwah pembebasan Islam, baik kepada non-Islam atau bahkan sesama Islam sekalipun. Bukankah itu sudah terjadi di negara-negara Islam kawasan Timur Tengah. Konflik berkepanjangan antar sesama muslim yang hingga kini belum juga usai, justru malah lebih memprihatinkan.
Hal tersebut menjadi bukti bahwa tegaknya sistem Khilafiyah bukanlah solusi mutakhir untuk menghadapi masalah-masalah yang kian hari kian tidak karuan. Selain dapat merenggut hak orang lain dalam menjalani kehidupan terutama non-muslim, sistem kekhalifahan juga tidak sesuai dengan kultur dan ciri dari masyarakat Indonesia yang plural ini.
Justru dengan perilaku toleransi tinggi terhadap insan lain dalam menghadapi kehidupan merupakan solusi yang cukup relevan untuk dilaksanakan demi menghindari konflik antar ras, agama, suku dan antar golongan. Kesadaran diri terhadap ketidakmampuan kita dalam menghadapi persoalan, bilamana masih saja terpaku pada dogma statis Islam. Hal tersebut yang menghantarkan manusia kepada sikap keterbukaan terhadap peradaban baru. Karena pada dasarnya Islam bukanlah agama yang menyusahkan setiap penganutnya.
Dengan membuka diri dari belenggu besi Islam zaman dahulu, manusia akan mampu melaksanakan perintah agama tanpa ada rasa kecemasan. Keberlangsungan hidup akan terasa lebih nyaman dan damai. Jauh dari ancaman-ancaman atau intervensi pihak manapun. Kerukunan yang akan melahirkan kesejahteraan inilah yang sedari dulu kita cita-citakan.