Sabtu, Oktober 5, 2024

Relasi Manusia-Lebah: Dari The Beekeeper Sampai Diyang Galuh

Fajar Gumelar
Fajar Gumelar
S1 Filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Theologia Jaffray Makassar

Tahun 2024 ini rilis film action terbaru yang dibintangi oleh Jason Statham, berjudul The Beekeeper. Film ini bercerita tentang seorang bernama Adam Clay (Jason Statham) yang berusaha membalas dendam akibat kematian seorang nenek yang sangat peduli kepadanya. Nenek tersebut frustrasi akibat seluruh tabungannya – termasuk dana Yayasan yang dikelolanya – raib karena dicuri oleh kelompok hacker.

Adam Clay berprofesi sebagai peternak lebah (beekeeper) yang menyewa properti milik nenek tersebut. Sebelum menjadi peternak lebah, dia rupanya merupakan seorang agen rahasia yang sangat andal, yang tergabung dalam kelompok The Beekeeper. Hal ini membuatnya mampu melakukan misi balas dendam ini dengan sangan apik meskipun harus berhadapan dengan pasukan militer yang sangat banyak dan terlatih.

Hal yang menarik dalam film ini adalah rujukan kepada lebah (peran, perilaku dan sifat) yang cukup banyak dimuat. Salah satu yang membekas adalah pernyataan dari seorang mantan agen senior, Wallace Westwyld (yang diperankan oleh Jeremy Irons), bahwa: “Lebah madu selalu memiliki hubungan special dengan umat manusia. Sebuah hubungan yang sakral. Kenapa? Tak ada lebah, tak ada pertanian. Tak ada pertanian, tak ada peradaban.”

Pernyataan itu benar, sebab lebah adalah salah satu binatang penyerbuk. Situs IPB Digitani bahkan menyebutkan bahwa penyerbukan lebah memainkan peranan penting dalam produktivitas sejumlah besar varietas tanaman global (Amanatillah, Digitani IPB). Bahkan lebih lanjut disebutkan, tanpa penyerbukan lebah, sekitar 5-8% produksi tanaman global akan hilang. Hal ini menunjukkan betapa penting untuk membangun relasi yang harmonis dengan alam, bahkan sampai kepada unsur terkecil seperti lebah, demi kelangsungan hidup bersama di bumi yang kita cintai.

Pola relasi lebah-manusia dalam konteks budaya lokal salah satunya ditampilkan oleh kehidupan masyarakat suku Dayak Meratus di pedalaman Kalimantan Selatan. Dalam memenuhi kebutuhan hidup, mereka bergantung sepenuhnya dengan alam. Bahkan lebih dari pada soal makan dan minum, hal peribadatan pun dilakukan di dalam dan melalui alam.

Dalam konteks relasi manusia-lebah, orang-orang Dayak Meratus memiliki panggilan khusus (panggilan) sayang untuk lebah, yakni Diyang Galuh atau Diyang Putir. Dalam kurun waktu tertentu, lebah madu akan membuat sarang pada pohon-pohon besar, yang oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai pohon Mangaris atau Jelamu. Oleh karena lebah tersebut secara konsisten bersarang pada pohon-pohon tertentu, maka oleh masyarakat pohon-pohon tersebut dinamakan pohon madu. Setiap keluarga memiliki pohon madunya masing-masing, yang dapat diwariskan turun-temurun.

Dalam rangka mengambil madu hutan – yang bersarang di pohon-pohon madu tersebut – masyarakat Dayak Meratus memiliki tata cara tersendiri, sebagai bentuk penghormatan dan solidaritas kepada lebah, yang mewakili unsur alam, yang memelihara dan memberkati kehidupan mereka. Sebelum mengasapi sarang – dalam rangka menghalau lebah – mereka terlebih dulu menyanyikan pantun/syair untuk lebah-lebah tersebut. Berikut adalah contoh syair yang dinyanyikan (Dulatif, wawancara oleh penulis, Juhu Bincatan 2019):

Gantung bajut, gantung bajut

(Gantung bajut, gantung bajut Bajut merupakan semacam bakul yang digunakan untuk tempat menyimpan padi)

Gantung di muhara lawang

(Gantung di atas pintu)

Diyang Galuh jangan takajut

(Diyang Galuh jangan terkejut)

Aku membuka lawing

(Aku membuka pintu)

Setelah madu selesai diambil, orang-orang akan kembali menyanyikan syair (Dulatif, wawancara oleh penulis, Juhu Bincatan 2019):

Cancang kunyit, cancang kunyit, cancang di batang Kayu Tahun

(Cincang kunyit, cincang kunyit, cincang di batang Kayu Tahun – suatu jenis kayu)

Diyang Galuh datang pulang setiap musim, setiap tahun

(Diyang Galuh datang pula setiap musim, setiap tahun)

Sungkul balai bapinglu’an, batangisan

(Rumah menjadi sunyi dan sedih)

Kada dibuliki oleh Diyang Putir di seberang laut

(Bila tidak didatangi kembali oleh Diyang Putir di seberang laut)

Mereka percaya bahwa alam adalah representasi dari Yang Mahakuasa, sehingga segala unsur dalam alam harus diperlakukan dengan baik. Dalam hal pemanfaatan hutan dan hasil hutan, pemahaman seperti ini membawa masyarakat pada prinsip keugaharian, dengan cara mengambil dari alam sebanyak yang diperlukan – tidak berlebihan dan serakah.

Baik narasi tentang lebah dalam The Beekeeper maupun keugaharian kehidupan yang ditampilkan masyarakat suku Dayak Meratus dalam interaksi mereka dengan lebah (alam), menunjukkan kepada kita betapa pentingnya menjadi manusia yang sadar lingkungan.

Di tengah-tengah kemajuan zaman yang identik dengan eksploitasi alam dan egosentrisme, kita dipanggil untuk kembali menjadi manusia-manusia yang sadar lingkungan, yang memandang dan berelasi dengan sesama ciptaan (alam) selaknya saudara, yang “dilahirkan” dari Esa yang sama.

Dengan kesadaran seperti ini diharapkan dunia kita dapat menjadi lebih baik, dan kita dapat bergerak bersama menuju peradaban yang lebih adil terhadap semua, termasuk alam. Salam lestari.

Fajar Gumelar
Fajar Gumelar
S1 Filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Theologia Jaffray Makassar
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.