Sabtu, April 20, 2024

Membendung Hegemoni China di Asia Tenggara

Ludiro Madu
Ludiro Madu
Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta. Peminat studi ASEAN, Asia Tenggara, Politik Luar Negeri & Diplomasi Indonesia, dan kaitan internet-hubungan internasional

Lima hari sudah Menteri Luar Negeri (Menlu) China Wang Yi berkunjung ke empat negara di Asia Tenggara (15-18 Oktober 2020). Dalam kunjungan ke Kamboja, Laos, Thailand dan Malaysia, Wang berusaha menegaskan ketegangan di antara empat negara itu dengan Amerika Serikat (AS). Pada saat yang sama, Menlu Wang juga menempatkan China sebagai negara mitra yang mampu memahami dan ingin membantu mengembangkan kerjasama ekonomi.

Hingga kini, tidak ada negara yang meragukan kekuatan ekonomi dan militer China. Begitu kuatnya China, banyak negara harus berpikir keras untuk mendukung atau menolaknya. Berbagai pertimbangan domestik dan internasional dipakai untuk mendukung atau menolak China secara parsial. Dukungan atau penolakan terhadap China pun tidak bisa diberikan secara absolut. Beberapa negara menolak kehadiran militer China, tetapi terpaksa menerima tawaran investasi ekonomi.

Kunjungan Wang ini menjadi upaya berkelanjutan China untuk menjamin komitmennya terhadap ASEAN. China ingin memposisikan diri sebagai mitra utama di dunia paska Covid-19, baik dalam akses terhadap vaksin maupun mendukung pertumbuhan ekonomi ASEAN.

Dalam 8 bulan terakhir, berbagai negara mulai khawatir dengan perilaku China. China melalui klaim atas wilayah di Laut China Selatan (LCS) dan akses global terhadap vaksin Covid-19 diyakini sedang membangun hegemoni globalnya. Pemerintah China memang mengeluarkan bantahan, tetapi fakta bahwa China menggunakan BRI dan AIIB sbg perangkat utama hegemoni itu tidak bisa disangkal.

Membangun Hegemoni

Selain BRI dan AIIB, China juga dicurigai menggunakan diplomasi masker dan vaksin Covid-19 untuk mulai menancapkan hegemoni globalnya. Ketika Amerika Serikat lebih berorientasi domestik dan meninggalkan peran kepemimpinan globalnya, China mencoba hadir menggantikan AS. China membuat kawatir NATO dan UE ketika memberikan bantuan alat-alat kesehatan kepada Italia dan negara Eropa lainnya. Ketika AS dan banyak negara di dunia mengutamakan nasionalisme vaksin bagi warganegara-nya, China justru berjanji menyediakan akses global yang setara dan terjangkau terhadap vaksin Covid-19.

Ambisi China menjadi kekuatan besar ini seperti meniru sistem Pax-Americana-nya AS paska-Perang Dunia ke-2. Sistem itu membuat negara-negara yang bernaung di bawah kepemimpinan AS memperoleh perlindungan militer dan bantuan ekonomi langsung. Jika diperlukan, AS membangun pangkalan-pangkalan militer di kawasan atau negara tertentu sebagai representasi kehadiran kekuatan dan kepentingan AS. Pada gilirannya, stabilitas regional itu memberikan kondisi nyaman bagi investasi di negara-negara itu dalam sistem liberal-kapitalis. Cara AS ini tampaknya ingin ditiru China melalui BRI dan AIIB.

Yang menarik buat saya adalah China mampu mengubah pandemi Covid-19 dari persoalan berat menjadi peluang meneruskan ambisinya sebagai negara besar itu. China terdampak berat akibat pandemi itu, namun kenyataan juga memperlihatkan China mampu menggunakan jaringan negara-negara di dalam BRI itu untuk menjalankan diplomasi kemanusiaan dalam penanganan Covid-19. Hasilnya, negara-negara di Eropa seperti Italia justru mengelu-elukan China.

Namun demikian, wajah global China tidak sepenuhnya jernih. Seperti saya sudah singgung di awal tulisan ini, hegemoni China menimbulkan pro-kontra di antara berbagai negara di dunia.

Lalu, mengapa hegemoni China cenderung ditolak berbagai negara? Padahal negara-negara itu bersedia menerima investasi atau bantuan ekonomi China?

Konfliktual

Sebuah kenyataan geopolitik yang tidak dapat disangkal adalah peningkatan kehadiran ekonomi dan militer China di Asia (Tenggara) telah memecah-belah negara-negara anggota ASEAN, baik dalam isu pandemi-vaksin Covid-19 dan konflik klaim LCS. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan ASEAN yang selalu berusaha mendorong sentralitas organisasi regional itu di kawasan ini.

Yang menjadi persoalan adalah bahwa, pada saat yang sama, hegemoni yang akan dibangun China ternyata mengirimkan sinyal berbahaya bagi perdamaian. Berbeda dengan komitmen China pada akses global vaksin Covid-19, pada isu LCS China justru menimbulkan konflik dengan negara-negara lain.

Selain itu, perilaku China yang nantang-nantang di berbagai wilayah juga disebabkan oleh transisi kekuasaan regional yang tidak mulus. China memang berambisi mengisi ruang-ruang kosong dari berkurangnya kehadiran dan kekuatan AS di Asia dan kawasan lain. Skema BRI dan AIIB menjadi senjata ampuh dari representasi peningkatan kekuatan China, baik di tingkat regional dan global. Dalam perkembangannya, BRI dan AIIB juga menyasar negara-negara di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.

Peningkatan kekuatan ekonomi dan militer China memang membuat berbagai negara terpaksa menerima tawaran kerjasama. Terlalu riskan untuk menolak dan bersikap bermusuhan dengan China. Meskipun negara-negara itu mengeluh dan marah dengan perilaku militeristik China di LCS, negara-negara itu tidak bisa menolak kerjasama ekonomi dan militer dengan China.

China memang berambisi mengisi ruang-ruang kosong dari berkurangnya kehadiran dan kekuatan AS di Asia dan kawasan lain. Skema BRI dan AIIB menjadi senjata ampuh dari representasi peningkatan kekuatan China, baik di tingkat regional dan global. Dalam perkembangannya, BRI dan AIIB bahkan telah menyasar negara-negara di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.

Tantangan China

Ada tiga faktor yang memainkan peran potensial dalam membendung hegemoni China di ASEAN. Pertama, ASEAN berkepentingan mengajak AS bekerjasama dalam krisis LCS dan penanganan pandemi Covid-19. Contructive engagement menjadi pola perilaku tradisional ASEAN ketika menghadapi persoalan regional terkait negara-negara besar, seperti AS dan China. Pertemuan Virtual Menteri Luar Negeri ASEAN dan AS pada September 2020 mengindikasikan upaya ASEAN mempertahankan kehadiran AS secara konstruktif di Asia Tenggara. ASEAN memerlukan AS sebagai penyeimbang dinamis bagi kekuatan militer China yang meningkat di kawasan ini.

Faktor kedua, tantangan hegemoni China berasal dari upaya bersama ASEAN sebagai sebuah organisasi regional untuk berusaha keras mempertahankan satu suara dalam menghadapi rivalitas AS dan China. Kesatuan suara sebagai satu ASEAN ini memiliki arti strategis bagi organisasi regional ini di tengah perbedaan sikap negara-negara anggotanya. Mereka berbeda sikap terhadap AS dan China. Sebaliknya, untuk mendukung kebersatuannya, ASEAN secara tegas memperingatkan kedua negara itu agar tidak melibatkan ASEAN dan negara-negara anggotanya ke dalam rivalitas mereka.

Tantangan ketiga adalah sebuah blessing in disguise atau berkah tak terduga mengenai ketidakbersatuan ASEAN. Di satu sisi, ASEAN harus menerima kenyataan pahit bahwa negara-negara anggota-nya tidak bersatu menghadapi AS dan China. Namun demikian, di sisi lain, perbedaan sikap itu justru menjadi penghambat bagi hegemoni China.

Sebuah kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa hegemoni China telah memperoleh tantangan dalam bentuk respon berbeda dari berbagai negara tetangganya. Kecenderungan konfliktual China telah membangun ketidakpercayaan negara-negara tetangganya, walaupun mereka terpaksa menerima kehadiran China di sektor ekonomi.

Ludiro Madu
Ludiro Madu
Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta. Peminat studi ASEAN, Asia Tenggara, Politik Luar Negeri & Diplomasi Indonesia, dan kaitan internet-hubungan internasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.