Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, beberapa waktu lalu sudah melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking untuk Program Rumah DP 0 Rupiah yang menandai realisasi salah satu janji politiknya yang paling ditunggu oleh warga Jakarta.
Seperti diketahui, program tersebut berbentuk rumah susun berbasis kepemilikan alias rusunami. Sekilas, program tersebut memperlihatkan bentuk keberpihakan Pemda DKI terhadap masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun, jika ditelitik lebih mendalam, program tersebut sejatinya kontraproduktif karena berpotensi makin memperlebar jurang kesenjangan ekonomi dan ekslusi sosial antar warga Jakarta.
Ada sejumlah alasan yang mendasari argumen ini. Pertama, secara filosofis, program rusun DP 0 rupiah sejatinya tetap mendudukkan rumah sebagai komoditas. Implikasi turunannya adalah rumah akan diperlakukan layaknya real estat yang tujuan utamanya memang untuk mendapatkan keuntungan atau capital gain.
Akibatnya, fungsi rumah akan berubah dari tempat untuk bertempat tinggal secara aman, damai, dan bermartabat menjadi instrumen investasi. Padahal, carut marutnya persoalan perumahan di level global termasuk di Jakarta dimulai dari komoditifikasi rumah.
Kedua, bentuk huniannya masih berbasis kepemilikan. Karena berbasis kepemilikan, maka harga rumah ke depan diproyeksikan tetap akan terkerek naik. Selama konsepnya masih berbasis kepemilikan, maka peningkatan pasokan rumah rasanya hampir mustahil mengejar angka kebutuhan rumah karena stok tanah untuk penyediaan rumah itu langka dan terbatas.
Ujung-ujungnya, program rusun DP 0 rupiah jelas hanya menurunkan angka backlog kepemilikan rumah dalam jangka pendek tanpa penurunan dari sisi harga. Akibatnya, dalam jangka panjang tetap akan memicu praktik-praktik spekulasi kendati harga jual rusunami tersebut nantinya di bawah kendali Pemda DKI.
Ketiga, skema DP 0 rupiah merupakan salah satu bentuk skema dalam program subsidi permintaan. Padahal, program subsidi permintaan termasuk skema bantuan uang muka, menurut hasil studi Dana Moneter Internasional/IMF (2011), terbukti gagal mengendalikan harga rumah. Studi IMF (2011) bahkan menemukan, bila kredit rumah tangga naik sebesar 10 persen, maka harga rumah akan ikut terkerek naik sebesar 6 persen.
Atas dasar itu, bila ingin menjadikan Jakarta sebagai kota yang maju dan membahagiakan warganya, maka Pemda DKI harus berani mendudukkan kembali rumah sebagai hak asasi manusia. Sayangnya, pengakuan perumahan sebagai hak asasi manusia baru di atas kertas dokumen perencanaan.
Dalam pelaksanaanya, komoditifikasi rumah hingga kini masih tetap berlangsung bahkan cenderung difasilitasi yang mengakibatkan stok rumah yang tersedia tetap dikendalikan oleh segelintir pengembang dan pemburu rente.
Dalam kaitan itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kepemilikan tempat tinggal di DKI Jakarta tergolong paling rendah di Indonesia. BPS mencatat, persentase rumah tangga (RT) dengan kepemilikan bangunan tempat tinggal di Jakarta sebanyak 48,3 persen atau masih terdapat sekitar 51,3 persen RT yang belum memiliki tempat tinggal. Angka itu jauh di bawah persentase kepemilikan rumah secara nasional yang berada di angka 79,6 persen. Dengan kata lain, penduduk Jakarta yang belum memiliki tempat tinggal lebih tinggi dibanding mereka yang sudah memiliki rumah.
Di titik ini, program rusun DP 0 rupiah jelas perlu dikaji ulang. Apalagi, saat ini harga rumah di Jakarta naiknya sudah gila-gilaan hingga jauh di atas daya beli masyarakat ibukota. Atas dasar itu, maka arah kebijakan perumahan Pemda DKI sebaiknya kembali difokuskan pada pengurangan angka backlog kepenghunian melalui program pembangunan rusunawa baik untuk kalangan MBR maupun non MBR.
Alasannya, pengurangan angka backlog kepemilikan rumah bukanlah tujuan akhir dari kebijakan perumahan yang berkelanjutan. Sebaliknya, tujuan utama kebijakan perumahan yang berkelanjutan adalah menciptakan sebuah sistem perumahan yang tak hanya mampu mengurangi defisit kepenghunian, namun juga mampu mengurangi konsentrasi penguasaan aset properti dan mencegah ekslusi sosial secara simultan.
Dengan fokus pada pembangunan rusunawa terlebih dahulu, maka bukan hanya problem ketimpangan dan ekslusi sosial ekonomi yang akan tereduksi namun praktik-praktik spekulasi yang akan mengerek harga rumah juga bisa lebih dikendalikan. Pada saat yang sama, persoalan defisit kepenghunian pun sedikit demi sedikit akan terurai tanpa dibayangi kenaikan harga rumah karena bentuk huniannya berbasis sewa. Dengan konsep rusunawa pula, maka kehadiran negara dalam pemenuhan hak papan warganya akan lebih terasa.
Tantangannya terbesarnya adalah kewenangan pemerintah daerah dalam urusan penyediaan rumah khususnya bagi MBR masih tersandera oleh UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Menurut UU tersebut, urusan penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah termasuk pengembangan sistem pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Sementara itu, kewenangan pemerintah daerah terbatas pada penyediaan dan rehabilitasi rumah korban bencana, fasilitasi penyediaan rumah bagi masyarakat yang terkena relokasi, penerbitan izin pembangunan dan pengembangan perumahan, dan penerbitan sertifikat kepemilikan bangunan gedung.
Tantangan berikutnya adalah belum terintegrasinya pembangunan rusunawa dalam perancanaan tata ruang dan wilayah. Akibatnya, sejumlah rusunawa yang telah dibangun belum terintegrasi secara baik dengan sistem transportasi publik sehingga menyulitkan mobilitas para penghuninya. Selain itu, beberapa rusunawa yang telah dibangun juga belum ditunjang dengan sejumlah fasilitas penunjang yang memadai seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Tantangan lainnya adalah belum adanya kejelasan regulasi dan lembaga pengelola rusunawa yang profesional, transparan, dan akuntabel. Poin ini menjadi krusial karena tanpa kejelasan regulasi dan lembaga pengelola rusunawa yang profesional, tujuan utama program pembangunan rusunawa sebagai pemecah praktik komoditifikasi rumah jelas tidak akan tercapai. Kesemua itu adalah pekerjaan rumah yang sejatinya bisa segera dituntaskan oleh Pemda DKI bila serius ingin menghadirkan keadilan sosial di Jakarta lewat kebijakan perumahan yang berkelanjutan.