Artikel ini menekankan bahwa integrasi ketiga pilar tersebut tidak cukup dilakukan melalui koordinasi prosedural, tetapi harus dibangun melalui pendekatan sistemik berbasis pemodelan (modelling), simulasi operasional, dan pengembangan digital twin sebagai sarana pembelajaran kolektif lintas pemangku kepentingan. Dalam konteks Indonesia, ketiadaan fasilitas nasional terpadu untuk simulasi kolaboratif menjadi tantangan strategis di tengah pertumbuhan trafik udara, variabilitas cuaca, dan tuntutan efisiensi. Oleh karena itu, pembangunan Collaborative Operations System Centre dipandang sebagai kebutuhan mendesak untuk memperkuat kompetensi sumber daya manusia, tata kelola operasional, serta ketahanan sistem penerbangan nasional secara berkelanjutan.
Pendahuluan
Modernisasi operasi penerbangan nasional telah memasuki fase di mana pendekatan sektoral tidak lagi memadai. Penerbangan bukan sekadar soal pesawat yang lepas landas dan mendarat tepat waktu, melainkan sebuah sistem kompleks yang mempertemukan manusia, teknologi, regulasi, dan dinamika alam dalam satu jaringan yang saling bergantung. Setiap keputusan operasional di bandara, di ruang udara, maupun di pusat kendali maskapai, memiliki konsekuensi yang menjalar jauh melampaui batas organisasi masing-masing.
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah melakukan berbagai langkah modernisasi. Bandara diperluas dan dipercantik, sistem navigasi udara diperbarui, dan maskapai membangun pusat kendali operasi yang semakin digital. Namun di balik kemajuan tersebut, masih terdapat satu celah mendasar yang belum terisi secara sistemik, yakni absennya common operational picture—gambaran operasional bersama yang dipahami, dipercaya, dan digunakan oleh seluruh pemangku kepentingan penerbangan dalam mengambil keputusan.
Tanpa common operational picture, sistem penerbangan bekerja dalam kondisi fragmentasi informasi. Bandara memiliki pandangan sendiri tentang kondisi operasionalnya. Penyelenggara navigasi penerbangan memandang sistem dari perspektif ruang udara. Maskapai memahami jaringan penerbangannya dari sudut pandang armada dan jadwal. Ketiganya sah dan penting, tetapi ketika tidak disatukan dalam satu kerangka kolaboratif, sistem kehilangan kemampuan untuk merespons gangguan secara terpadu.
Dari Sistem yang Terhubung Menuju Sistem yang Terkoordinasi
Banyak pihak beranggapan bahwa digitalisasi otomatis akan menghasilkan integrasi. Kenyataannya, sistem yang terhubung secara teknis belum tentu terkoordinasi secara operasional. Integrasi sejati bukan sekadar pertukaran data, melainkan penyatuan cara pandang, logika pengambilan keputusan, dan pemahaman terhadap dampak lintas sistem.
Di sinilah perbedaan antara sistem yang sekadar “berbagi informasi” dengan sistem yang benar-benar “berkolaborasi”. Dalam sistem yang hanya berbagi informasi, setiap aktor tetap mengambil keputusan berdasarkan kepentingan dan prioritas internalnya. Dalam sistem kolaboratif, keputusan diambil dengan kesadaran penuh akan konsekuensi terhadap aktor lain dan terhadap kinerja sistem secara keseluruhan.
Konsep common operational picture menjadi jantung dari transformasi ini. Ia memungkinkan semua pihak melihat situasi operasional yang sama, memahami konteks yang sama, dan bergerak dalam arah yang disepakati bersama. Tanpa COP, kolaborasi hanya menjadi slogan. Dengan COP, kolaborasi menjadi praktik sehari-hari.
Collaborative Operations sebagai Arsitektur Sistem, Bukan Sekadar Prosedur
Dalam praktik global, integrasi operasional penerbangan diwujudkan melalui apa yang dikenal sebagai Collaborative Operations System. Sistem ini bukan kumpulan prosedur tambahan, melainkan arsitektur operasional yang menyatukan tiga domain utama penerbangan: bandara, ruang udara, dan maskapai.
Domain bandara diwujudkan melalui Airport Collaborative Decision Making atau A-CDM. Domain ruang udara diatur melalui Air Traffic Flow Management atau ATFM. Domain maskapai diintegrasikan melalui Airline Operations–Collaborative Decision Making yang berpusat pada Operations Control Center. Ketiganya bukan lapisan yang berdiri sendiri, melainkan komponen sistem yang saling mengisi.
Negara-negara dengan sistem penerbangan matang memahami bahwa efektivitas ketiga pilar tersebut tidak ditentukan oleh kecanggihan masing-masing, tetapi oleh kualitas interaksinya. A-CDM yang kuat tanpa ATFM yang terintegrasi hanya akan memindahkan masalah dari bandara ke ruang udara. ATFM yang disiplin tanpa keterlibatan maskapai akan menciptakan resistensi operasional. OCC yang canggih tanpa visibilitas bandara dan ruang udara akan terus berada dalam mode pemadaman kebakaran.
Airport Collaborative Decision Making sebagai Titik Awal Orkestrasi Operasi

Bandara adalah titik temu seluruh aktor penerbangan. Di sinilah pesawat, kru, penumpang, bagasi, kargo, dan layanan darat bertemu dalam rentang waktu yang sempit dan penuh tekanan. A-CDM lahir dari kesadaran bahwa ketepatan waktu penerbangan tidak bisa lagi ditentukan oleh satu aktor dominan, melainkan oleh kualitas kolaborasi seluruh pihak yang terlibat dalam proses turnaround.
Dalam A-CDM, waktu bukan sekadar target internal, melainkan komitmen bersama. Target Off-Block Time menjadi simbol kesepakatan operasional antara maskapai, ground handling, bandara, dan ATC. Dari titik ini, seluruh perencanaan lanjutan disusun, termasuk alokasi slot dan pengaturan arus lalu lintas udara.
Namun A-CDM tidak akan berfungsi optimal tanpa pemodelan yang tepat. Setiap bandara memiliki karakteristik unik: konfigurasi runway, ketersediaan apron, kepadatan jadwal, hingga faktor cuaca lokal. Pemodelan A-CDM memungkinkan seluruh proses tersebut direpresentasikan secara sistemik, sehingga dampak dari satu deviasi kecil dapat dipahami secara menyeluruh.
Air Traffic Flow Management sebagai Penyeimbang Sistem Ruang Udara

Jika A-CDM mengelola dinamika di darat, ATFM mengelola dinamika di udara. Ruang udara adalah sumber daya terbatas yang harus dibagi secara adil, aman, dan efisien. Ketika permintaan melampaui kapasitas—akibat cuaca, kepadatan lalu lintas, atau keterbatasan sektor—keputusan harus diambil bukan secara ad hoc, melainkan melalui mekanisme yang transparan dan berbasis data.
ATFM menyediakan kerangka tersebut. Melalui perencanaan strategis dan pra-taktis, ATFM memungkinkan sistem mengantisipasi ketidakseimbangan antara permintaan dan kapasitas sebelum gangguan benar-benar terjadi. Dalam sistem yang terintegrasi, keputusan ATFM tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari dialog operasional dengan bandara dan maskapai.
Tanpa integrasi, ATFM sering dipersepsikan sebagai pembatas. Dengan integrasi, ATFM menjadi fasilitator stabilitas sistem. Perubahan peran inilah yang hanya dapat dicapai jika seluruh aktor memahami logika ATFM melalui pemodelan dan simulasi bersama.
Operations Control Center Maskapai sebagai Pengelola Jaringan

Di sisi maskapai, OCC adalah pusat pengambilan keputusan strategis dan taktis. Di sinilah jadwal disesuaikan, armada dialokasikan, kru ditugaskan, dan gangguan direspons. Dalam kondisi ideal, OCC tidak hanya bereaksi terhadap gangguan, tetapi mampu mengantisipasi dan memitigasinya sejak dini.
Namun kemampuan ini sangat bergantung pada visibilitas sistem. OCC yang hanya mengandalkan data internal maskapai akan selalu tertinggal dalam memahami dinamika bandara dan ruang udara. Sebaliknya, OCC yang terhubung dengan A-CDM dan ATFM dalam satu kerangka kolaboratif dapat mengoptimalkan keputusan tidak hanya untuk maskapai, tetapi juga untuk sistem secara keseluruhan.
Mengapa Pemodelan Menjadi Fondasi Integrasi
Sistem penerbangan adalah sistem adaptif kompleks. Hubungan sebab-akibatnya tidak selalu linear. Keputusan yang tampak benar pada satu titik waktu dapat menimbulkan konsekuensi tak terduga di titik lain. Dalam sistem seperti ini, pemodelan bukan pilihan tambahan, melainkan kebutuhan mendasar.
Pemodelan memungkinkan sistem direpresentasikan secara konseptual sebelum diwujudkan secara operasional. Ia membantu mengidentifikasi variabel kunci, hubungan antarvariabel, dan titik-titik kritis yang menentukan kinerja sistem. Tanpa pemodelan, integrasi hanya akan bersifat intuitif dan rentan terhadap bias sektoral.
Simulasi sebagai Ruang Belajar Kolektif
Jika pemodelan adalah fondasi, simulasi adalah ruang belajarnya. Simulasi memungkinkan aktor penerbangan mengalami konsekuensi keputusan tanpa risiko nyata. Dalam simulasi, kesalahan menjadi sumber pembelajaran, bukan sumber kecelakaan.
Simulasi A-CDM memungkinkan peserta memahami bagaimana perubahan kecil pada TOBT berdampak pada slot, antrian runway, dan beban ATC. Simulasi ATFM memungkinkan pengujian kebijakan pengaturan arus tanpa mengganggu penerbangan nyata. Simulasi OCC memungkinkan eksplorasi berbagai strategi pemulihan jadwal dalam skenario irregular operations.
Lebih dari itu, simulasi lintas sistem memungkinkan pembentukan common operational picture secara nyata. Peserta tidak hanya melihat data, tetapi memahami cerita di balik data tersebut.
Digital Twin sebagai Jembatan Dunia Nyata dan Dunia Simulasi
Perkembangan teknologi memungkinkan pemodelan dan simulasi naik kelas melalui konsep digital twin. Dalam konteks penerbangan, digital twin merepresentasikan bandara, ruang udara, dan jaringan maskapai secara dinamis, diperbarui oleh data operasional aktual.
Dengan digital twin, simulasi tidak lagi statis. Ia menjadi cermin dari sistem nyata yang dapat digunakan untuk prediksi, perencanaan, dan pengambilan keputusan. Common operational picture lahir dari interaksi antara digital twin dan aktor manusia yang menggunakannya.
Collaborative Operations System Centre sebagai Infrastruktur Pembelajaran Nasional

Pembangunan sistem penerbangan modern tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi dan kelengkapan regulasi, tetapi sangat bergantung pada kualitas pembelajaran kolektif para pelaku di dalamnya. Tanpa fasilitas pembelajaran terpadu, upaya pemodelan dan simulasi operasi penerbangan akan selalu terfragmentasi, terbatas pada kepentingan sektoral, dan sulit menghasilkan pemahaman sistemik. Dalam konteks inilah, gagasan pembangunan Collaborative Operations System Centre (COSC) menjadi krusial sebagai infrastruktur pembelajaran nasional yang menjembatani kesenjangan antara teori, kebijakan, dan praktik operasional nyata.
COSC dirancang sebagai ruang pembelajaran bersama bagi tiga aktor utama ekosistem penerbangan nasional: bandara, penyelenggara navigasi penerbangan (ANSP), dan maskapai. Selama ini, masing-masing aktor membangun kompetensinya sendiri-sendiri, menggunakan model, asumsi, dan simulasi yang berbeda. Akibatnya, pemahaman terhadap sistem operasi penerbangan berkembang secara parsial. COSC hadir untuk menyatukan fragmentasi tersebut dengan menyediakan model operasional bersama, simulasi terpadu, dan kerangka pembelajaran kolaboratif dalam satu lingkungan yang aman dan terkontrol.
Sebagai infrastruktur pembelajaran nasional, COSC tidak dimaksudkan sekadar sebagai pusat pelatihan teknis. Ia adalah ruang integrasi pengetahuan, kebijakan, dan pengalaman operasional. Di dalam COSC, peserta tidak hanya dilatih untuk menjalankan prosedur, tetapi diajak memahami bagaimana keputusan di satu domain—misalnya perubahan Target Off-Block Time di bandara—berdampak langsung terhadap pengelolaan arus lalu lintas udara dan stabilitas jaringan penerbangan maskapai. Dengan demikian, COSC menumbuhkan cara pandang sistemik yang selama ini sulit dibangun melalui pelatihan sektoral.
Dari sisi konseptual, COSC berfungsi sebagai laboratorium kebijakan operasional. Berbagai strategi, prosedur baru, maupun skenario kebijakan dapat dimodelkan dan diuji melalui simulasi sebelum diterapkan di dunia nyata. Pendekatan ini mengurangi risiko implementasi kebijakan yang tidak siap operasional, sekaligus memungkinkan pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based decision making). Dalam lingkungan simulasi, kegagalan bukanlah bencana, melainkan sumber pembelajaran yang berharga.
Secara operasional, COSC memanfaatkan pendekatan pemodelan end-to-end sistem transportasi udara, yang mencakup proses bandara, kapasitas dan struktur ruang udara, serta jaringan operasi maskapai. Model-model ini kemudian dihidupkan melalui simulasi A-CDM, ATFM, dan AO-CDM/OCC yang saling terhubung. Peserta dapat mengalami langsung dinamika kolaborasi operasional, memahami trade-off antar kepentingan, dan melihat konsekuensi jangka pendek maupun jangka panjang dari setiap keputusan.
Pendekatan pembelajaran COSC juga didesain berbasis real-time collaborative simulation. Artinya, bandara, ANSP, dan maskapai tidak belajar secara terpisah, tetapi terlibat secara simultan dalam satu skenario yang sama. Dalam simulasi ini, setiap aktor menjalankan perannya masing-masing, namun keputusan yang diambil selalu berdampak lintas sistem. Melalui proses ini, terbentuklah common operational picture yang tidak hanya bersifat visual, tetapi juga kognitif dan konseptual.
Lebih jauh, COSC berperan sebagai inkubator sumber daya manusia penerbangan dengan pola pikir sistemik. Generasi baru profesional penerbangan tidak lagi dibentuk hanya sebagai spesialis teknis, tetapi sebagai pengambil keputusan yang memahami ekosistem. Mereka dibiasakan berpikir lintas organisasi, lintas fungsi, dan lintas horizon waktu. Inilah kompetensi kunci yang dibutuhkan untuk mengelola sistem penerbangan nasional yang semakin kompleks dan dinamis.
Dalam jangka panjang, COSC juga berfungsi sebagai pusat akumulasi pengetahuan nasional di bidang operasi penerbangan kolaboratif. Data hasil simulasi, pembelajaran dari berbagai skenario, serta praktik terbaik yang berkembang di dalam COSC dapat menjadi rujukan bagi penyusunan kebijakan, pembaruan regulasi, dan pengembangan standar operasional nasional. Dengan demikian, COSC tidak hanya mendukung operasional harian, tetapi juga memperkuat tata kelola penerbangan nasional secara berkelanjutan.
Sebagai infrastruktur pembelajaran nasional, COSC memiliki nilai strategis yang melampaui kepentingan institusional. Ia menjadi ruang netral tempat berbagai kepentingan bertemu, berdialog, dan diselaraskan melalui pendekatan ilmiah dan simulatif. Dalam ruang ini, kolaborasi tidak dipaksakan oleh regulasi semata, tetapi tumbuh dari pemahaman bersama tentang bagaimana sistem bekerja dan bagaimana sistem dapat ditingkatkan secara kolektif.
Dengan menjadikan COSC sebagai fondasi pembelajaran nasional, Indonesia mengambil langkah penting menuju kematangan sistem penerbangan. Modernisasi tidak lagi dipahami sebagai akumulasi proyek-proyek terpisah, melainkan sebagai proses pembelajaran berkelanjutan yang membangun common operational picture, memperkuat kolaborasi, dan meningkatkan ketahanan sistem. COSC, dalam konteks ini, bukan sekadar fasilitas, melainkan instrumen strategis negara untuk memastikan bahwa pertumbuhan penerbangan nasional berjalan seiring dengan keselamatan, efisiensi, dan kedaulatan operasional.
Dampak terhadap SDM dan Tata Kelola Nasional
Investasi pada Collaborative Operations System bukan hanya investasi teknologi, tetapi investasi pada manusia dan tata kelola. SDM yang terbiasa bekerja dalam lingkungan simulasi kolaboratif akan membawa pola pikir tersebut ke operasi nyata. Mereka tidak lagi melihat sistem dari kacamata sektoral, melainkan dari perspektif ekosistem.
Dalam jangka panjang, hal ini memperkuat ketahanan sistem penerbangan nasional. Sistem yang dipahami bersama lebih adaptif terhadap krisis, lebih efisien dalam kondisi normal, dan lebih selamat dalam segala situasi.
Penutup: Kolaborasi sebagai Jalan Menuju Kematangan Sistem
Membangun common operational picture bukan pekerjaan singkat. Ia membutuhkan visi, investasi, dan kesediaan untuk meninggalkan cara kerja lama yang sektoral. Namun tanpa langkah ini, modernisasi penerbangan Indonesia akan terus berjalan dalam fragmen-fragmen yang terpisah.
Melalui pemodelan dan simulasi Collaborative Operations System yang terintegrasi, Indonesia memiliki peluang untuk melompat menuju kematangan sistem penerbangan yang sejati—sistem yang tidak hanya modern secara teknologi, tetapi matang secara kolaborasi, tangguh secara operasional, dan berdaulat dalam pengambilan keputusan.
Pustaka:
International Civil Aviation Organization. (2016). Airport collaborative decision making (A-CDM) (Doc 9968). ICAO.
International Civil Aviation Organization. (2016). Air traffic flow management (ATFM) (Doc 9971). ICAO.
International Civil Aviation Organization. (2022). Global air navigation plan (GANP). ICAO.
International Air Transport Association. (2019). Guidance on airline operations control centres (OCC). IATA.
EUROCONTROL. (2019). ATFM user’s manual. EUROCONTROL.
