Sabtu, Mei 4, 2024

Membaca Zuboff, Membongkar “Surveillance Capitalism”

Ghozian Aulia Pradhana
Ghozian Aulia Pradhana
Ph.D student in Media and Communication Studies, University of Malaya

Bicara soal kapitalisme, seperti menumbuhkan kebencian mengakar, tapi semua orang cinta kapitalisme. Kapitalisme berevolusi dan mengklaim hal-hal yang tumbuh di luar dinamika pasar lalu diseretnya ke dalam, mengubahnya menjadi apa yang kita kenal sebagai komoditas, termasuk pengalaman manusia sekalipun.

Tulisan ini adalah upaya membaca analisis Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism, The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. Terbit di tahun 2019, teks tak kurang dari 700 halaman itu dianggap sebagai ikhtiar Zuboff mengingatkan kita dalam bayang-bayang kapitalisme pengawasan perusahaan raksasa teknologi.

Zuboff menawarkan penjelasan komprehensif tentang bentuk penindasan baru ekonomi. Profesor Emeritus Harvard Business School itu memulai pembahasannya pada sejarah baru perusahaan teknologi seperti kehancuran fenomena dotcom bubble, keberhasilan Apple dalam meraih keangkuhan penggunaannya, dan ekosistem pendukung pengawasan yang diciptakan National Security Agency (NSA).

Berbeda dengan kapitalisme tradisional (industri) yang mendapat keuntungan dari eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja, kapitalisme pengawasan mendapat keuntungan dari proses penangkapan, rendering, dan analisis data perilaku melalui metode “instrumentarian” yang dirancang untuk menumbuhkan ketidakpedulian secara radikal (Zuboff, 379).

Zuboff memang menggunakan analisis sosiologis untuk memanfaatkan bukunya sebagai kanon pertahanan diri digital di Abad 21. Sebab, perusahaan raksasa digital seperti Google dan Facebook telah berhasil membujuk kita untuk menukarkan data privasi dengan pengalaman yang kita anggap kesenangan gratis.

Padahal privasi data pribadi yang “diambil” dari kita digunakan pihak ketiga untuk memprediksi perilaku. Tidak berhenti sampai di situ, data itu juga direproduksi agar mampu memengaruhi dan memodifikasi perilaku kita. Ini jelas berbahaya bagi demokrasi dan kebebasan. Zuboff menyebutnya “pengambilalihan hak asasi manusia” yang dipahami sebagai “kudeta dari atas.”

Menurutnya, segala sesuatu dapat diterjemahkan menjadi informasi; pertukaran, peristiwa, objek, dan aliran data yang digunakan untuk pengawasan dan kontrol. Kapitalisme telah berevolusi menjadi lebih buruk dari yang dibayangkan selama ini. Konsentrasi kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan di era digital adalah terburuk sepanjang sejarah kapitalisme. Zuboff memberi gambaran tentang bisnis model para punggawa raksasa digital tersebut;

“ketika tidak ada lagi hal tersisa untuk dikomodifikasi, keperawanan terakhir yang diincar kapitalisme adalah pengalaman pribadi manusia.”

Sekilas jika membaca dan memaknai buku Zuboff, Zuboff terkesan pesimistis memandang tatanan ekonomi baru dan dampaknya bagi umat manusia. Mustahil mengharapkan masa depan digital akan menjadi tempat indah bagi kita. Tanpa mendekonstruksi ulang sistem secara signifikan, menempatkan demokrasi di atas kepentingan konservatif negara untuk persoalan pengawasan sektor privat, malapetaka mungkin saja terjadi.

Data perilaku pengguna di dunia maya tidak saja memainkan peran untuk sekedar memberikan umpan balik bagi peningkatan layanan platform digital, tetapi juga dinilai menjadi basis prediksi akurat perilaku penggunanya di kemudian hari. Dimulai dari cara kita mencari keyword, penelusuran lanjut, interaksi sosial kita, ke mana saja tempat berkunjung, semua itu berakhir dalam proses datafikasi untuk tujuan produksi dan penjualan.

Tidak berbeda dengan kapitalisme industri tradisional, industri data juga mengandaikan pabrik untuk memproduksi data komputasi. Data komputasi pertama yang terbilang sukses misalnya adalah rasio klik-tayang yang ditemukan oleh Google (pabrik) untuk memprediksi sebagian perilaku manusia dalam memilih preferensi iklan. Menurut Zuboff, menggunakan memo Facebook yang bocor pada tahun 2017, ada enam juta prediksi perilaku manusia yang diproduksi dalam satu detik.

Prediksi tersebut kemudian dijual ke pelanggan bisnis. Bagi pebisnis, mengetahui apa yang akan kita lakukan dan kecenderungan perilaku konsumen lainnya di masa depan adalah ladang emas. Menariknya data yang diperoleh dari tiap-tiap individu dikumpulkan, justru digunakan untuk memprediksi perilaku populasi yang lebih besar. Tentu saja itu dilakukan oleh kemampuan komputasi perusahaan teknologi di dalam laboratorium eksperimental raksasa.

Perusahaan kapitalis pengawasan seperti Facebook dan Google, memiliki lebih banyak informasi tentang warga negara dibanding yang dimiliki oleh pemerintah. Mereka memanfaatkan pengetahuan komprehensif untuk memberikan feedback bagi layanan antarmuka yang sama di mana data tersebut diperoleh dari kita. Semua infrastruktur dan ekosistem layanan digital saat ini didominasi untuk tujuan menggiring perilaku pengguna ke arah yang sejalan dengan tujuan komersialisasi bisnis. Pengguna berubah menjadi pelanggan.

Pendapatan kapitalis pengawasan mengalami surplus yang diperoleh dari komoditi perilaku manusia. Kapitalisme digital mengalami lonjakan akumulasi kapital luar biasa dari model bisnis pengawasan data pribadi. Ini dianggap Zuboff justru mendekatkan kita pada malapetaka kapitalisme berikutnya, yakni meningkatnya standar ekonomi dari perkembangan teknologi. Seperti penataan ulang formula keuntungan di berbagai sektor industri, mulai dari asuransi, pendidikan, kesehatan, ritel, keuangan, real estat, dan lainnya.

Ada kalanya kita bergantung pada aplikasi kesehatan, mengelola pola makan dari aplikasi yang sama, menggunakan platform daring penganti ruang fisik sekolah, memilah-milah pasangan ideal melalui dating apps, semua itu adalah bahan bakar bagi kapitalisme pengawasan. Dengan begitu konsep privasi dianggap sebagai ranah individu.

Solusi privatisasi data individu seperti kepemilikan data, portabilitas data, dan aksesibilitas data menjadi tidak efektif. Kita tidak bisa menuntut data dan informasi yang telah kita berikan dengan sukarela. Tidak semua data secara sadar kita berikan, ada data yang dianggap berwujud seperti nama, nomor ID, alamat rumah, nomor handphone dan lainnya. Tetapi saat kita menggunakan Google Maps untuk membeli makan, ke tempat tujuan, dan seberapa sering kita mengunjungi suatu lokasi, dianggap sebagai data tidak berwujud.

Oleh karenanya, fenomena privasi data individu harus dianggap sebagai fenomena kolektif. Pada tingkat suprastruktur, terlihat pengawasan ekstrim kapitalisme pada pengetahuan dan kekuatan untuk mengubah perilaku diperoleh dari pengetahuan tersebut. Para pemodal (raksasa digital) mereproduksi pola sosial dari era pra-modern dan pra-demokrasi, ketika pengetahuan dan kekuasaan dibatasi pada kekuatan absolut dari sebagian kecil elite.

Sebagai penutup, Zuboff mengutarakan harapannya pada perjuangan rezim demokrasi. Mengatur ulang regulasi, mengubah paradigma dalam tata kelola regulasi baru, serta menguasai pengetahuan untuk memahami model kapitalisme pengawasan adalah segelintir cara memaksa penguasa kapitalis digital tunduk pada hukum dan demokrasi. Meski demikian, ini adalah jalan panjang yang harus diupayakan tanpa henti.

Referensi:

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.

Ghozian Aulia Pradhana
Ghozian Aulia Pradhana
Ph.D student in Media and Communication Studies, University of Malaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.