Membincang politik kultural, ada satu nama yang sejauh ini konsisten membawa aroma kultural dalam panggung politik. Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta yang berani menentang arus kebanyakan demi menjaga tradisi dan identitas kultural masyarakat Purwakarta. Pada kampanye periode pertama, Dedi Mulyadi dikenal sebagai “Orang Desa”, ia berkeliling desa, menemui konstituen langsung, bahkan tanpa membawa tim kampanye dan media. Saya tahu, karena saat itu saya sedang melakukan penelitian Sosial Politik di Purwakarta.
Tahun 2008, Dedi Muyadi sudah dikenal seantero pedesaan, keterkenalannya tidak lain karena keluar masuk desa, ikut gotong royong membangun jalan desa, bersedia meresmikan gapura desa, yang pada saat itu rasanya sulit menemukan Wakil Bupati, atau pejabat setingkatnya yang meresmikan atau ikut berkotor tangan kaki, gotong royong. Selain juga terkenal dengan pakaian khas Sunda.
Sebagai anggota peneliti di lembaga suvey politik kenamaan saat itu, nama Dedi Mulyadi meraup suara keterpilihan dominan di Desa, tetapi minim pemilih di Kota. Sepanjang keberadaan di Purwakarta, saya coba sedikit menelusuri, alasan kuatnya adalah Dedi Mulyadi dianggap terlalu mistis, tidak modern, dan tidak sejalan dengan pemikiran orang-orang Kota yang saat itu didominasi oleh kelompok Agama Kota.
Tetapi, justru Dedi Mulyadi konsisten, dan puncaknya pada saat akhir masa kampanye di tahun 2008, Dedi Mulyadi menghadirkan hiburan rakyat di pendopo Kabupaten, semalam suntuk dengan pagelaran Wayang. Sekali lagi, data yang saya ambil dari interview masyarakat perkotaan, mereka semakin memusuhi Dedi Mulyadi. Tetapi dalam hitungan sederhana, calon pemilih di Desa jauh lebih mendominasi dibanding di Kota. Maka keluarlah Dedi Mulyadi sebagai pemenang, dengan lumbung suara berasal dari pedesaan.
Politik Kultural Berkelanjutan
Hingga hari ini, rupanya Dedi Mulyadi konsisten, ia semakin terang-terangan membangun ke “Istimewa” an Purwakarta, sebagai Jawa Barat Sejati, dengan dalih budaya Sunda, Dedi Mulyadi mengantarkan pakaian sunda sebagai pakaian resmi untuk pegawai di lingkungan pemerintahan Purwakarta, pun menyebar hingga ke sekolah-sekolah.
Dari sini, terlihat jelas betapa Dedi Mulyadi tidak menghawatirkan apa-apa, dalam berpolitik ia mengalir, tidak pernah terbukti memusuhi musuh politiknya, ia begitu mencintai Purwakarta, bahkan secara luas sebetulnya ia mencintai Sunda, yang artinya melebihi batas-batas teritorial kewilayahan. Kebijakan Dedi Mulyadi lebih banyak mengakar pada karakter kebangsaan masyarakat Purwakarta.
Lihat saja, bagaimana ia harus berhadapan dengan kelompok yang berpikir pendek, tidak universal, memusuhi kecintaan DediMulyadi pada Sunda, belum lagi kebiajakn yang berkaitan dengan pendidikan, anak-anak sekolah ia tata hingga menjadi siswa yang lebih disiplin.
Tetapi, membangun karakter masyarakat memang tidak tampak kepermukaan, terlebih di Media Massa. Padahal, justru itulah penguatan penting, dan faktanya, Purwakarta secara fisik pun tidak stagnan, insfrastruktur dibangun, lingkungan perkotaan lebih bersih, bahkan Dedi Mulyadi sendiri yang mengawal kebersihan kotanya.
Memang, tidak banyak meresmikan taman dengan undangan Wartawan, setidaknya Dedi Mulyadi telah memulai pondasi masyarakatnya sebagai masyarakat kultural yang teduh, harmoni, dan tumbuh sebagai Sunda yang luhur. Ke depan, entah benar tidaknya, ketika Dedi Mulyadi diajukan oleh masyarakat untuk memimpin Jawa Barat, ada harapan bahwa politik kultural semakin meluas. Dan harmoni jauh lebih panjang usianya, dibanding dengan taman-taman kini.[]