Sekitar 4 bulan silam, tempat ibadah kelompok milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat dirusak habis-habisan oleh kelompok Islam intoleran. Mereka yang terdiri dari 100 lebih orang tanpa kenal malu melempari botol berisi bensin ke tempat ibadah tersebut.
Indonesian Police Watch (IPW) menegaskan bahwa tindakan persekusi tersebut merupakan kulminasi dari tindakan-tindakan diskriminatif yang sebelumnya dilakukan terhadap JAI. Sikap Pemerintah Kabupaten Sintang yang menyegel tempat ibadah JAI pada tanggal 14 Agustus yang dilanjutkan dengan penerbitan surat edaran yang melarang kegiatan JAI merupakan manifestasi paripurna dari hal tersebut.
Kisah yang hampir sama juga dialami oleh umat Kristen di daerah Tulang Bawang, Lampung. Perayaan natal yang mereka helat di gereja dibubarkan oleh massa lantaran suart izin yang belum turun. Perdebatan dan percekcokan pun tak terhindarkan hingga sempat menjadi perbincangan di media sosial.
Memang keadaan sekarang telah berubah menjadi kondusif dan terjalin sebuah kesepakatan. Dalam kesepakatan itu gereja boleh merayakan Natal, namun dibatasi sampai tanggal 26 Desember dan setelahnya gereja dilarang menghelat ibadah kecuali sebagai rumah doa atau rumah ibadah keluarga. Pendeta daerah Tulang Bawang pun sudah menurunkan tanda salib yang terpasang di atas gereja.
Dari dua kisah tersebut, bila Gus Dur masih hidup, saya yakin, beliau akan berdiri tegak membela mereka yang mendapatkan tindakan diskriminasi tersebut. Sudah bukan menjadi rahasia umum, Gus Dur ialah sosok yang getol dan berani membela kaum minoritas dan kaum mustadh’afin.
Hal tersebut terpampang secara jelas ketika beliau membela kelompok Ahmadiyah yang dipersekusi, memberikan perlindungan kepada kelompok Tionghoa untuk melaksanakan ibadah dan banyak contoh lainnya. Cercaan, sindiran, ejekan kafir atau kalimat yang spesifik dari Habib Rizieq “Buta mata juga buta hati” tak diindahkan oleh Gus Dur.
Mengapa Gus Dur begitu getol dan berani membela kelompok-kelompok minoritas dengan segala resiko yang kelak dihadapinya? Itulah pertanyaan yang menyeruak di kepala saya. Rupanya, jawaban itu tak lain dan tak bukan ialah karena Gus Dur seorang Humanis. Namun, bagaimanakah model humanisme yang dirancang oleh Gus Dur? Sebelum menjawab pertanyaan ini penting untuk menerangkan apa itu humanisme.
Sekilas Tentang Humanisme
Humanisme ialah paham yang mengedepankan penghargaan atas hak-hak manusia. Sebagai makhluk yang rasional dan emosional, manusia memiliki kebebasan untuk memilih apa yang dipercayainya sebagai kebenaran. Tidak seorang pun boleh mengdiskreditkan atau merisak apa yang menjadi pilihannya.
Secara historis, humanisme sebenarnya sudah berkembang dalam bangsa Yunani Kuno melalui pendidikanya, paidea, yang menghargai dan mengolah bakat kodrati manusia, serta berkembang dalam bangsa Romawi Kuno melalui gagasan animal rationale. Namun, gagasan ini sempat mati sejenak di zaman Abad Pertengahan karena gereja mendeklarasikan diri menjadi satu-satunya otoritas kebenaran.
Humanisme mulai dibangkitkan lagi di zaman Renaissance (kelahiran kembali Yunani Kuno) dan diradikalkan di zaman Aufklarung (pencerahan). Akibat agama dijadikan sebagai alat untuk mengintervensi dan mengontrol lika-liku kehidupan manusia dan di sisi lain digunakan untuk mempertahankan kekuasaan, lahirlah suatu humanisme yang tak membutuhkan agama sebagai pegangan hidup. Oleh karena itu, ia disebut juga dengan “Humanisme Ateistik” (F. Budi Hadirman: 2012, 16).
Memang humanisme ini menghargai kebebasan manusia dan mendorong manusia untuk berani berpikir di luar dogmatisme agama, sebagaimana dimaklumatkan oleh Immanuel Kant dalam esainya yang berjudul What is Enlightenment (Immanuel Kant: 2016, 535). Bagi humanisme ini, manusia bisa menciptakan kebahagiaan dalam dunia yang imanen ini. Manusia tak perlu menunggu dunia transenden untuk mendapatkan kebahagiaan.
Menurut Auguste Comte, kebahagiaan tersebut dapat dicapai ketika manusia menuju zaman postivis, zaman ketika tolak ukur kebenaran didapat melalui pencarian fakta dan eksperimentasi pada alam semesta ini. Zaman teologis yang memikirkan Tuhan dan hal-hal gaib serta zaman metafisis yang mengabstrasikan secara filosofis alam semesta ini harus mutlak ditanggalkan.
Dengan menanggalkan Tuhan, teori tersebut seolah-olah mengatakan bahwa manusia adalah pemilik alam semesta dan oleh karenanya bebas mengekstrasinya dengan semau-maunya. Pantas saja, kolonialisme, perang dunia, perubahan iklim dan bencana alam terjadi. Humanisme yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan ini ujung-ujungnya justru mendehumanisasi manusia.
Memperkenalkan Humanisme Gus Dur
Dalam konteks tersebut, penting untuk mengajukan humanisme yang ditawarkan oleh Gus Dur. Humanisme Gus Dur merupakan humanisme yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam. Humanisme ini memanifestasikan diri ke dalam tiga nafas Islam: tauhid, fiqih dan akhlak. Ketiga hal tersebut, tanpa kita sadari, sebenarnya memuat nilai-nilai kemanusiaan (Syaiful Arif: 2013, 282).
Tauhid yang mengajarkan keesaan Tuhan pada dasarnya justru terpatri perintah untuk memuliakan manusia. Sebagaimana diperlihatkan dalam surat al-Baqarah ayat 30 bahwa manusia diperintah untuk menjadi Khalifatullah fil Ardh (Wakil Tuhan di bumi). Sebagai wakilnya, manusia boleh menggunakan segala hal dari alam semesta ini asalkan tidak sewenang-wenang dan tentu saja membawa kesejahteraan bagi makhluk lainnya(Abdurrahman Wahid: 2001, 153).
Dengan Tauhid ini, Gus Dur juga membuktikan bahwa humanisme bisa eksis tanpa meniadakan Tuhan. Humanisme tak perlu dibenturkan dengan agama, melainkan sudah taken for granted dalam tubuh agama itu sendiri. Argumen ini dapat dijadikan sebagai antidot bagi tesis Jean Paul Sartre yang menganggap humanisme tidak bisa eksis jika Tuhan masih ada.
Hal senada juga dapat ditemukan dalam Fiqih. Gus Dur mendemonstrasikan bahwa kepedulian akan kemanusiaan tercermin pada lima hak dasar dalam Maqashid Syariah yakni, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar prosedur hukum (hifdz al nafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa boleh memaksa orang untuk berpindah agama (hifdz al-din), keselamatan keluarga dan keturunan (hifdz al-nafs), keselamatan pribadi dan hak milik harta di luar prosedur hukum (hifdz al-mal), dan keselamatan profesi (hifdz al’irdl) (Abdurrahman Wahid: 1988, 179-180).
Terakhir adalah akhlak. Pada titik ini, akhlak harus dipahami dalam kerangka etika sosial. Pasalnya, menurut Gus Dur, tujuan utama dari diutusnya Nabi Muhammad SAW bukan hanya menyempurnakan akhlak pribadi, melainkan akhlak masyarakat. Sehingga, akhlak tak hanya berfungsi untuk mengatur tata perilaku personal agar sesuai dengan norma masyarakat, melainkan mengkonfigurasi masyarakat agar memiliki kepedulian sosial terhadap kaum tertindas, kaum mustadh’afin dan kaum minoritas (Syaiful Arif: 2013, 149).