Senin, Desember 9, 2024

Haul Gus Dur Ke-12, Fordem dan Perjuangan Demokrasi

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.
- Advertisement -

Abdurrahman Wahid yang akrab disebut Gus Dur, menorehkan pelbagai corak demokrasi di Indonesia. Perawakannya berbeda dengan masyarakat biasa. Ia selalu tersenyum dan menyebar benih-benih perdamaian di setiap daerah mafhum jadi adem.

Tepat tiga puluh Desember lalu, kita memperingati haul Gus Dur ke-12, beberapa kelompok menyenandungkan lafal Al-Fatihah, Sholawat serta Yasin kepada Gus Dur, atas jasanya bagi bangsa ini.

Perhelatan demokrasi Orde Baru sering kali menampakkan tanda-tanda otoritatif dengan membungkam perkumpulan ataupun narasi-narasi yang riskan mengusik kemapanan pemerintah. Padahal negeri demokrasi itu, bebas akan segala bentuk ucapan dan pendapat secara bebas?

Awal mula negeri ini, memilih agar jadi negeri yang merdeka, nampaknya masih terus mencari konsep demokrasi yang pas. Mulai dari konsep demokrasi liberal, dengan menjamurnya pelbagai partai, konsep terpimpin seperti tangan besi, hingga orde baru dengan klaim kembali ke- UUD 1945 dan Pancasila terus mengalami proses pencarian.

Pergolakan masyarakat Indonesia yang kupingnya panas agar menggulingkan rezim orde baru, bertengger hampir empat windu, menjadi tanggung jawab bersama mengawal makna reformasi sampai hari ini.

Sepak terjang Gus Dur benar-benar membuka mata tabir demokrasi. Beliau benar-benar menyadarak makna keadilan. Walaupun moncong bedil bersiap diketuk kearah badannya, tak ada yang Ia takutkan selain masyarkat minoritas yang dipinggirkan, patut untuk diperjuangkan.

Awal tahun 1991, gertakan Gus Dur membuat gonjang-ganjing seisi ruangan kantor rezim orde baru. Melalui perkumpulan dengan jumlah empat puluh kelompok itu, Gus Dur dkk bermusyawarah sehingga menghasilkan mufakat Cibeureum.

Sejuk udara Cibeureum nampaknya menghangatkan situasi forum dengan diikuti sekitar empat puluh orang pada pertengahan Maret 1991, untuk berbincang perihal sekterianisme dan kekauan demokrasi kita.

Forum itu dihadiri tokoh-tokoh sekaliber Aswab Mahassin, Daniel Dhakidae dan Manuel Kaeiseppo selaku tokoh LP3S pada waktu itu, hingga mantan pimpinan redaksi Koran Suara Karya.

Tak hanya itu, tokoh-tokoh kawakan seperti Frans Magnis Suseno, YB. Mangunwijaya, Bondan Gunawan dan Arif Budiman juga turu serta pada musyawarah tersebut. Orang-orang intelektuil berkumpul di tempat itu, dinginnya Cibeureum jadi hangat karena nikmatnya kursi musyawarah berhelat.

- Advertisement -

Genap tiga hari dua malam, alhasil membuat selembar dokumen yang diberi judul “Mufakat Cibeureum”. Dari selembar dokumen itu, disepakati akan digerakan oleh Kelompok Kerja (Pokja). Adapun beberapa hasilnya yaitu; Memperluas keiskutsertaan pendapat umum dalam upaya pendewasaan bangsa lewat prose demokratisasi dan Menggalang kaitan-kaitan antara berbagai upaya perjuangan demokratisasi yang masih tersebar dan serba kecil itu.

Gus Dur ditunjuk sebagai ketua Pokja, beliau pun mulai melakukan manuver menggarap Forum Demokrasi dibentuk untuk menampung keresahan masyarakat Indonesia yang merasa resah terhadap kondisi demokrasi di Indonesia pada waktu itu.

Demokratisasi, lebih ditujukan pada kesadaran masyarakat menengah kebawah akan sebuah kebebasan untuk bebas menyampaikan uneg-uneg nya secara bebas, tanpa adanya rasa takut.

Arswendo Atmowiloto yang divonis selama empat tahun pada Oktober 1990 karena penodaan agama, memantik gus dur menyampaikan pola gagasan yang membuat beberapa meneroka.

Arswendo yang pada waktu itu sebagai pemimpin tabloid majalah Monitor terpaksa mendekam di penjara, karena kasus penodaan agama. Kasus itu bermula kala, tabloid Monitor menyampaikan sebuah riset tokoh yang disukai oleh masyarakat pada waktu itu. Soeharto pada posisi atas sedangkan ada Nabi Muhammad di posisi kesebelas.

Pola pikir sekteraniasme, ujar Gus Dur sebagai tindak ketidakdewasaan masyarakat dalam memahamai sebuah makna demokrasi. Kontroversi seakan-seakan haram terjadi di tengah kompleksitas kebebasan berpendapat. “Kontroveris adalah Esensi Demokrasi. Kenapa takut adanya kontroversi? Wong, nabi saja mengizinkan kontroversi.” Celetuk Gus Dur pada Tempo (13/04/1991).

Bukan hanya itu, beberapa anggota dari musyawirin Cibeureum menyampaikan alasan, mengapa forum tersebut terbentuk. Mulya Lubis selaku pakar hukum kondang pada zamannya, “Forum ini sebagai jawaban atas keresahan pelbagai pelarangan; Opera Kecoak dan pembacaan sajak W.S Rendra.” Ujar Mulya.

Ketidaksiapan untuk Menjadi Siap

Gus Dur memang benar tokoh selalu dielu-elukan secara pemikirannya untuk bisa mengisi relung-relung demokrasi di Indonesia. Seperti halnya dejavu, perihal sekterianisme terkadang muncul dengan dalih pembelaan atas nama agama dan golongan.

Membungkam minoritas dengan dalih membahayakan pemikiran kelompok mayoritas sering kali kita temui. Berkumpul untuk bisa menunaikan ibadah di daerah Lampung, Sumatera faktanya dimonitori masyarkat lokal dan parahnya di paksa bubar.

Gus Dur mengajarkan bagaimana manusia Indonesia agar memegang teguh keberpihakan. Beliau tak perlu menukik intonasi diksinya, apalagi inflasi kata balutan ayat-ayat kitab. Beliau begitu simple dan halus kala mengkontekstualisasikan ayat untuk keberjalanan dinamika sosial tanpa harus muluk-muluk.

Keberanian dengan dibalut kebijaksanaan, mengiringi gerakan Gus Dur untuk menyadarkan makna demokrasi. Memaknai demokrasi bagi gus dur menanamkan pluralisme sebagai basis dasar untuk jadi rakyat demokratis. Ketika sekteranisme itu dilebur demi kepentigan bangsa, Undzur maqala wa la tandzur man qala, perlu dipahami lebih dalam agar tak merasa tinggi di segala hal.

Ketika, Kapuspen ABRI Jendral TNI Nurhadi, pada waktu itu dengan tegas menganggap fordem itu tak perlu dibentuk, Gus Dur dengan senyum penuh tulus itu, rela silaturahmi dengan petinggi ABRI menyosialisasikan Fordem dengan kepala dingin tanpa ngotot-ngotot.

Sosok seperti Gus Dur, selalu adem dan selalu dikangeni oleh pecinta perdamaian dan pejuang demokrasi di tanah air ini. Engkau selalu dirindukan Gus. Al-Fatihah.

Sumber:

K Ahmed,  dkk. 1991. Demokrasi Versi Mufakat Cibeureum. Majalah Tempo

Nasution, Amran. 1991. Gus Dur, Islam dan Demokrasi. Majalah Tempo

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.