Tak bisa dimungkiri, pendidikan hingga kini masih dipandang sebagai kunci utama untuk mencapai mobilitas sosial dan memperbaiki taraf hidup manusia. Banyak orang berbondong-bondong untuk masuk ke dalam sistem pendidikan. Yang menurut mereka, dengan masuk ke dalamnya, hidup mereka akan terjamin, sejahtera, dan mencerminkan masyarakat yang ideal.
Akan tetapi, semua itu tampaknya berimplikasi sebaliknya. Sebab, Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam karyanya, “Schooling in Capitalist America” (1976) menawarkan perspektif yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa sistem pendidikan, termasuk pula pendidikan tinggi, justru berfungsi untuk memperkuat stratifikasi sosial dan ekonomi dalam masyarakat kapitalis.
Menurut Bowles dan Gintis, kurikulum dan praktik pengajaran di sekolah menekankan kepatuhan, kedisiplinan, dan penghargaan atas hierarki otoritas. Hal ini dapat kita lihat dari dinamika pendidikan tinggi saat ini di Indonesia. Mahasiswa seolah hanya dijadikan sekrup-sekrup yang akan mengisi pabrik-pabrik.
Sebab mahasiswa memang dipersiapkan untuk mengambil peran dalam struktur produksi kapitalis. Maka tak heran, jika sistem pendidikan ke depannya akan mereproduksi nilai-nilai budaya borjuis. Seperti individualisme, kompetisi, dan orientasi sukses material. Pastinya, akan terlihat sejalan dengan kepentingan kelas berkuasa.
Lebih jauh lagi, Bowles dan Gintis melihat bahwa sistem pendidikan berperan dalam menyaring dan memilih individu yang ideal. Ideal untuk apa? Untuk mengisi posisi dalam struktur pekerjaan kapitalis, berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi mereka. Dari sini, kita bisa melihat bahwa pendidikan sebetulnya tidak akan bersifat netral. Pendidikan akan terus menjadi alat untuk mempertahankan status quo dan kepentingan kelas berkuasa dalam sistem kapitalisme ini.
Kemudian, jika ingin merasakan atmosfer kapitalistik dalam konteks nyata, maka fenomena kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah jawabannya. Fenomena kenaikan UKT di perguruan tinggi ini sejujurnya dapat dilihat sebagai manifestasi dari teori Bowles dan Gintis. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, rata-rata UKT di perguruan tinggi negeri pada tahun 2021 mencapai Rp7,2 juta per semester. Akan tetapi, beberapa universitas ternama di Indonesia baru-baru ini malah menaikkan UKT-nya secara fantastis.
Tentu, kita bisa melihat dengan jelas bahwa kenaikan UKT yang signifikan ini membuat biaya pendidikan tinggi semakin mahal dan tidak terjangkau bagi keluarga dari kelas ekonomi bawah. Apalagi, menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2021, sekitar 24,27 juta orang atau 9,19% dari total penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Artinya, akses pendidikan tinggi saat ini menjadi semakin terbatas bagi kelompok masyarakat miskin, yang nantinya akan membatasi mobilitas sosial vertikal mereka.
Secara gamblang, pembatasan akses pendidikan tinggi ini perlu kita perhatikan dengan serius. Bahkan, kita dapat memandang kasus ini sebagai upaya untuk mempertahankan stratifikasi sosial-ekonomi masyarakat kapitalis itu. Pasalnya, lagi-lagi, perguruan tinggi saat ini sangat berperan dalam mencetak tenaga kerja terdidik untuk mengisi posisi-posisi dalam sistem produksi kapitalis. Dengan arti lain, membatasi akses lewat UKT tinggi, manusia yang tertindas akan terus tertindas, dan manusia yang berkuasa akan terus selamanya berkuasa.
Ditambah lagi, jika kita perhatikan secara kritis, kenaikan UKT juga dapat dilihat sebagai kepentingan terselubung. Pertanyaannya, kepentingan bagi siapa? Jelas, kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan kelas berkuasa (borjuis), untuk mempertahankan privilege pendidikan tinggi bagi kelompok ekonomi menengah ke atas. Maksudnya, mereka akan tetap menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang mewah yang hanya dapat dijangkau oleh mereka yang mampu. Secara otomatis, kelas berkuasa dapat memastikan bahwa anak-anak mereka akan mendapatkan akses yang lebih baik terhadap pendidikan tinggi. Sehingga, dapat mengamankan posisi mereka di puncak hierarki sosial-ekonomi.
Kendati demikian, kritik terhadap sistem pendidikan yang diajukan oleh Bowles dan Gintis tidak berarti bahwa pendidikan tinggi tidak memiliki manfaat sama sekali. Kita memang sengaja dijebak oleh abivalensi sistem pendidikan yang carut marut ini. Mau seperti apa pun, pendidikan tinggi tetap berperan penting dalam mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan kapasitas intelektual individu. Akan tetapi, dalam konteks masyarakat kapitalistik, manfaat tersebut seringkali terdistorsi oleh kepentingan kelas tertentu untuk mempertahankan dominasi mereka.
Oleh karena itu, upaya untuk mereformasi sistem pendidikan tinggi menjadi sangat penting dilakukan. Langkah-langkah untuk menjamin akses yang lebih terbuka dan adil bagi semua lapisan masyarakat perlu segera diwujudkan. Utamanya, keadilan dan keterbukaan yang terlepas dari latar belakang ekonomi mereka.
Sehingga pada akhirnya, pendidikan tinggi seharusnya menjadi sarana untuk mencapai keadilan sosial dan mobilitas vertikal, bukan sebagai alat untuk memperkuat stratifikasi sosial-ekonomi yang ada. Maka dari itu, melalui pemahaman dinamika kekuasaan dan kepentingan yang tersembunyi di balik sistem pendidikan, kita dapat menciptakan perubahan yang lebih bermakna. Terutama, dalam mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa secara adil dan merata.