Jumat, April 26, 2024

Memaksimalkan Ruang “Windows of Death” Tsunami

Fotarisman Zaluchu
Fotarisman Zaluchu
PhD dari AISSR, University of Amsterdam, pendiri Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)

Tsunami baru saja terjadi kawasan Selat Sunda. Kawasan pantai di Provinsi Banten dan Provinsi Lampung diterjang oleh air laut. Tsunami ini diduga kuat dipicu oleh longsoran yang terjadi akibat erupsi Gunung Anak Krakatau, yang beberapa bulan ini memang menunjukkan keaktifannya.

Berdasarkan analisis, erupsi yang memicu tsunami tersebut terjadi pada pukul 21.02 WIB pada hari Sabtu (22/12/2018). Gelombangnya dideteksi tiba di Provinsi Banten pertama-tama di Kabupaten Serang pada pukul 21.27 WIB, lalu di Cilegon pada pukul 21.33 WIB. Di kawasan Provinsi Lampung, gelombang dideteksi pada pukul 21.35 WIB di Kabupaten Tanggamus dan pada pukul 21.53 WIB dideteksi di Bandar Lampung.

Namun deteksi pasif menggunakan alat pengukur tinggi gelombang tersebut hanya mencatat kejadian meningkatnya tinggi gelombang laut. Sementara beberapa saat sebelumnya, tsunami telah terlebih dahulu menghantam daerah-daerah yang tanpa alat pengukur tinggi gelombang bahkan tanpa alat peringatan tsunami. Tercatat, di Kabupaten Pandenlang, pesisir pantai disapu oleh tsunami. Tak ada alat yang memberikan peringatan bahkan pencatatan apapun di kawasan tersebut.

Kejadian ini lagi-lagi menunjukkan kealpaan kita di dalam mencegah jatuhnya korban manusia secara sia-sia. Waktu yang lebih dari cukup sebenarnya tersedia sejak dari kejadian erupsi sampai dengan tibanya gelombang tsunami ke bibir pantai untuk segera memberikan peringatan kepada para penduduk di kawasan yang diperkirakan akan dilanda tsunami. Tetapi itu tidak terjadi.

Kealpaan yang terus menerus berulang. Padahal, Indonesia adalah negara dengan “windows of death” yang sangat sempit. Artinya waktu kejadian yang memicu tsunami yang mengancam nyawa dengan respon yang seharusnya bisa dilakukan jaraknya tak lama. Hanya dalam hitungan menit saja. Sayangnya, “windows of death” yang begitu singkat tersebut tidak membuat kita memberikan respon yang jauh lebih sigap dan siaga.

Kondisi kita pun saat ini semakin rawan. Trend kerawanan dampak tsunami ini terlihat dalam Atlas of the human planet 2017: Global Exposure to natural hazards. Di dalam laporan tersebut, risiko masyarakat yang terkena dampak tsunami di Indonesia jauh meningkat dan menempatkan Indonesia di posisi ketiga setelah Jepang dan China.

Tidak belajar

Di setiap kali peristiwa bencana, termasuk tsunami, kita sering kurang belajar bahkan cenderung ngeles. Pasca gempa bawah laut yang terjadi pada akhir tahun 2004 di kawasan Samudra Indonesia yang kemudian memicu tsunami, Indonesia sudah mulai mencoba membangun sistem mitigasi yang baik dengan menempatkan alat deteksi permukaan laut (buoy) di setidaknya 22 titik.

Namun ternyata alat-alat tersebut telah diketahui tidak lagi berfungsi setidaknya dalam lima tahun terakhir. Apa pasal? Ternyata alat-alat ini rusak, hilang atau tidak diketahui lagi keberadaannya. Memang sangat disayangkan karena hal ini banyak dilakukan oleh warga masyarakat yang tidak sadar pentingnya alat tersebut.

Tapi mengapa kemudian kejadian tersebut dibiarkan dan kita tidak mengganti alat tersebut supaya dapat terus menerus bermanfaat? Kalau terus menerus mengeluh dan menyalahkan masyarakat yang mencurinya, lalu bagaimana nasib hampir 4-6 juta penduduk Indonesia di kawasan pesisir yang rawan tsunami seperti di area Selat Sunda? Apakah nyawa mereka hanya dibiarkan begitu saja karena alasan ketidakmampuan kita mengedukasi dan menciptakan cara merawat buoy?

Padahal penempatan alat-alat pendeteksi tsunami sejenis bouy saja pun bukanlah upaya yang memadai. Masih ada alat lain yang dapat dipasang dibawah permukaan yang jauh lebih sensitif. Alat ini memiliki sensor alat deteksi di bawah permukaan yang terhubung langsung dengan satelit. Dengan alat canggih ini, maka pergerakan bawah laut sekecil apapun begitu mudah diantisipasi dampaknya di daratan. Bayangkan betapa banyak nyawa yang seharusnya bisa diselamatkan jika saja dalam waktu 5-10 menit saja peringatan mengenai datangnya tsunami telah diterima.

Yang terlena memang bukan cuma pemerintah pusat. Pemerintah daerah pun banyak yang juga sudah tak peduli soal respon atas tsunami. Di berbagai wilayah yang pernah terkena dampak tsunami, situasi kesadaran merespon tsunami hampir-hampir tak pernah lagi pun dilakukan. Pemerintah daerah hanya asyik mendirikan museum, monumen dan patung mati sekedar peringatan tsunami. Namun mengajak masyarakat mengaktifkan kembali pelajaran menyelamatkan diri melalui jalur-jalur evakuasi sudah lama ditinggalkan. Sistem nasional antisipasi bencana tsunami kita sama sekali telah colaps dari pusat sampai daerah.

Ironi

Di saat yang sama, pemerintah malah sedang menggalakkan potensi wisata dan ekonomi di kawasan pantai. Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung, misalnya adalah kawasan ekonomi yang berada di tepi pantai, yang ironisnya “ditempatkan” berhadap-hadapan langsung, muka dengan muka, dengan salah satu sumber penyebab tsunami aktif di Indonesia, Gunung Anak Krakatau.

Tak pelak, ketika tsunami terjadi dan meluluhlantakkan pemukiman, bukankah itu berarti upaya investasi ekonomi dalam tiga sampai dengan lima tahun terakhir di kawasan itu menjadi sia-sia. Harus pula dicatat jika KEK Tanjung Lesung, adalah KEK kedua setelah KEK Palu, yang dihancurkan bencana yang sama yaitu tsunami. Artinya apa? Manajemen pembangunan, tidak disertai risiko bencana yang disandarkan pada riset dan antisipasi yang baik. Kesannya asal-asalan.

Benar bahwa banyak kawasan pantai sangat penting dijadikan destinasi prioritas pengembangan parisiwata baru bahkan pusat ekonomi baru. Namun, mengabaikan kesejarahan bencana, potensi bencana di masa depan, bahkan tanpa upaya membangun respon atas potensi bencana tsunami di kawasan pantai adalah kebijakan yang sangat merugikan.

Kebijakan mendirikan KEK di kawasan yang telah diketahui rawan tsunami tanpa disertai sistem peringatan dini adalah kebijakan bunuh diri. Pemerintah mendorong berdirinya hotel, layanan wisata, pemukiman dan aktifitas ekonomi untuk mengembangkan kawasan tersebut. Lalu mendorong masyarakat memenuhi lokasi-lokasi tersebut. Sementara sesungguhnya pemerintah tahu jika lokasi tersebut rawan tsunami, pemerintah malah tak membangun cara mencegah masyarakat kelak terhindari dari gelombang kematian akibat tsunami.

Sudah saatnya pemerintah mengalokasikan dana yang memadai untuk membangun early warning system yang canggih di seluruh wilayah yang rawan tsunami. Manuver kita di “windows of death” sangat sempit. Tak ada pilihan lain selain menggunakan teknologi yang sensitif perubahan gelombang laut. Biaya membangun sistem itu tentu tak bisa dibandingkan dengan nyawa manusia yang hilang sia-sia. Biaya yang kita alokasikan untuk membangun early warning system ini adalah ukuran sejauh mana kita menghargai nyawa manusia. Jika untuk jalan tol kita bersedia berutang, mengapa untuk mengadakan alat-alat sepenting itu kita tak serius?

Pemerintah juga sudah saatnya mewajibkan integrasi pengelolaan bencana dalam pembangunan nasional, maupun pembangunan daerah. Edukasi bencana, simulasi, dana tanggap darurat, harus menjadi salah satu item asesmen dalam menilai usulan APBD pemerintah daerah yang berada di kawasan rawan tsunami.

Marilah kita berubah!

(Penulis adalah PhD lulusan UvA, pendiri Perkamen)

Fotarisman Zaluchu
Fotarisman Zaluchu
PhD dari AISSR, University of Amsterdam, pendiri Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.