Lahir dari rahim ibu pertiwi, Pancasila, diperkenalkan pertama kalinya oleh Soekarno pada sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI. Tepat tanggal 1 juni 1945, pidato Soekarno di sambut meriah para anggota sidang. Saat itulah ide-ide penting tentang dasar negara serius dibicarakan. Pada akhirnya dilanjutkan dengan pembentukan Dokuritsu Junbi Inkai atau PPKI hingga pada 17 Agustus kemerdekaan diproklamirkan.
Pancasila seperti yang kita ketahui, memiliki makna yang mendalam tentang karakter dan jadi diri bangsa Indonesia. Itu sebabnya, ia diyakini sebagai dasar negara yang seutuhnya digali dari bumi pertiwi dan kehidupan budayanya yang luhur.
Di samping itu, Yudi Latif misalnya, dalam buku Negara Paripurna menerangkan, Pancasila dapat dijadikan sebagai pandangan hidup. Dengan kata lain Pancasila sebagai falsafah atau state of mind bangsa Indonesia, bahwa Pancasila harus dikembangkan dan diajarkan menjadi praktik hidup dalam bernegara.
Saat ini, agaknya tidak berlebihan jika kita mengatakan sebagian elit bangsa telah kehilangan arah bernegara. Para elit secara konsisten menampilkan perilaku bernegara yang seakan jauh dari falsafahnya yang luhur. Dapat kita cermati, ada dua masalah serius yang menjadi tolok ukur argumentasi ini dapat dibenarkan;
Pertama, Pertengkaran oligarki kekuasaan seperti ‘noda bandel’ yang menempel pada proses demokrasi limatahunan di Indonesia. Pemilihan Umum (PEMILU) 2019 menyisakan persoalan yang tak kunjung usai. Gugat-menggugat dan aksi saling lapor menjadi kabar harian pascapemilu. Di samping itu, kecurangan dan membenarkan segala cara kerap dipraktikkan.
Data Mahkamah Konstitusi (MK) melaporkan, sampai hari ini pihaknya menerima puluhan gugatan sengketa pemilu 17 April lalu. Satu kubu dan yang lain saling serang dengan narasi-narasi pejoraif, akibatnya berpotensi merusak persatuan dan persaudaraan antar anak bangsa. Bahkan sebetulnya, masalah berwajah serupa juga terjadi di pemilu 2014 dan pemilu sebelum-sebelumnya.
Menurut hemat saya, polemik semacam ini muncul oleh karena para elit meletakkan kekuasaan di atas segala kepentingan. Sebetulnya, perebutan kekuasaan itu hanyalah nafsu keserakahan beberapa kelompok –oligarki bertopeng demokrasi. Bagaimana mungkin negeri yang gemah ripah loh jinawi ‘digunduli’ atas kepentingan kontestasi politik oligarki? Sumber daya manusianya dibodohi dengan percontohan-percontohan korupsi, kolusi dan nepotisme, juga sumber daya alamnya digaruk dengan cara merampok. Perebutan ini, terpaksa menggunakan cara-cara tidak beradab, karena paradigma atau pandangan hidupnya telah kehilangan arah. Jelas bahwa hal-hal seperti demikian mencederai maksud Pancasila dalam sila ke-3 ‘Persatuan Indonesia’ dan sila ke-4 ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan’. Oleh karenanya, persatuan dan kebijaksanaan dianggap tidak terlalu penting. Yang penting adalah kehendak para elit itu sendiri.
Kedua, Korupsi para elit dan agama. Tentu publik sangat pihatin dengan kasus korupsi yang kerap melibatkan para elit. Apalagi, masalah amoral itu terjadi pada tokoh dengan citra agama. Di negara ini sepanjang tahun, telah banyak korupsi yang dilakukan oleh elit agama. Misalnya, baru-baru ini Romahurmuzyi alis Rommy, mantan ketua partai belambang ka’bah terjerat kasus suap di internal kementerian agama.
Lucunya, seperti yang dikabarkan Jawa-pos 29/05, bahwa kuasa hukum Rommy mengatakan suap itu adalah tradisi pesantren. Dengan mengistilahkannya ‘bisyaroh’, bantuan atau ucapan terima kasih, pihaknya menerima uang sebesar 325 juta rupiah. Tentu hal ini adalah pelecehan luar biasa pada marwah agama.
Apalagi, jika terbukti benar apa yang dikatakan pengacara Rommy tersebut. Pesantren sebagai lembaga pendidikan moral agama patut dipertanyakan dan dievaluasi. Sebab, bisa jadi di kemudian hari masalah sejenis terus terjadi dan pesantren akan kehilangan kepercayaan masyarakat karena ulah pejabat/elit-nya.
Jika dipahami secara mendalam, masalah kedua ini bertolak belakang dengan nilai Pancasila. Sebab, dalam Pancasila, sila pertama ‘ketuhanan yang maha esa’ berarti warga negara, termasuk elit, adalah warga yang beragama. Artinya, sikap bertuhan tersebut harus didasari atas iman (percaya) dengan apa yang dikehendaki agama dan apa yang dilarang olehnya. Pasalnya, semua agama di Indonesia, tidak menghendaki perbuatan koruptif dan justru melarangnya.
Guru bangsa, Buya syafii Maarif (2015) berpendapat bahwa, sila ke-2 ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Artinya, nilai spiritual yang terkandung dalam agama seharusnya diberlakukan dengan cara yang adil dan beradab demi kemanusiaan. Pun demikian sebagaimana yang tertera dalam sila ke-5 ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.
Sebab, korupsi dengan jumlah ratusan dan bahkan sebagian mencapai milyaran telah merampas hak banyak warga negara. Bayangkan, uang dengan jumlah demikian banyak jika diperuntukkan untuk menyantuni kaum papa, maka telah banyak dari mereka terbebas dari kelaparan. Padahal, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan data terbaru per September 2018 masih ada 25,67 juta penduduk miskin di Indonesia.
Sungguh, pertengkaran politik dan korupsi tersebut adalah ancaman besar bagi bangsa. Sebab, perilaku itu bertanda para elit telah kehilangan filosofi bernegara -untuk tidak mengatakan mereka tidak ‘pancasilais’. Bertindak sesuka kehendak pribadi dan kelompok dengan nafsu keserakahan para elit hanya akan membuat kesenjangan di tengah masyarakat makin melebar.
Pancasila jangan sampai hanya dijadikan sejarah masa lalu. Pancasila harus dimaknai secara mendalam dan dipraktikkan dalam keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara siapaun dia, apalagi para elit.
Pancasila adalah milik seluruh tumpah darah Indonesia. Bung Karno pernah berpidato “aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah”.
Dapat dipahami bahwa, lima narasi kunci dalam Pancasila sebetulnya adalah karakter dan jati di bangsa yang luhur. Oleh karena itu, para elit bangsa perlu kembali memaknai Pancasila, mendidik diri sendiri dan seluruh warga bangsa bagaimana hidup secara Pancasila.
Berhentilah bertengkar karena kepentingan kekuasaan dahulukan persatuan dan keadaban musyawarah. Berhentilah korupsi pentingkan moral agama dan keadilan.