Selasa, April 1, 2025

Memaknai Demonstrasi di Serbia dan Relevansinya dengan Indonesia

Raihan Muhammad
Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan. Saat ini sedang berkuliah di FH sekaligus FISIP di kampus 'pelat merah'.
- Advertisement -

Demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Serbia dalam beberapa waktu terakhir menarik perhatian dunia. Ratusan ribu warga turun ke jalan, menentang kebijakan pemerintah yang dianggap otoriter dan merugikan kepentingan publik. Gelombang protes ini dipicu oleh dugaan kecurangan dalam pemilu serta kebijakan-kebijakan yang membatasi kebebasan sipil. Fenomena ini memberikan refleksi penting bagi Indonesia, negara demokrasi yang juga menghadapi tantangan serupa dalam kebebasan berekspresi dan konsolidasi demokrasi.

Serbia—yang secara formal menganut sistem demokrasi—dalam praktiknya mengalami regresi demokrasi. Pemerintahan Presiden Aleksandar Vučić dituduh memperkuat kendali atas media, membungkam oposisi, serta melakukan manipulasi pemilu yang mencederai prinsip demokrasi. Gelombang demonstrasi yang dipimpin oleh kelompok oposisi dan masyarakat sipil merupakan bentuk perlawanan terhadap fenomena state capture, yakni ketika negara dikendalikan oleh kepentingan oligarki dan elite penguasa.

Demonstrasi ini mencerminkan kegelisahan publik terhadap meningkatnya otoritarianisme terselubung (stealth authoritarianism), yakni praktik penguasa yang menggunakan mekanisme hukum untuk membungkam kritik, mengontrol pemilu, serta membatasi kebebasan pers dan kebebasan sipil lainnya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Serbia, tetapi juga di pelbagai negara yang mengalami kemunduran demokrasi—termasuk Indonesia.

Relevansi bagi Indonesia

Indonesia, sebagai negara yang juga mengaku  sebagai negara demokrasi, menghadapi tantangan serupa meskipun dalam konteks yang berbeda. Beberapa tahun terakhir, muncul indikasi kemunduran demokrasi, seperti pelemahan oposisi, kriminalisasi aktivis, serta pembatasan kebebasan berekspresi melalui regulasi yang represif. Politisasi aparat keamanan dan upaya membungkam suara kritis, baik melalui hukum maupun tindakan koersif, menjadi ancaman nyata bagi kebebasan sipil di Indonesia.

Selain itu, persoalan kecurangan pemilu pun menjadi perbincangan di Indonesia, terutama terkait dengan dugaan ketidaknetralan penyelenggara pemilu dan intervensi kekuasaan dalam proses politik. Kasus Serbia memberikan pelajaran penting bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang bisa dipertahankan secara otomatis, melainkan memerlukan pengawasan ketat dan perlawanan dari masyarakat sipil terhadap segala bentuk penyimpangan kekuasaan.

Demonstrasi di Serbia menunjukkan bahwa rakyat memiliki kekuatan untuk menentang otoritarianisme jika bersatu dan berani bersuara. Ini menjadi pengingat bagi Indonesia bahwa partisipasi publik dalam menjaga demokrasi sangatlah krusial. Kebebasan berkumpul, kebebasan berekspresi, serta peran masyarakat sipil dalam mengawal kebijakan harus terus diperjuangkan.

Serbia pun mengajarkan bahwa kontrol terhadap media dan ruang publik merupakan salah satu cara efektif bagi pemerintah otoriter untuk mempertahankan kekuasaan. Di Indonesia, tren serupa terlihat dengan meningkatnya tekanan terhadap jurnalis independen, pembatasan akses informasi, dan penyebaran propaganda politik yang mengaburkan realitas. Jika hal ini tidak dilawan, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami kemunduran demokrasi, seperti yang terjadi di Serbia.

Demonstrasi ‘Indonesia Gelap’ dan Krisis Demokrasi

Belakangan ini, Indonesia pun dikejutkan dengan gelombang demonstrasi yang diberi tajuk ‘Indonesia Gelap’. Ribuan mahasiswa, aktivis, dan masyarakat sipil—dari pelbagai wilayah di Indonesia—turun ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang dianggap tidak demokratis. Demonstrasi ini mencerminkan kekecewaan publik terhadap meningkatnya otoritarianisme di pelbagai sektor.

Dalam aksi ini, BEM SI mengajukan 13 tuntutan utama, termasuk pendidikan gratis dan demokratis, pencabutan proyek strategis nasional yang merugikan rakyat, serta pengesahan RUU Masyarakat Adat. Mereka juga menolak revisi berbagai undang-undang yang dinilai memperkuat otoritarianisme, seperti UU Minerba, UU TNI-Polri, serta Peraturan DPR tentang tata tertib.

Selain itu, mereka mendesak evaluasi program makan gratis agar tepat sasaran, realisasi tunjangan kinerja dosen, serta reformasi kepolisian guna menghilangkan budaya represif. Tuntutan lainnya menyoroti perlunya pencabutan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang dianggap merugikan sektor pendidikan dan kesehatan, serta efisiensi dan perombakan Kabinet Merah Putih guna mengatasi pemborosan anggaran.

- Advertisement -

Demonstrasi Indonesia Gelap juga menjadi simbol perlawanan terhadap kondisi negara yang semakin ugal-ugalan dalam mengelola kekuasaan, mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, dan cenderung mengonsolidasikan kepentingan elite ketimbang menjamin kesejahteraan rakyat. Gelombang protes ini mencerminkan akumulasi kekecewaan publik terhadap meningkatnya represi politik, ketimpangan sosial, dan kebijakan yang semakin menjauh dari prinsip keadilan.

Pola-pola otoritarianisme terselubung yang terjadi di Serbia menemukan relevansinya dalam konteks Indonesia, di mana demokrasi semakin dipinggirkan oleh kepentingan oligarki dan elite penguasa yang mengontrol jalannya pemerintahan melalui instrumen hukum yang represif.

Krisis demokrasi ini tidak hanya tercermin dalam regulasi yang membatasi kebebasan sipil, tetapi juga dalam melemahnya akuntabilitas pemerintah serta terbatasnya ruang bagi oposisi politik dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan semakin terperosok dalam arus demokrasi prosedural tanpa substansi, yang mana pemilu tetap diselenggarakan tetapi tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat yang sesungguhnya.

Maka, aksi-aksi seperti Indonesia Gelap menjadi momentum krusial bagi masyarakat sipil untuk mengartikulasikan perlawanan terhadap kemunduran demokrasi dan menuntut akuntabilitas dari para penguasa agar negara benar-benar berfungsi demi kepentingan rakyat, bukan sekadar alat legitimasi bagi segelintir elite.

Demonstrasi di Serbia dan aksi Indonesia Gelap memberikan pelajaran penting bahwa demokrasi tidaklah diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus terus diperjuangkan. Kemiripan pola antara kedua negara menunjukkan bahwa otoritarianisme tidak selalu muncul dalam bentuk diktator militer, tetapi juga melalui mekanisme hukum dan regulasi yang menekan kebebasan sipil serta melemahkan oposisi.

Maka, perlawanan terhadap segala bentuk pembungkaman dan penyimpangan kekuasaan menjadi keharusan bagi masyarakat sipil. Jika rakyat Serbia mampu bersatu melawan otoritarianisme terselubung, maka Indonesia pun mesti mengambil pelajaran yang sama: mempertahankan demokrasi membutuhkan kewaspadaan, partisipasi aktif, dan keberanian untuk melawan ketidakadilan. A luta continua, viva comrades!

Raihan Muhammad
Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan. Saat ini sedang berkuliah di FH sekaligus FISIP di kampus 'pelat merah'.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.