Kamis, Oktober 10, 2024

Memahami Subyek Yang Radikal

Doel Rohim
Doel Rohim
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, pernah menjadi Pemimpin Umum LPM Arena UIN Sunan Kalijaga.

Sungguh dalam tulisan ini saya tidak ingin berpusing-pusing membangun perspektif dengan berlandaskan tumpukan teori yang jlimet. Karena dalam bayangan saya hal tersebut akan sama sia-sianya tidak berguna di mata manusia modern hari ini, yang cenderug simplistik dan pragmatik. Jadi biarkanlah tulisan ini mengalir seperti deru gelombang yang siap menerjang kemanapun yang saya suka.

Banyak hal yang ingin saya bicarakan dalam tulisan ini, salah satu yang mengusik kesadaran saya adalah bagaimana hari ini banyak orang suka sekali membicarakan hal besar, dengan kuot yang menginspirasi, cita-cita perubahan yang revolusioner. Namun sekali lagi, apa arti semua itu  di tengah hingar bingar ketidak berdayaan kita membendung arus kapital yang membabi buta menghanyutkan kesadaran seperti sekarang ini. Perubahan macam apa yang ingin kita kerjakan padahal kita masih duduk mesra ditemani segelas kopi sampai pagi.

Saya ingin katakan pada hari ini kita terjebak pada hiperrealitas, realitas yang sesungguhnya tidak hadir di tengah-tengah kita. Kita hidup hanya pada tataran simulasi-simulasi yang payahnya kita anggap sebagai realitas yang benar-benar ada. hal ini dijelaskan oleh Jean Baurdrillard  yang jelas mengatakan bahwa Hiperrealitas tidak diprosuksi tetapi “ ia siap selalu di reproduksi”. Tegasnya ia adalah sebuah simulasi yang lebih nyata dari pada yang nyata (Baurdrillard, 1976 :73).

Artinya apa semua yang kita anggap realitas pada kenyataanya tidak ada sangkut pautnya dengan realitas sesungguhnya. Perkembangan teknologi dengan begitu masifnya pada hari ini mengakibatkan  mudahnya kita disuguhkan berbagai realitas kosong. Melalui media sosial yang hari ini menghantui kehidupan kita, realitas menjadi dunia lain yang seolah dekat dengan kita padahal semuanya adalah citraan-citraan yang didramatisir sedemikian rupa.

Fenomena kegaduhan politik yang terjadi belakangan ini di Jakarta adalah contoh jelas bagaimana opini massa dibangun dari sebuah media sosial.  Padahal media sosial tak ubahnya buah simalakama yang setiap saat menyebarkan virus-virus yang dianggap realitas padahal di dalamnya menyimpan misi terselubung kepentingan politik yang siap menggilas siapa saja.

Kalau kita tarik jauh pada kesadaran masayarakat  hari ini saya rasa tak jauh beda dengan apa yang diuangkapkan di atas. Hari ini  masyarakat terjebak pada fatamorgana hiperrealitas yang selalu diandaikan sebagai suatu yang benar-benar ada. Ketakutan-ketakutan yang didasarkan pada citraan realitas yang membentuk kesadaran palsu selalu direproduksi di ruang-ruang kelas. Kalupun tidak imajinasi tentang kesuksesan yang bersumber dari hitungan-hitungan statistik kemudian kuot-kuot dari orang sukses selalu menjadi doktrin untuk membentuk kesadaran mahasiswa. Tidak semuanya bisa disalahkan, namun dari situlah mahasiswa hari ini bisa dikatakan semakin menjauh kepada realitas konkrit yang sesungghnya hadir di sekelilingnya.

Pada kenyataanya seperti yang diungkapkan oleh Lacan bahwa subyek manusia hari ini tersegmentasi menjadi tiga bagian, yaitu yang nyata, yang simbolik, yang imajiner. Pada konteks yang simbolik inilah saya pikir kita berada hari ini, kita terjebak pada dunia yang disebut Lacan sebagai yang simbolik,yakni tersusun dari struktur bahasa, seperti halnya penanda mendominasi petanda. Ekpresi makna kata bukan berasal dari makna subyek tetapi dari tatanan sosial yang ada. Artinya sepemahaman saya, subyek kesadaran  kita terbentuk atas persentuhan kita atas simbol-simbol yang terbentuk dari manivestasi tanda.

Hal inilah yang mengakibatkan tindakan kita terjebak pada simbolitas yang kita anggap sebagai realitas. Parahnya, kita selalu mengamini bahwa apa yang kita lakukan sudah bersentuhan dengan realitas padahal tidak sama sekali, bahkan sebaliknya tindakan kita dikondisikan oleh realitas itu sendiri.

Seperti yang dapat kita rasakan  hari ini, di mana kita dikondisikan  oleh banyaknya sebaran tentang nilai-nilai kemanusiaan, seruan solidaritas, memperjuangkan HAM, dan banyak lagi lainnya. Setiap saat hal tersebut mengisi ruang kesadaran kita melalui media sosial. Semuanya secara tidak sadar membangkitkan hasrat kemanusiaan kita. Tapi sekali lagi itu bukanlah realitas konkrit yang masuk ke dalam kesadaran kita melainkan hanya citraan.

Pada kenyataanya seperti yang diungkapkan oleh Lacan bahwa subyek manusia hari ini tersegmentasi menjadi tiga bagian, yaitu yang nyata, yang simbolik, yang imajiner. Pada konteks yang simbolik inilah saya pikir kita berada hari ini, kita terjebak pada dunia yang disebut Lacan sebagai yang simbolik,yakni tersusun dari struktur bahasa, seperti halnya penanda mendominasi petanda. Ekpresi makna kata bukan berasal dari makna subyek tetapi dari tatanan sosial yang ada. Artinya sepemahaman saya, subyek kesadaran  kita terbentuk atas persentuhan kita atas simbol-simbol yang terbentuk dari manivestasi tanda.

Hal inilah yang mengakibatkan tindakan kita terjebak pada simbolitas yang kita anggap sebagai realitas. Parahnya, kita selalu mengamini bahwa apa yang kita lakukan sudah bersentuhan dengan realitas padahal tidak sama sekali, bahkan sebaliknya tindakan kita dikondisikan oleh realitas itu sendiri.

Seperti yang dapat kita rasakan  hari ini, di mana kita dikondisikan  oleh banyaknya sebaran tentang nilai-nilai kemanusiaan, seruan solidaritas, memperjuangkan HAM, dan banyak lagi lainnya. Setiap saat hal tersebut mengisi ruang kesadaran kita melalui media sosial. Semuanya secara tidak sadar membangkitkan hasrat kemanusiaan kita. Tapi sekali lagi itu bukanlah realitas konkrit yang masuk ke dalam kesadaran kita melainkan hanya citraan.

Perdebatan panjang mengenai subyek ini sebenarnya  dimulai dari pandangan dari Althusser yang menyatakan bahwa subyek terbentuk atas relasi struktur sosial dan idiologi, dengan interplasi sebagai mediumnya sehingga subyek hilang digantikan oleh struktur dan idiologi borjouis. Dari situlah subyek dikatakan sebagai ilusi bagi dirinya sendiri, semenjak itu juga subyek berusaha dihilangkan semenjak para pemikir era posmodern datang.

Dalam hal ini, Slavoj Zizek memberi gambaran bagaimana mengembalikan subyek yang di katakan oleh Lacan  dan Althusser sebagai subyek yang bolong/ilusi tadi dengan menjadikan subyek radikal. Artinya subyek yang diradikalisasi sedemikian rupa sehingga mencapai tingkat optimisme dan optimal dalam menghadapi ketakmungkinan struktur dan negativitasnya. Walaupun dalam konteks yang lebih luas bagaimana subyek radikal agar menjadi gerakan yang emansipatif dimaknai secara luas, sampai hari ini juga belum bisa dijelaskan oleh Zizek secara konkrit.

Apa yang saya jelaskan pada dasarnya ingin menggugat sebagian orang yang sok ngaktivis, sok sibuk, Sok nyeniman, dengan triak-triak memperjuangkan rakyat, memperjuangkan masa depan, memperjuangkan kebudayaan, Padahal yang ia lakukan tak ubahnya menjerumuskan dirinya sendiri pada kesia-siaan. Apa yang saya maksud dengan kesia-siaan adalah karna dirinya tidak pernah memaknai dirinya sebagai subyek yang utuh. Karna seperti yang dijelaskan di awal tadi bahwa hari ini subyek kita terbentuk hanya dari citraan-citraan realitas.

Doel Rohim
Doel Rohim
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, pernah menjadi Pemimpin Umum LPM Arena UIN Sunan Kalijaga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.