Populisme, kita sering mendengar kata tersebut terlontar ketika momen politik, tetapi masih jarang sekali akademisi kita menjelaskan secara gamblang apa itu populisme. Untuk para pembaca yang haus akan ilmu pasti akan mencari karya Ernesto Laclau yang berjudul On Populist Reason atau buku yang ditulis Chantal Mouffe berjudul For A Left Populism. Namun buku inilah yang tepat menjadi pengantar untuk memahami populisme secara mudah.
Ditarik kembali pada dekade 60an dimana istilah ini kerap muncul dalam perdebatan. Mengutip dari penjelasan ilmuan sosial asal Belanda, Cas Muddle, populisme adalah respon demokrasi semu terhadap liberalisme yang tidak demokratis. Populisme bisa menjadi ancaman, namun juga bisa menjadi peluang untuk memperbaiki politik yang berjarak dengan masyarakat.
Di negara seperti Amerika Serikat, gagasan tentang populisme masih disandingkan dengan politik sayap-kiri yang berada dalam konflik dengan Partai Demokrat karena dianggap terlalu mengarah ke pemikiran tengah (centrist). Adapun perbedaan pandangan antara AS dengan Eropa, dimana AS menganggap bahwa liberal berhubungan dengan Sosial-Demokrasi dan populisme adalah versi keras kepalanya, sedangkan di Eropa, liberalisme tidak bisa disandingkan dengan populisme sama sekali.
Gerakan seperti Occupy Wall Street juga dikategorikan sebagai gerakan populis. Kerjasama antara kelompok kanan dan kiri yang melakukan kritik terhadap politik arus-utama di sebuah negara juga disebut sebagai populisme. Baik Donald Trump maupun Bernie Sanders adalah populis, dari kelompok kanan maupun kiri, yang memiliki kesamaan dalam hal anti-kemapanan yang didukung oleh amarah, frustasi, dan kebencian yang muncul di masyarakat Amerika Serikat.
Politisi kondang di Eropa selalu menunjuk musuhnya sebagai populis (dalam konotasi buruk), namun lawannya menganggap apabila populis berarti bekerja bersama masyarakat, mereka sangat bangga bahwa diri mereka adalah populis.
Beberapa kasus diatas menjadi pembuka buku ini dalam pembahasan mengenai populisme. Bagi Muller, populisme bukanlah doktrin politik, melainkan klaim yang didorong oleh elit, dalam hal ini kegagalan elit. Istilah ini menggerakkan silent majority untuk beraspirasi melawan elit yang telah mengabaikan mereka, melawan para politisi, dan populisme semacam ini bukanlah ilusi belaka. Populisme dianalogikan seperti bayangan yang menghantui demokrasi perwakilan.
Pemaknaan populisme yang mengarah kepada progresivitas dan kelompok akar rumput adalah pandangan Amerika Serikat. Sedangkan di Eropa, populisme selalu dikaitkan dengan hasutan. Populisme juga disandingkan dengan kelas sosial tertentu, seperti Borjuis Kecil dan mereka yang mengelola tanah (petani dan buruh tani) yang diikuti kriteria psikologis: ketakutan, amarah, frustasi dan kebencian.
Adapun pandangan bahwa populisme lahir dari kebijakan yang tidak jelas memang benar, bahwa kebijakan semacam ini selalu membawa embel-embel “untuk masyarakat” tanpa pemikiran yang matang tentang bagaimana melaksanakan kebijakan tersebut. Akhirnya muncul kekecewaan, ketakutan dan kebencian terhadap janji-janji politik dan kebijakan irasional yang dibawa seorang politisi. Kebijakan semacam ini keluar tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang dan hanya untuk keuntungan jangka pendek (pemilu).
Argumentasi yang menggunakan kelompok sosio-ekonomi sebagai dasarnya argumentasinya juga menyesatkan apabila berbicara mengenai populisme. Argumen semacam ini selalu mendiskreditkan kelompok tertentu. Memang benar apabila pemilih yang memilih kelompok populis kanan rata-rata memiliki pemasukan yang sama, terutama di Eropa, para pemilih partai kanan populis selalu memiliki tingkat edukasi yang rendah. Karena kelompok populis selalu menyasar kelas pekerja. Namun tidak jarang pula kelompok mapan juga memilih partai-partai populis kanan.
Beberapa survei menunjukkan bahwa sebenarnya kondisi sosio-ekonomi seseorang tidak ada hubungannya dengan perilaku pemilih. Kebanyakan pemilih partai populis dikarenakan wacana yang dilemparkan berhubungan dengan keadaan negara yang sedang tidak baik-baik saja.
Konotasi buruk terhadap populisme dilontarkan oleh pemikir-pemikir neoliberal pasca Max Weber seperti Daniel Bell, Edward Shils, dan Martin Lipset yang mendeskripsikan populisme sebagai kumpulan kecemasan dan amarah yang tak berdaya yang menginginkan kehidupan yang sederhana sebelum terjadinya modernisasi. Terutama Lipset yang mengilustrasikan populisme sebagai: tuna wisma, tidak aman secara ekonomi, tidak berpendidikan, terkucilkan, sederhana dan otoriter.
Secara sejarah, populisme mulai berkembang di Amerika Serikat melalui Farmer’s Alliance (Aliansi Petani) dan People’s Party (Partai Rakyat) lalu di Russia ada kelompok Narodniki yang anggotanya adalah kalangan intelektual yang menginginkan petani Rusia dan komune pedesaan sebagai model negara (Rusia) secara keseluruhan. Gerakan-gerakan populisme awal ini selalu memiliki hubungan dengan petani, sehingga populisme kerap disandingkan dengan gerakan agraria, revolusi reaksioner dan kelompok terbelakang di era modernisasi.
Meskipun penyandingan tersebut tidak sering digunakan sekarang, populisme di Amerika Serikat masihlah populer karena mengajak kelompok yang tidak beruntung dan terkucilkan ke dalam panggung politik. Didukung dengan populisme di Amerika Latin yang selalu menekankan inklusivitas dan emansipasi di daerah yang masih tertinggal secara ekonomi.
Logika populisme adalah imajinasi moral dari politik, tentang cara pandang kita melihat dunia politik yang seharusnya murni secara moral dan bersatu, yang sebenarnya hanya fiksi belaka. Populisme adalah masyarakat melawan elit yang dianggap korup atau lemah secara moral. Populis tidak hanya anti-elitis, tapi juga anti-pluralis, karena mereka mengklaim bahwa hanya mereka yang merepresentasikan masyarakat. Kelompok lain yang tidak bersama mereka akan dianggap immoral, korup, meskipun saat berkuasa pada akhirnya mereka juga tidak mengakui kelompok oposisinya.
Buku ini menyebutkan beberapa nama yang tidak asing apabila para pembaca kerap melihat berita internasional, seperti Nigel Farage, Donald Trump, Bernie Sanders, Silvio Berlusconi, Viktor Orban dan sejajaran nama populis kanan yang “kontroversial”. Nama-nama ini dianggap mengikuti pemikiran Rousseau. Mereka juga menggunakan penekanan terhadap barang publik (common goods) yang nantinya akan cocok dengan pendapat umum (common sense).
Selain itu masih banyak problematika tentang populisme yang diulas secara komprehensif oleh Jan-Werner Muller. Kelebihan dari buku ini adalah penggunaan bahasanya yang lugas dan pemaknaan populisme yang banyak diberikan contohnya membuat kita mudah memahami esensi dari populisme. Slogan-slogan yang kerap dikutip untuk mengilustrasikan pandangan kelompok populis juga membantu kita untuk memahami istilah ini dengan mudah.
Apa kelemahan buku ini? Penjabarannya tidak sekompleks karya Ruth Wodak, Ernesto Laclau atau Chantal Mouffe, cocok bagi pemula.