Pemilu kali ini banyak menarik perhatian berbagai kalangan, tidak hanya pada tim pemenangan masing-masing calon, namun sudah merebak pada kaum elektoral secara umum. Masyarakat sipil turut mengambil bagian dalam proses ini.
Jika dibandingkan dengan pemilu sebelum-sebelumnya, kali ini partisipasi mereka semakin meningkat dalam perebutan wacana mengenai masing-masing calon yang diusung, baik partisipasi secara langsung maupun dibalik layar televisi.
Nampaknya tim pemenangan menyadari bahwa peran dari masyarakat sipil dapat mendongkrak elektabilitas dari calon yang akan dipilih. Sebab, dari kampanye-kampanye yang sudah berlangsung, kedua pasangan calon sama-sama menampilkan sosok masyarakat dari berbagai tipologi dan kedudukan.
Tidak jarang yang diangkat adalah mereka yang berada pada lapisan paling bawah dari kaum pekerja, seperti kaum buruh, nelayan, pedagang di pasar sampai para pengangguran yang diinisiasi mampu memberikan gambaran emosional selama masa pemerintahan sebelum-sebelumnya.
Untuk mendapatkan jawaban dari mereka, pendekatan based on problem menjadi senjata agar mendapatkan pengalaman yang deskriptif dari golongan masyarakat yang suaranya sangat berdampak pada momen pilpres. Jelas kampanye semacam ini banyak ditemukan pada pemilu sekarang.
Berbeda dengan tahun sebelum-sebelumnya, fanatisme masyarakat pada pemilu kali ini lebih bercorak. Tidak seperti pemilu terdahulu yang kerap diwarnai dengan apatisme dan keengganan dalam menentukan pilihan pada calon yang sudah ditentukan.
Tetapi hari ini mereka mampu menciptakan wacana pentingnya sosok pemimpin dalam menentukan negara pada periode selanjutnya sekaligus turut menjadi saksi atas kehendak yang dilakukannya. Kehendak ini didasari pada dua argumentasi utama, yakni kehendak untuk memilih dan kehendak untuk tidak memilih yang keduanya masih berada pada koridor kebebasan dalam berkehendak (free will).
Kecenderungan untuk menggunakan hak pilih manjadi opsi mayoritas para elektorat. Mereka berasumsi bahwa masa depan negara akan ditentukan oleh hak pilih yang mereka gunakan. Ajzen mengungkapkan bahwa perilaku yang direncanakan oleh seseorang didasari pada sebuah kepercayaan terhadap perilaku tersebut.
Kepercayaan yang dimaksud yakni sejauh mana sikap seseorang terhadap perilaku tersebut dalam mengandung manfaat dan memberikan timbal balik positif terhadap dirinya (Attitude), kepercayaan bahwa orang lain mendukung atau menyetujui perilaku yang akan dilakukannya (Subjective Norms), serta kepercayaan bahwa perilaku tersebut dapat dilakukan dengan baik (Perceived Behavioral Control).
Dalam analisis Ajzen, ketiga kepercayaan tadi akan membentuk suatu intention yang dapat berpengaruh besar pada proses perilaku. Intensitas perilaku ditentukan oleh niat (intention) yang dihasilkan dari ketiga kepercayaan tadi. Tidak sulit untuk diprediksi bahwa keputusan untuk datang ke TPS dan melakukan pencoblosan merupakan perilaku yang didasari oleh faktor kepercayaan dari analisis Ajzen tadi.
Proses mencoblos bukan suatu keadaan dimana ketidaksadaran mengendalikan seluruh organ tubuh baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik para elektorat, tetapi sebaliknya, kesadaran memiliki kuasa mutlak atas perilaku memilih ini.
Beberapa misi baik dari paslon nomer 1 maupun nomer 2 sama-sama menyodorkan platform jangka panjang dalam rangka merekonstuksi kesejahteraan rakyat. Paslon nomer 1 mencoba meyakinkan masyarakat sipil dengan pembangunan infrastruktur, sedangkan paslon nomer 2 fokus pada kesejahteraan ekonomi dengan menurunkan harga-harga pokok serta membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya.
Misi yang diusung dari kedua paslon dapat memunculkan kepercayaan elektorat untuk memilihnya. Bagi mereka yang sering melakukan bepergian jauh tentu infrastruktur jalan tol solusinya, begitu pun mereka yang sudah muak dengan harga-harga pangan saat ini akan memilih paslon yang mengusung platform kesejahteraan ekonomi.
Secara langsung maupun tidak langsung, karakteristik misi yang diusung masing-masing calon akan mudah mendapatkan kepercayaan dari para elektorat atau masyarakat sipil. Sebab keduanya sama-sama dapat memberikan manfaat dan dampak yang bagus terhadap rakyat bagi kebutuhannya masing-masing. Ini lah yang menurut Ajzen menjadi salah satu construct yang dapat memunculkan perilaku yang direncanakan.
Kolega, saudara, dan orang-orang di sekitar juga dapat mengambil peran dari perilaku memilih. Mereka dapat menjadi pembanding dari segala upaya dalam memilih paslon. Tidak sedikit perilaku memilih disebabkan oleh faktor keluarga maupun teman suatu komunitas, karena mereka bisa saja mendukung atau bahkan mengevaluasi rencana yang akan diambilnya.
Tentu ini menjadi pertimbangan dalam menyusun rencana menentukan pilihan di TPS. Dalam analisis Ajzen, jika orang lain diluar dirinya mampu menyetujui dan mendukung tentang pilihan yang dibuatnya, ketika itu juga perilaku semakin mudah untuk dilaksanakan.
Sebaliknya, jika seorang individu tidak memiliki dukungan moral dari lingkungan sekitar untuk menentukan pilihan pada salah satu paslon, bisa jadi pilihan tersebut diurungkan. Bandura menyebutnya juga dengan teori belajar sosial (social learning theory) dengan triangulasi (perilaku, individu, dan lingkungan) yang saling berkaitan dalam konteks kehidupan seseorang sehari-hari.
Kepercayaan bahwa perilaku memilih dapat dilakukan dengan baik menjadi construct penutup dari Ajzen dalam membaca seseorang dengan perilaku yang direncanakan sebelumnya. Menurutnya, perilaku terjadi dibantu oleh keyakinan bahwa dirinya mampu melakukan perilaku tersebut dengan baik. Dalam konteks perilaku memilih, kaum elektorat harus yakin bahwa dirinya mampu memilih dengan baik tanpa hambatan-hambatan baik yang bersifat material maupun ideologis.
Hal ini juga menjadi salah satu modal berharga dalam meningkatkan self-efficacy pada masing-masing pemilih, keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menentukan pilihan di TPS masing-masing, dan menjadi stimulus pada peningkatan perilaku-perilaku lainnya. Hal ini juga mampu membentuk dorongan pada minat seseorang, sehingga pada poin ini perilaku bisa muncul secara langsung karena adanya minat untuk melakukannya.
Ketiga construct tersebut diyakini Ajzen sebagai hal yang dapat membuat perilaku yang direncanakan dapat terjadi. Namun pada dasarnya semua itu juga harus bersandar pada proses kesadaran sebelum perilaku tersebut direncanakan.
Kesadaran tidak hanya keadaan sadar bahwa dirinya akan memilih dan tidak ada paksaan dari orang lain, tetapi lebih dari itu. Kesadaran yang dimaksud yakni kesadaran plural bahwa paslon yang dipilihnya memang benar-benar mengabdi pada kepentingan rakyat, bukan pada hajad kaum oligarki. Ini yang dimaksud Paulo Freire dengan kesadaran kritis, kesadaran yang menjadi puncak dari hierarki kesadaran lainnya seperti kesadaran naif dan magis.
Namun kembali pada perilaku pemilih, biarkan setiap orang menentukan pilihannya, baik itu yang berbeda pilihan maupun yang memutuskan untuk tidak memilih satupun. Biarkan mereka menentukan pilihannya masing-masing tanpa ada tendensi dan polarisasi dalam sama-sama menjaga kedaulatan NKRI.