Pasca insiden mural viral beberapa waktu lalu, kita memperingati momen kemerdekaan seraya mengelus dada yang sesak akibat reaksi virus. Mirip-mirip dengan gejala corona, tapi ini lebih gila dan berbahaya. Pasalnya, virus ini kian merajalela dan menjangkit setiap pikiran Kristip. Gilanya lagi, virus yang ini punya hajat membunuh demokrasi dan kemerdekaan pikiran.
Peringatan HUT ke-76, momen haru dan duka bersamaan menyabur jadi satu. Sikap haru dan bangga kita memasuki usia yang kian matang sebagai bangsa yang besar. Bersamaan, duka dan lara tak pernah beranjak dari wajah suram ibu pertiwi. Dari merana akibat corona yang masih meneror, hingga pembatasan ruang demokrasi dan kungkungan kemerdekaan pikiran anak bangsa. Belum lekas lupa sempurna pikiran kita dari meme “The King of Lip Service”, kini beralih ke mural “404 not found”, disidik dan diburu bak pelaku yang kerap dituding subversif di zama Orde Baru.
Gelombang reformasi sebagai momentum tumbuh subur kehidupan demokrasi. Prinsip fundamental reformasi ialah mengembalikan dan menegaskan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Kini kita hidup di fase pasca reformasi, gelora dan euforianya telah lama memudar. Kendati kita punya sejarah kelam soal kematian demokrasi di bawah kuasa otoritarianisme Orde Baru, namun ketakutan demi ketakutan semakin menggunung jika masa suram itu harus terulang, apalagi kalau keadaannya lebih berbahaya dan mencekam.
Sebelumnya, dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia memperoleh skor 6.3 dan merupakan angka terendah yang diperoleh dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
Dengan skor tersebut, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat. Hal itu tentu tidak mengherankan, jika secara sadar meneropong dari tersumbatnya berbagai saluran demokrasi di ruang publik. Lebih-lebih ancaman kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat di media sosial dan (sekarang) di dinding-dinding tembok. Belum lagi kekuatan intimidasi dari buzzeRP semakin canggih dengan pola yang terstruktur, sistematis, dan massif.
Kehebohan mural beberapa waktu belakangan telah banyak menyita perhatian publik. Kendati masih diperdebatkan, namun pihak kepolisian telah menyimpulkan bahwa sosok dalam mural tersebut adalah Presiden Joko Widodo.Tidak tanggung-tanggung, kepolisian melakukan perburuan terhadap pelaku seni tersebut dengan ancaman delik penghinaan terhadap Presiden sebagai lambang negara.
Barang tentu kita yang belajar hukum pastilah akan bereaksi, setidaknya berinisiasi memberikan kuliah gratis, bahwa berdasarkan norma Pasal 36A UUD NRI 1945, menegaskan “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”. Tidak ada ketentuan lain dari ketentuan itu.
Lebih lanjut dan tegasnya lagi, berdasarkan UU No. 24 Tahun 2009, Pasal 57a jo Pasal 68 menjelaskan “Setiap orang dilarang: (a) mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00″. Ancaman pidana memang dapat dikenakan kepada setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap lambang negara yakni Garuda Pancasila (bukan Presiden).
Konstitusi dan UU telah memberikan ketentuan yang amat terang benderang. Begitu pula, ketentuan tersebut bersifat limitatif dan tidak bisa ditafsirkan lain selain dari apa yang tercantum dalam kalimatnya (original intent).
Kedudukan Presiden di depan hukum sama dengan kedudukan rakyat biasa. Tidak dibenarkan oleh hukum ada perlakuan diskriminatif antara Presiden dengan rakyat. Pemberian perlakuan istimewa kepada Presiden memang dibenarkan, namun itu pada koridor protokoler dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden untuk melayani kepentingan rakyat.
Membaca mural tidak bisa dilakukan dengan melihat gambarnya secara kasat mata. Namun harus dibaca dan dimengerti dengan jiwa yang jernih dan pikiran yang terbuka. Mural dan semua wujud karya seni hanya benar-benar eksis di dalam dirinya (An Sich). Dengan begitu, ia mendorong pada murad untuk memahami esensi yang terkandung di dalamnya dengan interpretasi sadar.
Karya seni adalah capaian kecerdasan tertinggi. Lahir dan munculnya membutuhkan waktu, energi dan inspirasi yang menguras pikiran. Tidak berlebihan, beberapa teman saya pelaku seni mengaku harus melakukan berbagai cara sampai ia menemukan kembali jiwanya untuk bisa mengekspresikan dalam wujud nyata. Bisa dibayangkan, jika hasilnya dipaksa lenyap hanya karena beberapa mata yang melihatnya tidak menyukainya karena ketidak mampuannya mengerti seni.
Mengelola negara harus dilakukan dengan pikiran cerdas dan perasaan arif. Jika dua instrumen itu telah digunakan, maka akan mencapai pada taraf tertinggi bahwa mengelola negara adalah bagian dari seni, karena itulah kita harus mengerti “Seni Mengelola Negara”. Pemimpin yang sampai pada taraf itu akan mampu mengemban amanah dengan indah. Tidak banyak berjanji, karena itu bertentangan dengan prinsip estetika.
Sebagai harapan akhir dari warga negara yang hidup di negara demokrasi, kebebasan berekspresi sebuah keniscayaan yang harus ada. Demikian juga, presiden adalah mandataris rakyat dan bertanggungjawab kepada rakyat. Menerima kritik wajib dengan pikiran terbuka dan hati yang lapang. Karena kritik sebagai alarm pengingat dari rakyat yang merindukan keberpihakan kebijaksanaan. Memburu pembuat mural ialah menghakimi imajinasi dan kreatifitas anak bangsa. Karena mengadili mural sama dengan memvonis mati demokrasi.