Secara umum, dalam tipologi pemikiran Islam terdapat dua model pendekatan studi agama yaitu pendekatan tekstual dan kontekstual. Dua pendekatan ini tidak jarang menampakkan cara pemahaman keagamaan dan perilaku keberagamaan yang berseberangan. Perbedaan cara pandang model keagamaan banyak dilatarbelakangi oleh faktor sosio-historis dan antropologis.
Urgensi studi agama dan budaya di mata masyarakat muslim secara umum banyak melahirkan penilaian yang beraneka ragam dan multi tafsir. Sebagian bersemangat untuk mensterilkan agama dari kemungkinan akulturasi budaya setempat, sementara yang lain sibuk membangun pola dialektika antar keduanya.
Keadaan demikian berjalan secara dari masa ke masa. Terlepas bagaimana keyakinan masing-masing pemahaman, yang jelas potret keberagamaan yang terjadi semakin menunjukkan suburnya pola akulturasi, bahkan sinkretisasi lintas agama.
Pentingnya antara agama dan budaya itu, dalam Islam terlihat pada fenomena perubahan pola pemahaman keagamaan dan perilaku keberagamaan dari tradisi Islam murni (high tradition) misalnya, melahirkan berbagai corak Islam lokal, antara lain Islam Sunni, Islam Shi’i, Islam Mu’tazili, dan Islam Khawariji (low tradition).
Dari tradisi Islam Sunni ala Indonesia, muncul Islam Sunni Muhammadiyah, Islam Sunni Nahdlatul al-Ulamā, Islam Sunni Persis, dan Islam Sunni al-Waşliyah. Lebih menyempit lagi, dari Islam Sunni NU, memanifestasi menjadi Islam Sunni-NU-Abangan, Islam Sunni-NU-Santri dan Islam Sunni-NU-Priyayi.
Tidak menutup kemungkinan, akan tampil berbagai corak keberagamaan baru yang lainnya, yaitu Islam Ortodok, Islam moderat, dan liberal. Warna-warni ekspresi dialektika keberagamaan dan kebudayaan sebagaimana dilihat di atas mengindikasikan bahwa sedemikian kuatnya tradisi lokal (low tradition) mempengaruhi karakter asli agama formalnya (high tradition), demikian juga sebaliknya. Saling mempengarahui itulah dalam bahasa sosio-antropologinya dikenal dengan istilah proses dialektika agama dan budaya.
Perubahan perilaku sosial keberagamaan di atas, di mata para ilmuwan dan ahli agama dianggap sebagai proses dinamisasi, dan internalisasi. Siapa membentuk apa, sebaliknya apa mempengaruhi siapa. Bagaimana masyarakat memahami agama hingga bagaimana peran-peran lokal mempengaruhi perilaku sosial keberagamaan mereka.
Dengan begitu, mengkaji, meneliti, maupun menelaah secara empirik fenomena tersebut, jauh lebih penting dan punya kontribusi akademis dari pada hanya melakukan penilaian-penilaian normatif-teologis semata. Fenomena dialektika di atas secara empirik dapat diamati secara riil dalam tradisi keberagamaan masyarakat muslim misalnya, pada pola relasi para peziarah Muslim Kejawen dengan cultural space (medan budaya) makam yang ada di wisata ritual tertentu.
Dari proses dialektika itu secara umum dapat diketahui bahwa karakteristik peziarah muslim kejawen memiliki banyak keunikan dan daya tarik tersendiri. Unik dalam arti adanya kompleksitas dan pluralitas ekspresi keberagamaan yang bernuansa mistis, baik dari cara pemahaman keagamaan maupun perilaku keberagamaannya. Misalnya dengan mendatangi medan budaya tertentu yang dianggap sakral, keramat maupun suci, dan meyakini bahwa tempat tersebut berpotensi memberikan berkah kepada siapa saja yang berniat mencari keutamaan dari tempat tersebut.
Selain itu untuk memahami lipatan agama dan budaya maka penting untuk mengetahui munculnya subjektifitas penilaian keagamaan yang plural dari kalangan masyarakat muslim secara umum, dan para pemerhati maupun pengamat Islam yang datang dari luar komunitasnya.
Keunikan inilah yang dianggap sebagai permasalahan menarik untuk dikaji. Inilah fakta empirik potret keberagamaan Islam, yang tanpa disadari terbagi menjadi dua kecenderungan. Kecenderungan pertama lebih menggambarkan sebagai agama yang ada di masyarakat dan kecenderungan kedua, menggambarkan sebagai agama di dalam teks.
Agama yang ada di masyarakat itu ada kalanya tampil dengan ekspresi yang sangat unik dan varian. Keunikan itu terlihat terutama ketika mereka menganggap dan meyakini bahwa alam itu sebagai subjek, yaitu memiliki kekuatan, petuah, pengaruh dan sakral. Keyakinan ini pada gilirannya memanifestasi menjadi praktik mitos yang sangat subur di kalangan mereka. Sementara itu agama teks senantiasa mengembalikan secara autentik keyakinan mereka kepada hal yang lebih abstrak, yaitu doktrin Allah berupa wahyu.
Praktik keberagamaan para peziarah di atas, dalam realitasnya seringkali mengundang perdebatan serius di kalangan masyarakat muslim. Sebagian komunitas mengatakan bahwa perilaku seperti ini adalah syirik, khurafat, takhayul, karena dalam praktiknya mereka selalu meyakini adanya kekuatan selain dan di luar Tuhan.
Kegiatan tersebut acapkali diklaim sebagai perilaku bid’ah, karena perilaku spiritual yang demikian tidak ada landasan yang jelas dari Islam. Lebih dari itu komunitas ini semakin memperkokoh komitmen keagamaannya untuk memberantas praktik ritual maupun praktik mitis senada. Komunitas inilah yang seringkali disebut dengan kelompok muslim puritanis.
Namun demikian, terdapat juga komunitas lain yang mementahkan pandangan di atas, yang mengatakan bahwa praktik seperti itu dianggap sah-sah saja dalam agama. Sebab untuk sampainya komunikasi kepada Tuhan bagi komunitas ini diperlukan adanya perantara, yang dalam bahasa Islam dikenal dengan istilah wasīlah (perantara).
Menurut keyakinan kelompok ini, wasīlah tersebut seringkali terdapat di tempat-tempat suci, sakral yang mereka datangi. Sementara itu muncul pula kelompok lain yang lebih ekstrem yang mengatakan bahwa perilaku seperti itu, menurut komunitas ini hanya akan membuat umat Islam malas bekerja.
Bagi kelompok ini, umat Islam yang ingin kaya tidak ada jalan lain kecuali kerja keras, ulet, tekun dan tawakal. Keragaman ekspresi keberagamaan di atas, baik yang muncul dari komunitas masyarakat muslim kejawen itu sendiri maupun dari subjektifias penilaian keagamaan yang datang dari luar komunitasnya, pada hakikatnya menunjukkan adanya perbedaan cara pandang tentang tarik menarik pola relasi agama dan budaya dimaksud.
Melalui cara ini, sebagian di antara mereka optimis bahwa Islam akan lebih berkembang secara efektif. Sementara yang lainnya justru sebaliknya. Islam akan terkontaminasi dengan keruhnya budaya luar, dan secara perlahan akan menggeser keaslian Islam itu sendiri.
Berangkat dari pemikiran subjektif di atas, beberapa antropolog muslim maupun non muslim akan memahami bagaimana keterkaitan studi dan dinamika di antara agama dan budaya? Mungkinkah manusia sebagai representasi pembawa misi agama memisahkan dirinya dengan ajaran-ajaran budaya yang bernuansa mistis? Agama manapun selalu mengajarkan kepercayaan terhadap spirit.
Dengan kata lain mengajarkan kepercayaan terhadap pemberi inspirasi dalam kehidupan, baik melalui agama formal maupun non formal. Baginya keduanya tidak ada perbedaan yang signifikan, yang membedakan adalah pengkonstruknya. Agama dengan seperangkat tata aturan ajarannya adalah hasil konstruk penciptanya, sementara mitos adalah hasil konstruksi kognisi manusia. Jika melalui agama formal, maka seseorang harus meyakini konsepsi-konsepsi atau kiasan ajaran teks keagamaan.