Sabtu, April 20, 2024

Memahami Kata Radikal dan Fanatik

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)

“Dia radikal, orang itu radikal, mereka fanatik”. Kata-kata tersebut seringkali terucap dikala kita menuding orang lain. Konotasi buruk kerap menjadi permasalahan utama terhadap dua kata itu: radikal dan fanatik.

Masyarakat Indonesia memiliki satu keburukan yang selalu terulang tiap waktu, yakni mengucapkan sesuatu tanpa memahaminya terlebih dahulu. Mengucapkan sesuatu tanpa berpikir sudah seperti menjadi hobi sehari-hari yang rasanya tidak pantas untuk dilewatkan, maka dari itu saya disini mengajak para pembaca untuk memahami terlebih dahulu makna radikal dan fanatik.

Nampaknya terjadi pergeseran makna untuk kata radikal. Dahulu di era perjuangan kemerdekaan, kata radikal diartikan sangat baik, kelompok yang progresif revolusioner dari organisasi sayap kiri di Indonesia selalu dielu-elukan dengan kata radikal. Lalu apa sebenarnya arti kata radikal itu sendiri?

Secara etimologis, radikal berasal dari bahasa latin, yakni radix yang berarti akar. Yang dimaksudkan dengan radikal ialah mengakar kepada sesuatu. Orang-orang radikal dapat dimaknai bahwa mereka mengikuti sesuatu secara mengakar, entah itu ideologi ataupun agama.

Penggunaan kata radikal di tahun 1800-an hingga 1966 kerap mengacu kepada kelompok Komunis, dimana mereka betul-betul mengacu kepada akar pemikiran mereka, Karl Marx. Adapun para pengikut Soekarno yang berhalauan nasionalis juga disebut sebagai kaum radikal, radikal pada nasionalisme ala Soekarno (marhaenisme).

Sangat jarang kelompok agamis seperti Masyumi disebut radikal, mereka lebih sering dijuluki kaum konservatif (bertumpu pada nilai-nilai luhur/agama). Agaknya benar penggunaan kata pada era perjuangan ini.

Sekarang, di era pasca reformasi, kata radikal tidak lagi mengacu kepada kelompok kiri yang bisa dibilang “terlarang” karena trauma sejarah. Kata radikal dewasa ini disematkan kepada kelompok agamis terutama umat Islam yang sifatnya agak keras kepala.

Sedangkan konservatif tidak lagi begitu digunakan, dalam Islam di Indonesia hanya ada empat kata yang digunakan sebagai pengkategorian Islam: tradisionalis, liberal, fundamental dan radikal. Dan tudingan radikal acapkali menjadi sebutan yang terlihat paling pas bagi umat Islam Indonesia saat ini.

Saya kurang sepakat jika kata radikal disematkan kepada umat Islam. Munculnya kelompok-kelompok dan pengajian “garis keras” tidaklah radikal, mereka hanya berdakwah, dengan cara yang kita anggap “keras”. Hanya segelintir ulama saja yang bisa dikategorikan radikal dalam hal pemahaman agama Islamnya (mengakar dan betul-betul memahami esensi dari Islam). Namun fenomena yang sejatinya pantas untuk digunakan sebagai sebutan uman Islam di Indonesia sekarang ialah Fanatik.

Meminjam dari pengartian KH. Wahid Hasyim, fanatik ialah kepercayaan membabi-buta terhadap suatu ajaran dan menolak segala pendapat orang lain daripada yang dianut. Banyak pengajian-pengajian kekinian dimana para jamaahnya sangat mengikuti si “ustaz” hingga menganggap hanya ustadnya yang paling benar, tapi bukan itu masalahnya.

Saya menggarisbawahi kata “membabi-buta” karena ternyata tidak sedikit dari mereka yang hanya mendengarkan perkataan ustad atau ulama nya tanpa memahami kata perkata. Banyak juga dari mereka yang menggunakan bahasa asing (Arab) akan tetapi tidak mengetahui arti sesungguhnya dari kata yang mereka keluarkan, yang dilakukan hanya repetisi dan otaknya tidak lagi digunakan, hanya menjadi tape recorder dari ustadnya.

Terlebih lagi, kelompok fanatik yang mulai menjamur ini memiliki pandangan yang sangat kolot, bahkan melebihi kaum konservatif yang sudah tergolong kolot. Akan tetapi, fanatisme ini sering terjadi pada level jamaahnya. Mereka tidak pernah terima saat panutannya dikritik oleh orang lain dan justru menghujat si pengkritik, inilah bahaya fanatisme, membuat orang membenci orang lain. Hanya rasionalitas (akal sehat) yang mampu menangkal fanatisme.

Rasanya kurang adil jika kata fanatik ini hanya ditujukan untuk orang-orang seperti diatas. Kelompok nasionalis pun ternyata juga fanatik dalam mengikuti panutan mereka, Soekarno.

Mengutip dari Cak Nur (Nurcholish Madjid), terjadi pengkultusan individu terhadap figur Soekarno. Kritik-kritik yang dilayangkan kepadanya ditolak mentah-mentah oleh para pengikutnya, memang sifat mereka tidak se-konfrontatif para jamaah. Penolakan yang mereka lakukan pun bisa dibilang logis dan argumentatif, akan tetapi tetap, jika mengikuti suatu ajaran secara membabi-buta tetap dikategorikan sebagai Fanatik.

Untuk itu, agar menjadi manusia yang baik maka gunakan akal pikiran semaksimal mungkin agar tidak jatuh pada fanatisme dan mulailah memahami makna sesungguhnya dari kata radikal. Jika kalian melihat dan mendengar seseorang yang benar-benar paham akan sesuatu secara mendalam dan mengakar, itulah yang disebut dengan radikal. Jadi, jangan sembarangan menggunakan kata radikal dan juga fanatik.

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.