Kajian seputar agama itu majemuk. Banyak ragamnya. Banyak subyek kajian, karena mencatut beragam makna, aneka symbol dan dimensi-dimensinya. Karena dimensi tiap agama berbeda-beda, agama juga bisa dibandingkan dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain. Diemensi-dimensi agama yang beragam itu seperti dimensi ritual, ini berkenaan dengan aktifitas ibadah dan upacara keagamaan. Ada dimensi etik dan mistis, berkenaan dengan kekuatan-kekuatan supranatural atau aktifitas batin manusia. Ada juga dimensi social kemasyarakatan. Bahkan yang penting dan menjadi subyek mata kuliah kita yaitu berkenaan dengan dimensi filosofis.
Kajian filosofis dalam memahami agama sangat strategis dan signifikan untuk diajarkan. Sehingga orang melihat agama tidak hanya dengan satu kacamata,misalnya, fikih atau legal islam. Cara kerja filsafat dalam memahami agama dikenal ‘subversif’, oleh karena itu dicurigai banyak pemuka agama, ulama, pemimpin agama dan para petinggi agama. Subversif disini berarti mempertanyakan sendi-sendi dasar dari suatu ajaran / keyakinan agama. Seperti konsep atau teori munculnya agama, pemahaman tentang Tuhan apakah ia realitas sesungguhnya atau hanya delusi manusia?, tentang argument-argumen eksistensi Tuhan yang di perkenalkan oleh ahli teolog, tetapi kemudian di ‘bombardir’ abis oleh para ‘filosof’ agama, atau juga tentang kiamat,tentang hari akhir, tentang moralitas, tentang apa yang benar dan apa yang salah, tentang pahala dan segudang pemaknaan-pemaknaan lain di dalam ajaran agama.
Ajaran agama yang taken granted, lalu di pertanyakan kembali oleh filsafat itulah yang kemudian sebagian kalangan memahami bahwa filsafat dan agama dipahami secara berlawanan. Filsafat jelas pendekatannya logis, sistematis, holistic dan radikal. Sesuatu yang ‘hampir’ tidak dikenal dalam ajaran-ajran agama yang menganjurkan sikap percaya, tidak selalu logis, tidak penting sistematis asal berisi petunjuk kebahagiaan manusia dan penjelasan-penjelasan yang rigid. Bahkan dalam batasan tertentu tidak logis.
Hal ini membawa satu perbincangan antara filsafat dan agama. Sebuah perbincangan yang menyibukkan antara filsafat dan agama adalah bentuk hubungan antara keduanya. Dari bentuk hubungan ini akan diketahui garis besar antara filsafat dan agama. Bentuk hubungan antara filsafat dan agama memiliki dua pola besar. Yaitu bentuk hubungan yang harmonis atau integrasi dan bentuk yang diklaim sebagai bertentangan.
Usaha untuk menjauhkan filsafat dan agama tidak membuahkan hasil yang memuaskan, meskipun tokoh-tokoh abad pertengahan dan abad pencerahan seperti August Comte, Freud, Fuerbach, Marx, Durkehim mendasarkan teori-teorinnya tentang agama sebagai ‘the end of religion” tetapi pada abad ‘post’ modernism ini atau ada yang menyebutnya sebagai abad “post” sekularisme ini, menunjukkan geliat bangkitnya fenomena keagamaan di dunia modern ( New Age, Baba from India, Fundamentalisme Islam dll).
Dasar lahirnya sekularisme, dan teori-teori tentang agama ternyata berawal mula dari dominannya peran Gereja dalam hal ini para Father atau Bapa-Bapa Gereja dalam setiap sendi keidupan umat kristianai. Segala sesuatu yang baru dianggap “bid’ah”. Setiap penemuan-penemuan baru yang bertentangan dengan ajaran al-Kitab dinilai sebagi sesat. Keadaan ini membuat peran kaum intelektual atau ilmuwan menjadi tersudut.
Perlawanan pun ditancapkan oleh para ilmuwan terhadap dominasi Gereja. Adalah Galileo Galilei penemu teori Heliosentris, dia dihukum seumur hidup oleh Gereja sampai meninggal. Nicolas Copernicus seorang ilmuwan sains, matematikawan dimana hidupnya dikucilkan. Giordano Bruno, Isaac Newton, Charles Darwin, Rene Decartes dan sederet filoosof, ilmuwan, pemikir yang punya hubungan tidak baik dengan dominasi dan dogmatisme Gereja.
Menurut saya, peran mereka disalah pahami oleh Gereja. Inkuisisi , pengucilan,pembunuhan karakter, hukuman bunuh menjadi tindakan yang tidak bisa dibenarkan meskipun itu institusi yang mengatasnamakan Tuhan, God atau Gereja. Cerita tentang mereka adalah semacam cerita tentang kesalahpahaman para pemuka agama tentang kebenaran sabda Tuhan. Bahwa mereka adalah ancaman bagi Tuhan. Bahwa Filsafat atau Sains tidak cocok dengan agama. Bahkan jikapun dianggap perlu atau dibutuhkan, peran filsafat tidak lebih dari sekedar pembantu agama saja ( Ancilla Teologia) . Sebuah kesalahan yang dibayar mahal oleh Gereja.
Kebenaran filsafat sebenarnya kebenaran agama juga, namun bidang pengkajiannya lebih mendalam serta tidak terbatas. Filsafat pengkajiannya tidak membatasi diri. Seorang filosof tidak akan pernah merasa puas dengan kebenaran yang sudah ada. Filsafat lebih luas lingkupnya dari pada agama. Filsafat menuntut daya berpikir tinggi dalam menghadapi masalah-masalah fundamental kehidupan.
Filsafat itu sebenarnya adalah partner terbaik syariat dan sahabat dekatnya. Syariat Besar (baca: agama) adalah filsafat mayor dan filosof hakiki adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran syariat. Filsafat merupakan ilmu dan obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan segala penyakit dogmatism beragama. Keberagamaan yang tidak kritis. Keberagamaan yang selalu mempertanyakan. Argumen tadi menurut Ibn Rusyd yang saya abaca di bukunya Fasl Maqal.
Hemat saya, filsafat tidak boleh dipandang sebagai musuh agama dan perusak keimanan, bahkan filsafat sebagai alat dan’pisau’ yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan mempertajam makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini akan menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.
Pembahasan agama dengan kacamata filsafat bertujuan untuk menggali kebenaran ajaran-ajaran agama tertentu atau paling tidak untuk mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan dalam agama agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip logika. Sehingga dari sanalah diketahui bahwa terdapat hubungan erat antara filsafat dan agama