Minggu, Oktober 6, 2024

Memahami Intoleransi dalam Ruang Publik

Muhammad Farid
Muhammad Farid
Pengajar Ilmu Sosial, STKIP Hatta-Sjahrir, Banda Naira

Apakah toleran dan intoleran? Dua istilah ini penting dimengerti mengingat defenisinya dipahami masih problematis, terlebih maraknya kasus terkait yang terjadi dalam ruang publik.

Contoh, baru-baru ini sebuah koran nasional menulis “Jakarta Masuk dalam 10 Kota dengan Nilai Toleransi Rendah”. Data bersumber dari SETARA Institute yang menggunakan beberapa variable ukuran, yaitu; Regulasi Pemerintah Kota, Tindakan Pemerintah, Peristiwa Sosial, Demografi agama (lihat kompas.com, 2018, setara-intitute.org, 3018)

Di sisi lain, ada sejumlah kasus yang secara gampang diklaim publik sebagai bukti tindakan toleransi atau sebaliknya intoleransi beragama. Seperti video “ibadah bersama di Maluku” yang baru-baru ini viral di media social. Video itu merekam proses peribadatan dua pemeluk agama (Islam dan Kristen) di sebuah gereja di Amahusu, salah satu wilayah di Maluku. Yang kemudian viral karena di dalamnya hadir seorang pejabat MUI Maluku di dalam ibadah tersebut, yang dalam sambutannya menjelaskan bahwa peristiwa itu sebagai wujud toleransi beragama.

Toleransi dan Intoleransi

Pertama yang harus dimengerti dari defenisi toleran-intoleran adalah merupakan sebuah “tindakan”, bukan pikiran, apalagi sebuah aturan. Disebut toleran, menurut Cohen (2004) adalah tindakan yang disengaja oleh actor dengan berprinsip menahan diri dari campur tangan (menentang) perilaku mereka dalam situasi keragaman, sekalipun actor percaya dia memiliki kekuatan untuk mengganggu (Cohen 2004, hal. 69).

Artinya, didalam toleransi terkandung dua kata kunci, yang sekaligus berperan sebagai prinsip, yaitu (1) “kesengajaan” (intent), dan (2) “tidak-mengganggu” (Noninterference). Keduanya adalah element yang sama penting.

Russell Powell dan Steve Clarke dalam Religion, Tolerance and Intolerance: Views from Across the Disciplines, bahkan memposisikan elemen “tidak-mengganggu” sebagai inti dari toleransi. Dan sikap tidak-mengganggu ini harus bersifat direct, atau “tidak-mengganggu-secara langsung”.

Powel memberi contoh: Seorang Katolik disebut toleran adalah dia yang membolehkan praktik keagamaan Protestan di masyarakat, sekalipun dia tidak setuju dan punya kemampuan melarang tapi justru memilih tidak mengganggunya (lihat Powell & Clarke, Oxford Univ, p.4-5).

Contoh lain mungkin kita temukan; Seorang Muslim (M) yang membolehkan perayaan natal sahabatnya yang Nasrani (N), sekalipun M memilih tidak mengucapkan “Selamat Natal” kepada sahabatnya itu karena dia tahu bahwa hal itu bertentangan dengan keyakinannya. Maka dalam perspektif Powell dan Clark, M adalah seorang yang toleran karena sengaja menahan dirinya dari tindakan tidak setuju, seraya membolehkan ibadah ritual Natal berjalan tanpa gangguannya.

Artinya, hanya dengan “sengaja-tidak-mengganggu” (intent to non-interfere) terhadap orang lain maka seorang disebut toleran. Sengaja menjadi sangat penting, sebab jika seorang tidak-menggangu hanya karena acuh dan abai maka dia belum dapat disebut toleran.

Sementara arti “intoleransi” adalah kebalikan dari semua prinsip yang terdapat dalam toleransi. Ada setidaknya 3 komponen intoleransi; (1) ketidak-mampuan menahan diri tidak suka kepada orang lain, (2) sikap mencampuri dan atau menentang sikap atau keyakinan orang lain, dan (3) sengaja-mengganggu orang lain.

Mengukur

Menurut Hunsberger (1995), intoleran adalah tindakan negatif yang dilatari oleh simplifikasi-palsu, atau “prasangka yang berlebihan” (over generalized beliefs). Prasangka semacam ini memiliki tiga komponen; (1) komponen kognitif mencakup stereotip terhadap “kelompok luar yang direndahkan”; (2) komponen afektif yang berwujud sikap muak atau tidak suka yang mendalam terhadap kelompok-luar; dan (3) komponen tindakan negatif terhadap anggota kelompok-luar, baik secara interpersonal maupun dalam hal kebijakan politik-sosial (Hunsberger’s, 1995:113-29).

Menurut Haidt (2001), ketiga komponen prasangka cenderung saling mempengaruhi mengingat sifat pikiran dapat berpengaruh negatif dan memberi reaksi terhadap sikap muak, dan tidak suka. Dan secara logika memang tidak sulit untuk membayangkan bagaimana sikap negatif dapat memediasi tindakan negatif.

Powel dan Clarke juga mengafirmasi hal ini, bahwa seorang yang berpikir negatif belum tentu mau bertindak intoleran. Meskipun, kombinasi ini mungkin sebuah pengecualian (Powell & Clarke: 18). Artinya, seorang yang bertindak intoleran bisa dipastikan memiliki pandangan stereotip/negatif kepada orang. Tapi sebaliknya, seorang yang hanya berpikir negatif boleh jadi bukan seorang yang intoleran.

Korelasi yang longgar antara pikiran dan tindakan membuat ukuran untuk mengidentifikasi seorang atau kelompok tergolong toleran atau intoleran menjadi tidak mudah. Toleransi bahkan menjadi aneh ketika diukur dengan angka-angka statistik, sekalipun bukan mustahil itu dilakukan.

Dimana problematisnya? Ada pada parameter yang digunakan. Tentu saja tidak semua parameternya bermasalah. Dalam hal ini, variable “tindakan social” adalah yang paling relevan untuk mengukur toleran-intoleran. Selain itu, variable seperti; regulasi dan aturan, demografi tentu sukar, alih-alih kontraproduktif jika dipaksakan untuk mengukur toleran-intoleran.

Mengelola

Dalam konteks Ruang Publik, idealnya, wilayah ini harus nihil dari klaim-klaim subjektif apalagi tindakan diskriminatif. Jurgen Habermas, sang konseptor Ruang Publik, menggarisbawahi tiga poin penting tentang ruang publik ideal yaitu: (1) Partisipasi dan non-diskriminasi. Yaitu, ruang publik harus menjadi sebuah forum terbuka untuk semua. (2) Otonomi, yaitu ruang publik harus otonom karena lingkungan otonom kondusif bagi perdebatan kritis dan rasional. Dan (3) Berisikan debat Rasional atau analitis, yang merupakan esensi ruang publik (Habermas 1989: 36).

Artinya, sebuah Ruang Publik Beragama yang ideal adalah wilayah bersama yang menampung segala cetusan keberagamaan tanpa halangan apapun. Maksudnya, segala sikap dan simbol keagamaan kelompok manapun untuk diizinkan tampil dan dirayakan.

Maka stereotype terhadap kelompok tertentu seharusnya tidak boleh terjadi, hanya karena simbol dan cetusan beragama mereka yang khas, seperti; jenggot, jubbah, atau wanita yang berhijab dan berkalung salib. Maka larangan terhadap kelompok tertentu yang ingin mengekspresikan ibadahnya di lapangan monas dan di jalan-jalan jelas adalah intoleransi. Termasuk kasus pemotongan nisan salib di Jogja baru-baru ini. Sekalipun dengan dalih atas dasar kesepakatan. Karena disitu terselip “prasangka”.

Namun pengakuan kesetaraan agama dalam ruang public harusnya tidak dipahami secara ‘sembarangan’ dengan maksud mempersatukan agama-agama dalam konteks teologisnya yang khas, melainkan semata dalam ranah dialogis-sosiologis. Dialogalitas semacam itulah yang dapat mempertemukan agama-agama dalam damai, tanpa harus “melucuti” keberimanan masing-masingnya.

Karena, “Toleransi bukan asimilasi. Kita perlu menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka.” demikian menurut romo Franz Magnis. Serupa dengan konsep Tasamuh dalam Islamyaitu menghormati keberbedaan agama lain dengan prinsip yang teguh tanpa perlu saling bersinggungan.

Muhammad Farid
Muhammad Farid
Pengajar Ilmu Sosial, STKIP Hatta-Sjahrir, Banda Naira
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.