Jumat, Oktober 4, 2024

Memahami Hakikat Kekerasan dan Perdamaian

Muhammad Dudi Hari Saputra
Muhammad Dudi Hari Saputra
Lecturer at Kutai Kartanegara University and Former Industrial Ministry Special Analyze

Penulis: M. Dudi Hari Saputra, MA. (Sekretaris eksekutif lembaga Public Policy & Business Development – Jakarta dan Tenaga Ahli Staf Khusus dari Kementerian Perindustrian Republik Indonesia)

Pengantar

Kata damai atau peace secara etimologis ditemukan sekitar abad 12 dari bahasa Inggris abad pertengahan yaitu pees, yang diambil dari bahasa anglo-perancis pes dimana kata pes sendiri diambil dari bahasa latin yaitu pax yang berarti persetujuan, diam/damai dan keselarasan.

Berdasarkan konteks ini maka lawan dari kata peace secara etimologis adalah kata conflict, kata yang berasal dari abad ke 15 diambil dari bahasa Inggris pertengahan dan Latin yaitu conflictus yang bermakna membentur, menolak atau tidak selaras (Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, 2011).

Sedangkan pengertian peace/perdamaian secara terminologis (istilah) adalah tidak adanya peperangan/konflik kekerasan, sedangkan arti perang adalah konflik kekerasan secara langsung. Jadi perang terjadi ketika tidak bisa dicapainya penyelesaian konflik melalui metode tanpa kekerasan, sehingga memaksa pihak-pihak yang terlibat perselisihan tadi untuk melakukan aksi kekerasan sebagai satu-satunya cara, dari sini bisa diperhatikan bahwa konflik sendiri terbagi menjadi dua, yaitu konflik tanpa kekerasan dan konflik dengan menggunakan kekerasan (perang) (Graham Evans and Jeffrey Newnham, 1998).

Definisi Kekerasan

Definisi kekerasan sendiri adalah sebuah aksi atau tindakan yang bertujuan untuk merusak, mencederai, melukai, memusnahkan properti bahkan manusia (Collins COBUILD Advanced Learner’s Dictionary 5th Edition, 2011). Dan kekerasan sendiri terbagi menjadi dua yaitu kekerasan secara langsung (direct violence) dan kekerasan struktural (structural violence).

Yang dimaksud kekerasan secara langsung tidak sekedar melakukan kekerasan secara tangible, tapi lebih dari itu, yakni merupakan aksi yang bertujuan untuk menciptakan hirarki dan hegemoni. Kedua adalah kekerasan struktural (structural violence), yakni kekerasan yang diawali dari adanya perbedaan kelas dan posisi yang menghegemoni dan dihegemoni sehingga memungkinkan terjadinya tindakan alienasi-diskriminasi-eksploitasi-represi yang bertujuan untuk menjaga hirarki yang sudah ada oleh kelompok yang berkuasa, maupun bertujuan untuk menghancurkannya oleh kelompok yang tertindas (Thomas Matyok, 2011).

Kekerasan struktural biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas atau yang memegang kekuasaan sehingga di dalam penerapan kehidupan berbangsa dan bernegara selalu memihak pada kelompok berkuasa/mayoritas dan mendiskriminasi kelompok yang tertindas/minoritas.

Contohnya seperti ketidakbebasan untuk berkeyakinan, tidak ada kesempatan untuk menerima pendidikan yang adil, hak sosial dan politik yang tidak setara maupun pengekangan untuk mendapat kehidupan yang layak (Rahardjo,1981).

Bentuk Perdamaian

Dan kekerasan struktural bisa berbentuk rasisme, sexisme maupun bentuk chauvinisme yang lain, yang kemudian kekerasan secara struktural ini bisa memicu tindakan perlawanan dari kelompok yang ditindas dan memicu konflik (peacestudies, 2004).

Berbagai macam bentuk konflik dan kekerasan kemudian menjadi stimulan untuk menerapkan metode-metode baru konsep perdamaian agar bisa menjawab tantangan yang ada. Salah satu konsep dasar dan konvensional yang ditawarkan adalah konsep negative peace, negative peace lebih menekankan pada aspek meniadakan perang saja (David P. Barash, 2000).

Juga bentuk konflik kekerasan yang luas terhadap kehidupan manusia (Charles Webel and Johan Galtung, 2007), terutama kekerasan yang sudah lintas batas negara seperti perang antar negara maupun perang sipil yang besar di dalam satu negara (Alicia Cabezudo and Magnus Haavelsrud, 2007), maupun mengeliminasi segala bentuk kekerasan langsung (Johan Galtung, 1969).

Pada prakteknya pendekatan negative peace menghendaki tidak terjadinya konflik dengan kekuatan militer dan efek penggetarnya (deterrence) atau istilahnya damai karena kuat dan adagium terkenal lainnya adalah jika ingin damai siapkan perang (Sivis Pacem Parabellum), pada umumnya pendekatan negative peace bersifat coercive (memaksa) dan reaktif.

Kemudian, bentuk lain dari motode perdamaian selain negative peace adalah positive peace, karakter epistemologi dari positive peace adalah pendekatan multi-disiplin dan memiliki nilai-nilai moral. Serta visi dari positive peace lebih luas dari sekedar tidak adanya peperangan/konflik kekerasan (David P. Barash, 2000).

Positive peace ingin menunjukkan kehadiran secara simultan keinginan membangun sudut pandang di masyarakat seperti keselarasan, keadilan dan kesetaraan (Charles Webel, 2007). Dan pada prinsipnya positive peace bertujuan untuk mengeliminasi berbagai hambatan terhadap potensi yang dimiliki manusia, terutama permasalahan ekonomi dan struktur sosial-politik (Johan Galtung, 1969).

Positive peace berbeda dari negative peace yang melakukan pendekatan kekuatan dan memaksa, positive peace lebih meletakkan pendekatan nilai dan moral, serta menekankan aspek pencegahan sehingga dalam proses penerapannya positive peace lebih menawarkan bantuan dan penyelesaian konflik struktural yang terjadi baik pada masa lampau dan sekarang dengan harapan agar kedepannya tidak terjadi konflik kekerasan (baca:perang) yang lebih besar (Diertrich Fischer, 2007).

Bisa disimpulkan bahwa positive peace tidak hanya berfokus pada ketidakhadiran peperangan tapi juga fokus pada kehadiran perdamaian, cinta dan nilai-nilai moral sosial di masyarakat, serta menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan manusia. Pendekatan holistik yang ditawarkan oleh positive peace secara langsung mengharuskan pembangunan perdamaian melalui jalur ekonomi, sosial dan lingkungan. Tujuan akhir dari positive peace adalah meminimalisir kekerasan baik secara langsung maupun yang struktural.

Selain 2 pendekatan perdamaian di atas, muncul alternatif pendekatan ketiga, yaitu pendekatan yang berusaha mengelaborasi dan mengunifikasi pendekatan negative dan positive peace yang diistilahkan oleh Charles Webel dengan sebutan Strong Peace (Charles Webel, 2007). Strong peace lebih menekankan pentingnya pendekatan perdamaian, yang tidak saja pada level lokal tapi juga internasional.

Adanya kecenderungan para aktor perdamaian positive peace mendapatkan tekanan yang luar biasa sehingga menciptakan ketakutan, keraguan dan ketidakamanan pada diri mereka sendiri, sehingga suatu waktu bisa menghentikan program perdamaian.

Maka diperlukan sebuah elaborasi antara pendekatan perdamaian yang struktural/mikro dengan nilai-nilai kemanusiaan untuk mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan hukum pada skala nasional dan internasional (makro), serta adanya keinginan para pengambil kebijakan pada level negara untuk berkomitmen pada perdamaian sehingga bisa tercipta proses perdamaian yang lebih komprehensif dan kuat (peacestudies, 2004).

Muhammad Dudi Hari Saputra
Muhammad Dudi Hari Saputra
Lecturer at Kutai Kartanegara University and Former Industrial Ministry Special Analyze
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.