Hidup memang indah, penuh dengan pesona dan alegori cinta yang meneduhkan pikiran dan menyejukkan hati. Sebuah anugerah yang tidak dapat dipungkiri menjadikan kehidupan menjadi sesuatu yang bermakna bagi setiap manusia yang menikmati kehidupannya.
Hidup manusia seakan berwarna dengan kemampuannya dalam membagi kehidupan menjadi tiga letak waktu yang berbeda; masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Manusia diijinkan memiliki sejarah, meskipun sejarah tidak selalu mengenakan. Sejarah menjadikan manusia memiliki kesempatan untuk berkontemplasi, mengevaluasi diri.
Jejak langkah kehidupan manusia penuh dengan hasrat keingintahuan dan ketidakpuasan. Apakah hal tersebut bermakna buruk? Belum tentu. Keingintahuan dan ketidakpuasan manusia atas ilmu pengetahuan membawa peradaban manusia menuju dunia tak terbatas.
Apa ada yang tidak sepakat? Saya rasa semua Homo Sapiens sepakat dengan pernyataan tersebut. Pertanyaan sesungguhnya yang seharusnya dilontarkan adalah mengapa manusia berbeda dengan organisme lain?
Bagi yang suka membaca buku sains, khususnya tentang hukum evolusi tentunya bukan soal susah untuk menjawab pertanyaan tersebut dari perspektif sains. Atau mungkin kita sering mendengar ceramah atau mendapatkan ilmu teologi yang kita dapatkan di institusi pendidikan agama yang menjelaskan bahwa manusia berbeda dengan hewan karena manusia memilki tidak hanya nafsu tapi juga akal yang menjadikan manusia sebagai makhluk berpengetahuan.
Sains bukanlah mimpi di siang bolong. Ia bukanlah sebuah gagasan yang dicetuskan dalam tempo satu malam. Kelebihan sains, ia dapat dibuktikan secara empiris dan kerasionalnya dapat dipertanggung-jawabkan. Antara sains dengan hukum metafisika secara dikotomis memang saling bertentangan. Ilmu pengetahuan bukanlah suatu hal yang dogmatis, namun sebuah substansi yang perlu didiskusikan secara kritis.
“Janganlah kamu perkosa kaum spesiesmu, tapi perkosa-lah otakmu sendiri!” Ya, perkosalah otakmu, buat otakmu berpikir.
Beberapa dari kamu mungkin masih belum tahu tentang hakikat manusia yang berpikir. Ungkapan Rene Descartes ini mungkin dapat membantu untuk mengetahui urgensinya. Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Melalui ungkapan tersebut Descartes mencoba untuk mengutarakan bahwa manusia secara biologis tentu dan pasti ada.
Namun, apa yang membedakan manusia satu dengan lainnya? Tentunya bukan faktor fisik, malainkan kebijaksanaan yang ditunjukkan manusia melalui pikirannya serta cara manusia untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Proses terbentuknya otak manusia yang digunakan untuk berpikir, berimajinasi dan menganalisis suatu hal tidak terjadi dalam tempo singkat. Evolusi yang telah dilalui Homo Sapiens selama ratusan ribu tahun yang dimulai dengan terbentuknya tatanan komunikasi unik pada Homo Sapiens yang kemudian menghasilkan suatu padanan kata yang mudah untuk dipahami oleh sesama, dan akhirnya menghasilkan suatu bahasa.
Sekali waktu coba kita renungi, seberapa besar peran bahasa dalam terbentuknya kontruksi sosial umat manusia. Bahasa sebagai embrio dari lahirnya sastra yang pada zaman komunal primitif hanya sebatas simbol-simbol yang diukir. Kemudian simbol-simbol tersebut tergantikan oleh tulisan berkarakter huruf dan angka yang susunan tersebut dapat bertransformasi menjadi ilmu pengetahuan.
Mari kita berkontemplasi, sejauh mana kita “memperkosa” otak kita untuk berpikir? Sudah seberapa sering kita belajar untuk memahami alam semesta? Memahami proses terbentuknya tatanan politik global? Atau mempelajari sejarah umat manusia? Seberapa sering kita membaca sumber pengetahuan?
Pada dasarnya, pengetahuan adalah representasi dari nilai kehidupan. Dengan membaca, secara tidak langsung kamu dapat menengok kehidupan seseorang melalui konteks latar waktu dan suasana dari pemikiran yang dituliskannya. Dengan membaca, dimensi ruang dan waktu seakan terbuka dan kita dapat menengok dan mengimajinasikan bagaimana dunia di masa lalu dan keberlanjutan dunia di masa yang akan datang.
Nikmat rasanya apabila kehidupan kita lebih berwarna dengan buku-buku yang kita baca. Sebuah kisah tentang pemikiran seseorang dengan berbagai macam suasana yang mengilhami diri untuk meningkatkan wawasan diri.
Membaca bukan hanya sebagai pemuas diri yang tidak sarat makna, melainkan sebuah hasrat kaingin-tahuan atas segala yang membuat kita penasaran. Buku sama halnya seperti guru, ya“guru anorganik.” Sejauh ini mungkin masih belum ada yang bisa mengalahkan pengalaman sebagai guru terbaik. Namun membaca dapat dijadikan sebagai saingan sepadan dalam memperebutkan titel “guru terbaik”.
Pengalaman lebih unggul karena ia merupakan sebuah proses langsung yang dilakukan oleh manusia, karena manusia sebagai pelaku dalam proses pembentukan sebuah pengalaman. Maka, intisari dari pengalaman tersebut dapat dengan mudah menjadi bahan kontemplasi.
Sedangkan membaca, memang kita sebatas penonton yang hanya mengikuti alur dan skenario yang ditulis oleh penulis. Namun dengan membaca kita dituntut untuk berpikir, memahami substansi pemikiran yang hendak disampaikan oleh penulis.
Yang perlu dipahami adalah membaca merupakan sebuah cara untuk mengetahui jejak langkah kehidupan orang lain. Lantas bagaimana cara agar kita dapat mencetak jejak langkah kita sendiri? Apa kita harus menulis?
Ya. Tentu kita harus menulis. Secara hierarkis, menulis adalah eskalasi selanjutnya dari proses membaca yang telah dilakukan. Dasar teoritis dari apa yang ditulis, didapatkan melalui karya orang lain yang telah dibaca. Dengan menulis, jejak langkah kehidupan seseorang akan abadi.
Keabadian pemikiran merupakan sebuah hal yang mendasari seseorang untuk menulis. Selain pemikirannya dapat dibaca dan diilhami oleh orang banyak, menulis juga digunakan sebagai cara untuk propaganda dan mengagitasikan seseorang untuk menerima atau mengikuti substansi yang dituliskan. Menulis sejauh ini merupakan cara efektif dalam metode propaganda dan agitasi, karena dapat menjangkau lingkup yang lebih luas, apalagi pada era keterbukaan informasi seperti sekarang.
Eksistensi pikiran manusia, tidak bergantung dengan faktor biologisnya. Dua hal tersebut tidak saling terikat, dan tidak menunjukkan keterkaitan dalam konteks histori. Banyak penulis yang meskipun biologisnya telah mati, namun pemikirannya tetap hidup di masyarakat.
Tidak usah menunggu pikiran manusia dapat bertransformasi menjadi sebuah data untuk mengabadikan sebuah pemikiran, cukup kita menuliskan apa yang kita pikirkan, maka substansi pikiran kita akan abadi meskipun kita telah mati.
Susah? Tentu! Itulah dinamika yang dialami selama proses alot dalam usaha untuk menemukan jati diri. Dimulai dari proses penemuan hakikat dari mengapa kita harus belajar, darimana sumber pengetahuan sebagai penunjang proses pembelajaran yang dibutuhkannya, dan berakhir pada pengabadian sebuah pemikiran melalui tulisan.
Perjuangan tidak ada yang mudah, perlawanan melawan zona nyaman tidak ada yang singkat, semua butuh proses. Dua hal yang dibutuhkan; kesadaran dan konsistensi. Jadikan tulisanmu sebagai falsafah hidupnya pikiranmu.