Demi terciptanya kekebalan komunal (herd imunity), vaksinasi sepertinya menjadi harapan terakhir negara mengentaskan permasalahan pandemi. Di tengah gonjang-ganjing varian baru, memacu vaksinasi nasional setidaknya mengurangi laju korban meninggal akibat Covid-19. Berdasarkan analisis data kesehatan dunia, 80 persen orang yang terkena Covid-19 berhasil sembuh, tapi ada 20 persen yang bergejala dan lima persen di antaranya meninggal dunia.
Tahun ini, pemerintah telah menggelontorkan anggaran khusus untuk vaksin Covid-19 sebesar Rp13,92 triliun. Indonesia menggunakan tiga jenis vaksin, yaitu Sinovac, AstraZeneca, dan Sinopharm. Ketiga vaksin itu telah memperoleh Emergency Use Listing atau EUL dari WHO.
Para ahli di dunia mengatakan bahwa herd immunity dapat tercapai jika proporsi minimal 70 persen penduduk sudah divaksin terpenuhi. 70 persen dari jumlah penduduk Indonesia, artinya harus ada sekitar 189 juta penduduk Indonesia yang sudah mendapat vaksin penuh (dua dosis vaksin Covid-19). Dengan kata lain, total dosis vaksin yang dibutuhkan Indonesia harus ada sekitar 378 juta dosis.
Meskipun beberapa kali pemerintah sudah berhasil mengimpor vaksin (mentah maupun jadi), target mencapai kekebalan komunal masih jauh dari kenyataan. Selain permasalahan distribusi alokasi vaksin ke daerah-daerah dan jumlah tenaga kesehatan yang belum optimal, persepsi masyarakat mengenai efek samping yang ditimbulkan setelah vaksin juga menjadi hambatan percepatan vaksinisasi.
Meskipun gratis, vaksinasi masih menjadi paranoid di tengah masyarakat, ditambah informasi di media sosial tentang konspirasi dan isu politik. Dampaknya adalah terhambatnya proses vaksinasi dan panjangnya masa PPKM yang semakin menambah kompleksitas permasalahan bangsa. Kesehatan dan ekonomi dipertaruhkan di tengah ketidakkompakan keinginan pemerintah dan sebagian rakyat.
Semakin lama proses vaksinasi, semakin bertambah derita masyarakat. Aturan pembatasan mobilitas semakin diperketat, perusahaan dan UMKM gulung tikar, sanak saudara satu per satu meninggal saat isoman. Risiko dari mereka yang antivaksin bisa berdampak pada lingkungan sekitar, bahkan tersendatnya kemajuan negara yang dianggap tidak mampu menyelesaikan pandemi.
Sikap egois mereka yang menolak vaksin perlu diberikan sosialisasi lebih masif. Jangan hanya karena satu atau dua orang yang bebal vaksinasi menjadi tanggungan seluruh masyarakat karena tidak segera lepas dari jeratan PPKM. Saat ini, vaksinasi masih dianggap sunah bagi sebagian besar masyarakat. Sehingga banyak di antaranya enggan divaksin meski gratis dan diarahkan oleh pemerintah daerah setempat.
Iming-Iming
Daripada menunggu target vaksinasi nasional, pemerintah harus berinisiatif membangun kembali sektor yang sudah hancur akibat pandemi. Misalkan dunia pendidikan, olahraga, pertumbuhan ekonomi, hingga panggung kesenian. Tentu harus ada yang dikorbankan. Tapi memilih stagnan menunggu target vaksinasi hanya akan menjadi efek domino yang bisa menghancurkan negara dan masyarakat luas.
Ketika masih banyak warga yang menolak divaksin, berarti akan semakin mundur target vaksinasi. Meskipun kampanye vaksinasi di berbagai platform digital dan cetak masif dilakukan, namun informasi hoaks dan narasi antikonspirasi masih berdengung di media massa. Melihat fenomena politik identitas di Indonesia, agaknya menjadi psimistis melihat target vaksinasi nasional selesai tahun depan.
Sifat vaksinasi yang tidak “dipaksa” semakin menambah gairah penolakan warga untuk divaksin. Covid-19 dianggap seperti flu biasa yang bisa sembuh dengan obat-obat dari apotek diimbangi dengan istirahat yang cukup. Pemahaman yang kurang mengenai Covid-19 yang membuat banyak masyarakat masih meremehkan pandemi dan menolak divaksin.
Ketika grafik persebaran Covid-19 yang masih belum stabil untuk dikendalikan, pemerintah harus berani mengambil risiko untuk membuka berberapa sektor fundamental negara seperti pendidikan, olahraga, kesenian, dan ekonomi. Namun ada syarat khusus yakni segala aktivitas bisa dilakukan jika sudah menunjukan kartu vaksin.
Mereka yang menolak vaksin harus diiming-imingi hak istimewa warga yang sudah divaksin agar terdorong untuk bersedia melakukan vaksinasi. Beberapa sudah diterapkan dalam persyaratan transportasi umum seperti pesawat terbang yang menghendaki penumpangnya untuk melakukan swab/PCR dan menunjukan kartu vaksin. Selebihnya, banyak sektor yang masih menunggu selesainya target vaksinasi nasional atas nama kesehatan bersama.
Jika sektor pendidikan, ekonomi, seni pertunjukan, olahraga dibuka khusus bagi mereka yang sudah divaksin. Maka akan semakin banyak warga yang berbondong untuk divaksin. Bukan karena takut Covid-19, melainkan ingin mendapatkan hak istimewa serupa. Dengan risiko gejala yang lebih ringan bagi mereka yang sudah divaksin, namun bisa menghidupkan banyak sektor yang sudah setahun setengah terhenti akibat pandemi. Dampak lainnya, vaksinasi akan dianggap prasyarat wajib bagi masyarakat yang tujuannya mempercepat target pemerintah dalam menciptakan kekebalan kelompok.
Ketika lockdown akan menimbulkan goncangan struktur sosial di masyarakat. Ditambah sikap ketidakpatuhan warga terhadap aturan yang seringkali dilanggar. Maka pembukaan akses berbagai sektor patut dipertimbangkan untuk mendorong percepatan vaksinasi. Amanah konstitusi tentang kesehatan masyarakat cukup dengan penyediaan stock vaksin dan penambahan fasilitas kesehatan tanpa perlu lagi mengorbankan sektor lain yang hancur akibat pandemi.
Setiap kebijakan akan menimbulkan risiko ke depannya. Memilih membuka PPKM bagi mereka yang sudah divaksin untuk mengiming-imingi mereka yang belum divaksin atau menunggu selesainya target vaksinasi nasional di tengah ketidakpastian pandemi?