Siang itu begitu terik, kopi di meja yang dipesan beberapa menit lalu sudah tidak lagi menarik perhatian, sebab kopi tersebut sudah dingin karena saya –seperti orang-orang lainnya di kafe itu–sibuk memainkan gawai yang memberikan hiburan seru di dalamnya.
Beberapa menit kemudian datang seorang pemuda dari arah kiri, dengan memakai baju kemeja hitam yang begitu rapi dan menenteng tas kecil di tangan kanannya. Itulah ia si selebtweet dan selebgram kita.
Mudah untuk mengenali pemuda ini dari perawakan yang unik dan mukanya yang tidak pasaran. Ia duduk sembari matanya tetap terfokus ke layar gawai. Di media sosial twitter, saya melihat orang ini begitu riang gembira, lucu dan tampak seperti pribadi yang hangat. Berbeda sekali dengan apa yang sedang saya lihat sekarang, ia tampak begitu kesepian, ringkih, seperti terasing, dan tidak mempunyai teman untuk diajak bicara empat mata.
Apakah orang ini merupakan representasi dari generasi milenial yang begitu riuh dan ramai di media sosial tetapi begitu terasing dan kesepian di dunia nyata? Saya tidak tahu. Tetapi setidaknya kita bisa memberikan jawaban tersendiri untuk pertanyaan macam ini, bukan?
Budaya Menertawakan Orang Lain
Akui saja, menertawakan orang lain di media sosial adalah hal seru, bukan? Entah itu menertawakan teman sendiri atau menertawakan orang lain bahkan yang tidak pernah kita kenal sekalipun.
Dalam batas-batas tertentu, menertawakan sesuatu, bisa jadi hiburan-hiburan yang segar untuk kehidupan yang terlalu serius dan membosankan. Di zaman begini, di mana lagi kita harus mencari hiburan-hiburan selain di media sosial yang menyajikannya dengan sangat beragam?
Masalahnya baru muncul apabila kita lupa akan posisi kita sendiri. Menertawakan sesuatu hal yang lucu adalah hal yang etis, tetapi bagaimana dengan ketika menertawakannya sudah melewati batas? Dan membuat orang yang ditertawakan secara berjamaah di media sosial itu jadi tertekan?
Akui sajalah, mereka yang suka menertawakan orang lain secara ekstrem, yang dimamahbiakkan oleh selebtweet yang terhormat itu, sejatinya adalah untuk menutup fakta bahwa kehidupan mereka sebenarnya juga menyedihkan. Jadi mereka butuh hiburan.
Budaya Main Keroyokan, Berpikiran Dangkal dan Mudah Tersinggung
Di media sosial di abad yang sangat beradab ini, sering terjadi fenomena keroyokan virtual, bagaimana tidak, ketika ada sedikit tulisan, postingan atau video yang menyinggung pihak tentu–yang-nama-tidak-boleh-disebutkan-itu—harus bersiap menerima azab caci maki dan bully dari segala penjuru.
Tak kurang bahasa-bahasa binatang terkadang ikut disertakan dalam parade ini. Entah di facebook atau twitter, nampaknya sama saja. Sering juga ada seruan boikot-boikot kepada pihak berbeda pandangan politik atau agama yang nampaknya kalau kita berpikiran jernih, tidak masuk akal sama sekali.
Yang penting menambah segala keseruan bersosial media, orang yang jadi korban bisa kehilangan pekerjaan, bahkan ada pula yang mengeluarkan daftar nama target-target mereka apabila terjadi pergantian kepemimpinan. Betapa mengerikan!
Media sosial yang mula jadi tempat bersosialisasi, bertemu kawan lama, atau sekadar tempat mencari jodoh, makin ke sini seperti berubah fungsi menjadi tempat menghasut, provokasi dan menebar kebencian.
Alamak. Jika di facebook tampak seperti tempat berkembangbiaknya berita-berita hoaks nan provakatif, twitter adalah tempat bercongkolnya sarang pem-bully yang dengan gagah dan beramai-ramai mengajak pengikutnya mengamini postingannya.
Seharusnya yang bersuluk di timeline twitter itu lebih bijaksana dan menahan diri ketika menanggapi suatu hal. Tetapi apa boleh bikin! Kita semua butuh hiburan dan itu jadi sebuah dilema pula.
Semoga ini tidak berlanjut semakin parah, saya yakin di samping itu, banyak juga timbul generasi millenial yang cerdas yang bisa memilah mana baik dan mana buruk. Tabik!