Rabu, April 24, 2024

Melihat dengan Dua Mata

Sirajuddin Bariqi
Sirajuddin Bariqi
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sejak ribuan tahun lalu, umat manusia selalu disibukkan dengan pencarian akan kebenaran. Dalam al-Qur’an (dan kitab-kitab suci sebelumnya), kisah Ibrahim muda yang melakukan pencarian Tuhan yang sejati mendapat posisi yang istimewa. Singkatnya, didasarkan pada argumentasi filosofis, Ibrahim menolak anggapan bahwa benda-benda di alam semesta sebagai Tuhan yang mencipta, mengatur dan berkuasa atas segala sesuatu.

Tidak sekedar itu. Dengan segala potensi yang dimilikinya, manusia melakukan pencarian kebenaran terhadap segala hal. Di dunia filsafat kita mengenal Plato dan Aristoteles. Plato berpandangan bahwa apa yang kita lihat hanyalah bayangan. Maka untuk menemukan kebenarannya, kita harus terlepas dari jerat indrawi.

Sebaliknya, Aristoteles berpandangan bahwa apa yang kita pikirkan, yang kemudian membentuk sistem kesadaran, berangkat dari penglihatan atas alam semesta. Sederhananya, akal manusia kosong sampai ia melihat dan/atau mengalami sesuatu.

Dalam kajian epistemologi, pandangan Plato dikenal dengan Idealisme/Rasionalisme. Sesuatu bernilai benar jika ia rasional. Sedangkan pandangan Aristoteles dikenal dengan Empirisme. Sesuatu bernilai benar jika ia nampak dan nyata. Tradisi keilmuan Barat kental dengan dua corak berpikir tersebut.

Adapun dalam tradisi keilmuan Islam, wahyu dan/atau intuisi juga punya posisi yang tidak kalah penting. Sesuatu bisa dikatakan benar tidak hanya karena ia rasional atau empiris, tetapi juga karena ia diinformasikan oleh Realitas Tak Terbatas, Tuhan. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa, “mimpi yang baik dari orang shaleh merupakan satu dari empat puluh enam tanda kenabian” (Shahih Bukhori).

Yang Tampak dan Yang Nyata

Yang tampak (appearance) dan yang nyata (reality) merupakan dua fenomena yang berbeda. Pun demikian, ia berbeda dengan sifat kebenaran rasional atau empiris. Sesuatu bisa dikatakan benar jika ia rasional atau empiris, tapi tidak berarti ia ‘nyata’. Ada kemungkinan bahwa ia hanya nampak benar.

Yuval Noah Harari dalam Sapiens-nya menyebut bahwa manusia hidup dan mengalami dua realitas yang berbeda. Realitas yang pertama adalah realitas objektif; realitas yang benar-benar ada. Bukan realitas yang seolah ada karena dibayangkan atau karena ‘ada’nya ia merupakan hasil dari kesepakatan pihak-pihak tertentu atau karena adanya intervensi.

Realitas kedua adalah realitas khayal. Berbanding terbalik dengan realitas objektif, realitas khayal bisa dikatakan sebagai hanya bentuk luar (penampakan) dari apa yang sebenarnya terjadi. Sifat realitas khayal adalah menipu. Di wilayah realitas khayal, seseorang bisa menipu dan ditipu.

Dalam al-Qur’an, Allah menyebut adanya orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya beriman kepada Allah dan hari akhir, padahal sejatinya tidak (QS. al-Baqarah [2]: 8). Mereka melakukan penipuan terhadap Allah dan orang-orang beriman.

Di ayat selanjutnya, mereka mengaku sebagai pihak yang melakukan perbaikan di muka bumi (QS. al-Baqarah [2]: 11). Dalam hal ini Allah Swt. memberi keterangan bahwa sebenarnya merekalah pihak yang melakukan pengrusakan di muka bumi, tetapi mereka tidak sadar (QS. al-Baqarah [2]: 12).

Pengrusakan yang mereka lakukan, secara penampakan bisa jadi terlihat sebagai sebuah upaya perbaikan. Terlebih ketika pengrusakan yang dilakukan dibalut dengan argumentasi kemajuan, kemaslahatan, dan sebagainya. Mereka menciptakan realitas khayal seolah apa yang mereka lakukan benar. Padahal sejatinya tidak.

Yang nyata atau realitas objektif adalah apa yang sebenarnya terjadi. Bukan kebenaran perspektif. Ia tidak hanya benar ketika dilihat melalui mata dzahir (eksternal), tetapi juga benar ketika dilihat melalui mata bathin (internal). Khidr, yang sosoknya dikisahkan dalam QS. al-Kahfi, diberi kemampuan untuk melihat dengan dua mata tersebut (eksternal dan internal).

Penglihatan Khidr

Sampai sekarang, pribadi Khidr masih diperdebatkan; apakah ia nabi atau orang shaleh. Secara bahasa, Khidr berarti hijau. Dalam sebuah hadits disebut bahwa ia pernah duduk di sebuah tanah tandus, lantas tanah tersebut berubah menjadi hijau (subur) setelah ia duduk di atasnya.

Imran N. Hosein, salah seorang ulama asal Trinidad, dalam Surah Al-Kahf and the Modern Age (2007) menyebut bahwa siapapun yang diberi rahmat layaknya Khidr (QS. al-Kahfi [18]: 65), ilmu yang dimiliki akan tetap segar dan ‘hijau’. Sosok Khidr diumpamakan sebagai seorang yang mempunyai kemampuan melihat realitas dengan dua mata; eksternal dan internal.

Pengetahuannya tidak terbatas pada apa yang nampak benar, tetapi yang nyata benar. Kisah perjalanannya dengan Nabi Musa a.s. menunjukan bahwa atas rahmat Allah Swt., ia mengetahui apa yang belum diketahui oleh Musa a.s. Disebutkan bahwa Musa a.s. tidak akan mampu bersabar bersamanya. Wa kaifa tashbiru ‘alā mā lam tuẖith bihi khubrā (QS. al-Kahfi [18]: 68)

Pengetahuan Musa a.s. terhadap tindakan Khidr yang melubangi perahu, membunuh seorang anak muda, dan membangun sebuah dinding yang hampir roboh hanyalah pengetahuan yang sifatnya eksternal. Yang tampak oleh Musa a.s. adalah bahwa tindakan Khidr salah. Sedangkan pengetahuan Khidr mengenai tiga peristiwa tersebut didasarkan pada apa yang nyata. Bukankah Khidr sudah mengingatkan bahwa Musa a.s. tidak akan mampu bersabar bersamanya?

Kisah tersebut mengandung beberapa pelajaran, di antaranya adalah apa yang secara empiris dan rasional terlihat benar, belum tentu nyata benarnya. Bagaimanapun, sifat indra dan akal itu terbatas. Yang lebih penting, proses mengetahui yang nyata tidaklah mudah. Bahkan Musa a.s. tidak mampu bersabar atasnya.

Yang Melihat dengan Satu Mata

Jika Khidr melihat realitas dengan dua mata, sebaliknya, Dajjal melihat hanya dengan satu mata (eksternal). Ciri mata Dajjal yang buta sebelah kanan ditafsirkan secara majazi sebagai ciri sifat dan sikap Dajjal yang selalu melihat realitas dengan hanya menggunakan satu mata.

Apa yang ditawarkan Dajjal dalam rupa sungai sebenarnya adalah api. Sedangkan yang ditawarkan dalam rupa api sebenarnya adalah sungai. Dajjal membolak-balikkan apa yang tampak benar dan apa yang nyata benar. Ia menawarkan cara pandang yang salah terhadap realitas.

Pengetahuan tentang realitas yang hanya didasarkan pada sumber empiris dan rasional tidak berarti bahwa ia nyata benarnya. Ia juga harus ditunjang dengan pengetahuan yang bersumber dari wahyu dan/atau intuisi. Tetapi seperti yang diingatkan Khidr terhadap Musa a.s., proses mengetahui terhadap apa yang nyata membutuhkan kesabaran.

Seperti Khidr, yang mampu mengetahui apa yang nyata adalah mereka yang diberi rahmat oleh Allah Swt. Mereka diberkahi nur Allah. Kemampuan yang tidak diberikan kepada sembarang orang, melainkan kepada mereka yang mengabdikan diri pada kebenaran.

Al-Haqqu min Rabbika. Kebenaran datangnya dari Allah Swt. Dan Allah Swt. telah berulang kali mengingatkan pada manusia untuk memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya untuk memahami ayat-ayat-Nya, baik ayat qauliyah, kauniyah maupun nafsiyah. Akan tetapi manusia adalah makhluk yang lebih suka berbantah-bantahan (QS. al-Kahfi [18]: 54).

Sirajuddin Bariqi
Sirajuddin Bariqi
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.