Proses pemilihan umum (Pemilu) 2019 menjadi perhatian penuh bangsa ini. Semua pihak yang terlibat, baik penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, dan masyarakat, sedang menunggu proses penghitungan suara.
Namun ditengah proses penantian, muncul persoalan dilapangan. Dugaan kecurangan, surat suara tercoblos, kotak suara terbakar, serta distribusi logistik yang lamban, belakangan ini banyak menghiasi pemberitaan terkait pemilu.
Secara umum, penyelenggaraan Pemilu 2019 berjalan secara aman, damai, dan lancar. Bahkan beberapa kepala negara di dunia secara langsung mengapresiasi suksesnya pemilu serentak di Indonesia. Meskipun demikian, dalam realitasnya masih ditemukan kerikil yang mengganggu jalan mulusnya pemilu. Hal tersebut sepatutnya harus diakui agar menjadi bahan evaluasi bagi semua pihak yang terlibat dalam perbaikan pemilu kedepan.
Narasi Kecurangan
Narasi dan persepsi kecurangan merupakan modus dari rencana atau desain untuk menciptakan kegaduhan pasca perhitungan suara atau penetapan hasil pemenang pemilu. Tujuan utama yang ingin dibangun dari narasi tersebut ialah merusak kepercayaan masyarakat (trustworthy).
Apabila kepercayaan publik terhadap integritas dan netralitas penyelenggara pemilu sudah pudar, maka dikhawatirkan ada upaya untuk mendelegitimasi hasil pemilu, sehingga akan semakin membuat kegaduhan politik semakin runyam, baik secara horizontal maupun vertikal.
Berdasarkan hasil studi dari Global Commision on Elections, Democracy, and Security (2012) bahwa salah satu tolak ukur suksesnya pemilu ialah menghasilkan legitimasi yang kuat bagi pemenangnya serta mempertahankan situasi politik yang kondusif pasca pemilu. Dengan demikian, munculnya keraguan dan ketidakpercayaan merupakan langkah yang dapat merusak profesionalitas penyelenggaraan pemilu.
Terlepas dari siapa yang salah dan benar, isu kecurangan yang terlanjur beredar merupakan kritik dan evaluasi perbaikan pemilu. Namun, jika ketidakpuasan tersebut disalurkan diluar prosedur dan koridor hukum, kita juga khawatir dapat menjadi ancaman stabilitas bagi keamanan negara. Sehingga diperlukan langkah dan upaya bijak untuk menegasikan narasi kecurangan tersebut.
Sebab sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menjamin berlangsungnya hidup berbangsa dan bernegara pasca pemilu. Siapapun pemenangnya, setiap warga negara harus mengakui dan menghormatinya. Kalaupun terjadi kecurangan dalam prosesnya, ada mekanisme konstitusional untuk mengatasi persoalan itu. Tentu saja bukan dengan berbuat gaduh atau menggeruduk KPU serta pemenang pemilu. Tapi justru mengikuti koridor hukum yang berlaku.
Upaya Meredam
Pertama, masyarakat harus cerdas menyikapi narasi kecurangan pemilu. Jika informasi tersebut diyakini keabsahannya, maka segera melapor kepada bawaslu atau instansi terkait lainnya agar segera diproses hukum. Namun yang terpenting, diperlukan upaya pengecekan informasi yang belum diyakini kebenarannya. Kedewasaan masyarakat melalui sikap kritis tersebut merupakan esensi demokrasi sebagai langkah menjaga kondusifitas pemilu.
Kedua, para kontestan dan elit politik yang terlibat dalam kompetisi pemilu harus menahan diri untuk tidak memperburuk situasi. Jika atmosfer panas yang tersaji saat ini semakin diperkeruh, maka hanya akan melukai prinsip fairplay dalam berdemokrasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Max Bader (2012), apabila aktor politik tidak menunjukkan kesediaan untuk menghentikannya, maka kekacauan sangat mungkin terjadi.
Ketiga, narasi kecurangan yang sudah menggurita seharusnya menjadi podium pembuktian integritas dan kinerja penyelenggara pemilu. Partisipasi politik publik yang cukup tinggi, diharapkan juga linier dengan tingginya netralitas DKPP, KPU, dan Bawaslu. Penyelenggara juga harus lebih pro aktif melayani masyarakat dalam memberikan informasi terpadu menjawab problematika pemilu. Karena jika narasi kecurangan itu dibiarkan, maka akan berbahaya bagi demokrasi dengan mosi tidak percaya terhadap hasil pemilu.