Lihatlah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, tengah merajut pembangunan di segala bidang lewat kekayaan sumber daya alam dan migasnya. Tentu, seiring dengan itu, Bojonegoro akan menghadapi banyak masalah dan ancaman.
Menurut M. Sachs dan Rosser, kelimpahan sumber daya alam tidak selalu dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Hal tersebut yang kemudian dikenal dengan Teori Kutukan Sumber Daya Alam (SDA).
Masalah sosial, lingkungan, dan budaya tentunya harus mampu dijawab oleh pemangku kebijakan bersama dengan seluruh lapisan masyarakat. Dan, pada tahun 2018 nanti, masyarakat Bojonegoro akan menjalankan suatu pesta demokrasi untuk memilih pemimpin baru yang harapannya dapat menjawab kutukan SDA tersebut.
Namun, di tengah panasnya marketing politik yang tengah melanda Bojonegoro oleh para calon bupati, pertanyaan sederhananya adalah sampai dimana calon bupati mampu menjawab kutukan SDA yang ada di Kabupaten Bojonegoro?
Kutukan SDA
Kutukan SDA atau yang biasa di kenal dengan resource curse seringkali hadir di negara atau daerah yang sedang berkembang. Melimpahnya suatu sumber daya di negara atau daerah berkembang justru menimbulkan berbagai masalah.
Di negara Afrika Selatan yang terkenal dengan istilah blood diamond, negara-negara Timur Tengah yang seringkali memperebutkan sumberdaya migas dengan kekuatan represif atau yang dikenal dengan Arab spring tentu menjadi contoh penting bagaimana konflik, bencana kemanusiaan, dan rendahnya pembangunan ekonomi justru terjadi di negara dengan SDA melimpah. Hal ini yang ditakutkan banyak akademisi di bidang ekonomi dan politik mengenai nasib Bojonegoro ke depan tentang menjawab tantangan dan ancaman tersebut.
Lebih jauh mengenai kutukan SDA, dalam teori kutukan SDA yang dikemukakan M. Sachs, Rosser, dan George Soros, terdapat 3 konsep dasar bahwa Bojonegoro akan menghadapi suatu tantangan rent-seeking (sewa/hutang tertutup), dutch disseas (kota mati) dan lemahnya institusi pemerintahan.
Sedikit menyinggung tentang teori kutukan SDA, Bojonegoro akan dihadapkan pada rent-seeking dengan asumsi pengelolaan sumber daya migas yang tidak murah dan memaksa pemerintah menarik investor seluas-luasnya atau meminjam dana dalam jumlah besar untuk pengelolaan migas. Hal ini tidak menjadi permasalahan bagi penghasilan penjualan migas dengan catatan harga minyak stabil.
Namun, sampai saat ini menurut hemat penulis belum ada indikator atau ketentuan men-stabilkan harga migas karena di pengaruhi banyak faktor eksternal seperti kesepakatan pergerakan harga migas dunia oleh OPEC dan faktor geopolitik-geostrategi bilateral Indonesia di mata dunia. Dengan kata lain, apabila produksi migas mencapai puncaknya tapi harga minyak sedang turun maka merujuk pada pepatah lokal Bojonegoro yaitu “Muspro” alias kerugian akibat biaya yang di keluarkan tidak sebanding dengan hutang atau return investasi di bayarkan.
Dutch disseas akan menjadi suatu kenyataan apabila tidak diimbangin dengan arah pembangunan jelas dari Negara atau daerah terkait. Pembangunan yang pesat di Kabupaten Bojonegoro seperti Hotel (Dewarna, Fave, Aston dsb), Tempat Hiburan (Go-Fun, Cineplex) dan infrastruktur pendukung migas seolah menjadi daya tarik tersendiri.
Semangat pembangunan tersebut selain menunjukkan Bojonegoro berdaya saing, juga penunjang penting bagi hadirnya investor, serta serapan tenaga kerja dalam jumlah besar yang hadir di Bojonegoro. Pemerintahan kabupaten Bojonegoro menyediakan berbagai macam infrastruktur menarik dan seringkali bernilai tinggi. Sebenarnya tidak hanya di dasarkan pada penunjang migas semata, melainkan harus di dasarkan pada semangat SDG’S (Sustainable Development Goals).
Pertanyaan sederhana, apabila migas yang mencapai masa afkir 10-15 mendatang, akan digunakan untuk apa hotel, tempat hiburan, dan penunjang migas yang saat ini dibangun? Hal inilah yang di sebut dengan dutch disseas atau kota mati yang dibangun dengan megah dan indah, namun sepi dan cenderung rawan kerugian.
Transformasi yang kian pesat di era kepemimpinan Bupati Suyoto yang sebentar lagi purna sebagai “Ayah” tentu membawa banyak dampak. Meningkatnya APBD dan IPM seringkali menjadi tolak ukur keberlangsungan pembangunan suatu daerah.
APBD Bojonegoro 2015 sebesar Rp 2,9 triliun naik menjadi Rp 3,58 triliun, atau mengalami lonjakan di atas 20 persen lebih. Tentu membawa kabar baik dan sejumlah pertanyaan sejalan dengan pembahasan kutukan SDA. APBD dan IPM memang meningkat, tapi kesenjangan kemiskinan semakin melebar.
Data BPS menunjukkan angka kemiskinan menurun, tetapi untuk indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan justru mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Indeks kedalaman kemiskinan, sebesar 2.01 persen (2015) menjadi 2.41 persen (2016). Sedangkan indeks keparahan kemiskinan, sebesar 0.42 persen (2015) menjadi 0.54 persen (2016). Hal ini banyak dinilai akademisi dan pengamat bahwa kemampuan daya beli sangat rendah, sehingga kesulitan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar (Martanto, 2017).
Adapun adanya peningkatan keparahan kemiskinan, menunjukkan kesenjangan di antara masyarakat miskin di Kabupaten Bojonegoro semakin naik. Artinya, distribusi pengeluaran dan kemampuan daya beli masyarakat miskin semakin tidak merata.
Beberapa paparan diatas harapannya menjadi suatu rujukan bagi masyarakat Bojonegoro untuk bersikap. Di beberapa pekan terakhir ini Kabupaten Bojonegoro tengah ramai dalam menyongsong pesta demokrasi pilkada serentak yang akan di selenggarakan 2018 nanti.
Banyaknya baliho berukuran “gajah”, poster, dan stiker terpampang foto bakal calon bupati Bojonegoro nantinya. Semangat memimpin Bojonegoro diramaikan oleh para calon dengan latar belakang bermacam-macam. Baik akademisi, pengusaha, politisi, tokoh agama bahkan Pesilat turut serta mengencarkan marketing politiknya.
Hal tersebut patut diapresiasi dari segi semangat membangun Bojonegoro. Namun, pertanyaan sederhana dari penulis, sampai di mana kapabilitas dan kemampuan para bakal calon bupati Bojonegoro mampu menjawab tantangan kutukan SDA? Jangan sampai semangat pembangunan tersebut hanya berdasar dari besaran APBD yang dapat dikelola pemangku kebijakan mendatang.
Perlunya pemahaman tentang good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel ditujukan bagi semua lapisan masyarakat agar ikut andil dalam pembangunan di Kabupaten Bojonegoro dan SDG’S wajib menjadi landasan dalam penentuan kebijakan jangka panjang dan berkesinambungan.
Selain itu, siapapun bupati terpilih nantinya tidak boleh terlena dengan kemenangan kecil tersebut. Program kabupaten yang bersentuhan dengan kemiskinan harus lebih ditingkatkan lagi. Begitu juga dana-dana desa harus didorong untuk meningkatkan ekonomi masyarakat miskin yang ada di desa. Terutama desa yang jadi basis kemiskinan dan daerah terdampak migas untuk meminimalisir terjadinya konflik.