Rabu, April 24, 2024

Melawan Dominasi Pengelolaan Hutan Perhutani

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Perhutani menguasai hampir seluruh wilayah hutan di Pulau Jawa dan Madura, selain mengelola hutan produksi juga diberikan wewenang untuk menjadi pelindung hutan lindung. Di bawah kelola Perhutani selama berpuluh-puluh tahun, telah terjadi konflik beragam antara masyarakat sekitar hutan dengan Perhutani. Hal tersebut didasarkan pada ketimpangan pengelolaan, yang berimbas pada tidak sejahteranya masyarakat Hutan.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, jika sebanyak 25.863 desa ada dalam dan sekitar kawasan hutan, 71% masyarakat bergantung hutan, dengan 10,2 juta jiwa masuk kategori miskin. Disamping itu menurut kajian dari Sudarsono Soedomo dan Hariadi Kartodiharjo yang merupakan ahli hutan dari IPB. Jumlah ketersediaan tegakan kayu endemik berjenis jati secara persisten mengalami degradasi, tercatat dari tahun 1998 hingga 2004.

Penurunan ketersediaan tegakan jati terpantau mencapai 21,0 juta m3 pada tahun 2005, lalu menurun menjadi 20,6 juta m3 pada tahun 2006, dan semakin pada tahun 2007 hanya tersisa 18,9 juta m3. Selain itu bersandar pada citra satelit Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI – Jawa Madura (BPKH XI, 2003), dari kawasan hutan yang dikelola Perhutani yang mencapai 2.442.101 Ha, terpantau hanya 67,8% yang berpenutupan hutan dan sekitar 32,2% area kelolanya tidak berpenutupan atau berupa lahan gundul.

Paradoks Pengelolaan 

Warga Desa Penanggungan yang tinggal di lereng Gunung Penanggungan berada dalam kawasan kelola Perhutani KPH Pasuruan Jawa Timur. Meski di Mojokerto pengelolaannya berada dalam wilayah Pasuruan, tidak hanya Penangguan saja, seluruh wilayah hutan di kecamatan Trawas dan Pacet berada dalam kelola KPH Pasuruan.

Sebagian masyarakat yang hidup di sekitar hutan, menganggap Perhutani sebagai pemilik wilayah hutan kerap melakukan hal-hal yang dianggap merugikan masyarakat sekitar hutan. Berdasarkan pengakuan dari komunitas tani Brenjonk, hal yang merugikan tersebut berupa pembagian panen pohon yang tidak adil, yakni sebesar 25% untuk warga dan 65% untuk Perhutani. Menurut masyarakat itu tidak adil, meski Perhutani memberikan bibit tetapi yang menanam dan merawat hingga besar adalah mereka.

Selain itu, persoalan sewa lahan. Banyak warga mengeluhkan bagi hasil yang tidak adil, terlebih prosentasenya yang berat sebelah. Namun sebagai pemangku kebijakan Perhutani mempuyai kekuatan yang lebih, sehingga warga selalu gagal dalam mencoba posisi yang setara. Beberapa kali warga melakukan reklaiming lahan, namun beberapa kali juga dirampas lagi.

Di sini ada anggapan jika masyarakat hutan yang menguasai areal hutan akan merusak lingkungan. Namun tidak seperti itu, masyarakat mempunyai wawasan yang cukup dalam aspek pemberdayaan serta kelestarian. Selain mereka menerapkan pertanian organik, mereka juga paham jika pohon atau jamaknya hutan merupakan vegetasi alamiah. Tentu, mereka mengerti jika hutan yang menghidupi mereka mulai dari air, udara yang bersih hingga terbebas dari banjir dan longsor. Jikalau Perhutani menuduh mereka merusak hutan, maka harus dikaji terlebih dahulu.

Seperti kasus 1999 ketika maraknya pembalakan liar, menurut warga mereka tidak ikut merusakan hutan jati di penanggungan. Kebanyakan ialah orang luar yang mereka sebut juragan, dilihat dari skala penebangan kayu dan kuantitas hasil tebang. Beberapa mengakui jika mereka ikut menikmati hasil tebang, namun tidak banyak karena hanya sebagai kuli angkat.

Problem berlarut-larut membuat mereka jenuh dari intimidasi dan tekanan. Mereka ingin menunjukan bahwa di bawah kendali warga hutan, pengelolaannya akan lebih baik bersama warga. Selain telah membuktikan dengan prinsip pertanian berwawasan lestari dan berdaya pulih, mereka terbukti mampu memahami fungsi hutan dan pentingnya menjaga hutan. Menurut mereka hutan, lahan dan air merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jikalau salah satu rusak makan akan mempengaruhi fungsi aspek lainnya.

Rekognisi Hak Atas Hutan

Kelompok tani Hutan Alas “Brenjonk” merupakan organsasi hutan yang berada di Desa Penanggungan. Menurut Cak Slamet (Cak istilah Jawa Timur untuk memanggil yang lebih tua) ketua kelompok tani Brenjonk, kelompok tani ini merupakan kumpulan masyarakat yang bergerak di bidang pertanian, khususnya konsep pertanian organik. Tujuan berdirinya kelompok tani ini sebagai bentuk wadah gerak dan pemberdayaan masyarakat tani hutan. Terlebih untuk warga desa yang mayoritas merupakan petani yang menggunakan lahan hutan.

Mengapa masyarakat memilih konsep pertanian organik sebagai corak pertanian mereka. Berdasarkan penuturan dari Cak Slamet, pertanian organik merupakan salah satu alternatif yang sesuai nilai-nilai masyarakat tani hutan. Selain itu juga merupakan usaha pemberdayaan berkelanjutan, karena pertanian organik lebih efisien, ramah lingkungan dan berdaya pulih. Sekaligus hasilnya lebih memuaskan, temasuk daya jualnya, sehingga untuk menaikan taraf ekonomi masyarakat tani hutan, pertanian organik menjadi salah satu alternatifnya.

Di dalam manajerialnya kelompok tani Brenjonk, Cak Slamet tidak sendirian, segala sesuatu dilakukan secara gotong royong dengan anggotan kelompok tani. Mulai dari pembibitan, pembuatan pupuk dan obat-obatan organik. Bahkan di kelompok tani ini mempunyai laboratorium untuk memproduksi pupuk dan obat. Ketika produksi hingga pasca produksi dilakukan secara kolektif, melibatkan segenap elemen anggota kelompok tani. Tidak hanya mengenalkan saja, namun juga langkah lanjut dari produksi hingga pasca produksi, salah satunya produk olahan hingga penjualan.

Selain pertanian organik kelompok tani Brenjonk juga mengembangkan pariwisata yang mereka namakan dengan wisata edukatif. Mereka menawarkan paket wisata yang syarat edukasi, menambah wawasan terkait pertanian organik. Selain itu tempat kelompok tani ini juga sering digunakan pelatihan, serta pendidikan terutama terkait pertanian.

Secara tata kelola kelompok tani Brenjonk telah menunjukan alternatif pengelolaan hutan, dengan berbasis partisispasi masyarakat yang bertujuan pemerataan kesejahteraan. Mereka ingin menunjukan jika masyarakat hutan mampu mengelola wilayah hutan, menyanggah anggapan masyarakat hutan sebagai biang kerok kerusakan. Mereka memiliki cara sesuai dengan kemampuan mereka terkait kognisi atas wilayah kelolanya.

Pertanian organik merupakan salah satu alternatif, sekaligus kontra wacana dalam upaya rekognisi atas wilayah kelola hutan. Semua dilakukan untuk menuju cita-cita hidup berkecukupan dengan alam, berprinsip pada tata kelola yang seimbang. Upaya demi upaya yang dilakukan oleh kelompok tani Brenjonk, merupakan salah satu bukti konkrit jika pertanian bisa berdampingan dengan kelestarian. Sekaligus menunjukan bahwa masyarakat sudah seharusnya diberikan hak kelola otonom atas wilayah kelolanya. Sebagai salah satu alternatif reforma agraria, diseminasi kesejahteraan dan tindakan preventif untuk menyelamatkan lingkungan hidup.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.