Jumat, April 19, 2024

Melampaui Stereotip ‘Cebong’ dan ‘Kampret’

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo

Hingar bingar pesta demokrasi pemilihan presiden 2019 telah kita menghiasi kehidupan kita di dunia nyata maupun dunia maya. Bagi sebagian orang bayang-bayang Pilpres 2014 yang penuh dengan pertarungan opini yang mengarah pada penyebaran kebencian bahkan hoax terutama di dunia maya menghantui kita semua.

Pengulangan situasi jelang Pilpres 2014 dengan Pilpres 2019 beralasan karena dua kontestan calon presiden yang bertarung masih sama yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Meskipun kini calon wakilnya berbeda.

Di dunia maya dan dunia nyata kelompok pendukung fanatik dua calon ini telah saling melabeli kelompok lain dengan pelabelan yang berbau ejekan. Ya, cebong untuk pendukung Joko Widodo dan kampret untuk pendukung Prabowo Subianto. Sampai detik ini, sebutan cebong dan kampret kembali menggema di dunia maya, dan bahkan olok-olok dalam perbincangan di dunia nyata.

Olok-olok ini rupanya telah berkembang menjadi semacam stereotip yang cenderung mengarah pada pembelahan yang kontradiktif. Stereotip dapat berkembang menjadi prasangka, kebencian bahkan tindak kekerasan jika tidak terkendali dengan baik. Stereotip pada umumnya dipahami sebagai gambaran subyektif mengenai kelompok masyarakat tertentu baik kategori politik, etnisitas dan kelompok sosial lain.

Manstead dan Hewstone (1996) dalam The Blackweel Encyclopedia of Social Psychology, mamandang stereotip sebagai:  Keyakinan-keyakinan tentang karakteristik seseorang (ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi) yang diterima sebagai suatu kebenaran kelompok sosial. Dalam praktek stereotip ini biasanya baik berupa pelabelan positif ataupun yang cenderung negatif.

Contoh stereotip yang kerap muncul bahkan di negara yang disebut paling demokratis misalnya Amerika Serikat bahwa orang kulit hitam (keturuan negro), cenderung kurang ajar. Contoh lain yang terkait dengan kesukuan misalnya orang Madura di beri label gampang marah dan cenderung kasar, orang jawa suka ‘berbasa-basi’ dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Bahkan bisa jadi gambaran ini dianggap sebagai kebenaran oleh sekelompok orang tertentu. Meskipun demikian stereotip baik positif ataupun negatif, bisa jadi seluruhnya benar, namun bisa jadi seluruhnya salah.

Dalam konteks dinamika Pilpres 2019 yang kini berkembang, stereotip cebong dan kampret  digunakan oleh setiap kelompok pendukung calon presiden sebagai alat untuk memperkuat solidaritas dan bagian dari pembangunan identitas bersama. Dan pada akhirnya stereotip ini kemudian digunakan untuk menjustifikasi tindakan yang layak diberlakukan pada kelompok yang berlawanan.

Penggunaan kata kampret pada awalnya digunakan untuk memberi label terhadap seseorang yang sering menggunakan logika terbalik dan kesukaan pada situasi gelap dan penuh kericuhan. Sementara cebong dikaitkan dengan hilangnya kritisisme dengan memuja berlebihan terhadap tokoh atau program yang didukung. Dua karakteristik yang sebenarnya sama-sama tidak boleh tumbuh dalam masyarakat yang menjunjung tinggi keadaban demokrasi.

 Dalam konteks hubungan antar keleompok pendukung Pilpres 2019 pemberian stereotype yang terus menerus dapat mengancam harmoni bersama. Stereotip dapat membangun hubungan sosial yang  penuh dilemma. Stereotip negatif pada akhirnya menimbulkan prasangka yang berujung pada diskriminasi, bahkan kekerasan terhadap kelompok sosial atau politik lain.

Kita pernah punya pengalaman buruk prasangka, baik dalam kaitan dengan ideologi politik, kesukuan dan pilihan-pilihan politik yang berujung pada diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok-kelompok tertentu. Dan situasi ini tentu sama sekali tidak kita inginkan, baik bagi kelompok yang melabeli lawan politiknya sebagai Kampret, ataupun sebaliknya kelompok yang mendapatkan label sebagai Cebong.

Meretas Jalan, Mengubur Stereotip 

 Potensi meruskan dari eksplotasi stereotip negatif cebong dan kampret yang berkembang antar kelompok dalam kontestasi Pilpres 2019 ini membuat semua pihak yang terkait dengan pesta demokrasi mestinya mengambil langkah-langkah cepat.

Hal ini penting untuk membangun peradaban politik dan hubungan sosial yang lebih sehat di masa yang akan datang. Pengembangan tema-tema kampanye baik untuk kampanye terbuka dan maupun untuk kampanye media sosial yang bebas stereotip dan cenderung mengundang propaganda kelompok atas dasar stereotip tersebut.

Tentu seorang pendukung maupun tim suksesnya harus berkomitmen untuk merancang materi kampanye yang lebih memberikan edukasi bagi masyarakat baik yang menyentuh aspek rasionalitas melalui program kandidat, maupun menyentuh aspek rasa komunitas masyarakat tanpa menyerang pihak lain.

Dalam soal metode kampanyemempertahankan metode kampanye yang lebih dialogis dan memberikan warna-warna psikologis yang cenderung dingin tanpa agitasi dan propaganda berlebihan.

Dimana calon pemilih dapat berdiskusi secara mendalam dengan calon ataupun tim suksesnya di rumah-rumah aspirasi melalui aktifitas lebih informal, seperti ngopi santai yang diselingi dialog yang dapat dikunjungi siapapun untuk saling berdiskusi.

Mengembangkan diskusi dengan format ngopi santai ini dapat diisi dengan materi-materi yang cenderung mengandung tema-tema kemanusiaan secara umum, kearifan lokal yang berisi keadaban yang diwariskan para pendahulu, misalnya pementasan kesenian tradisi, musik dan sejenisnya yang dapat menurunkan tensi perdebatan.

Aparatur negara yang terkait penyelenggaraan dengan pesta demokrasi misalnya (KPU dan Bawaslu) ini dapat memberikan layanan maksimal kepada setiap kelompok pendukung dapat bertindak seadil-adilnya, hingga meminimalisir munculnya konflik yang biasanya akan mengeraskan stereotip dan membakarnya menjadi kebencian. Dalam siklus waktu tertentu aparat dapat memfasilitasi para pendukung dapat memprogramkan kegiatan bersama yang bersifat sosial.

Ruang publik dan media sosial juga harus menjadi perhatian utama para tokoh agama, tokoh adat dan tokoh sosial lain. Ruang publik harus dijaga agar tetap sehat dengan berkomitmen mencegah politisasi ruang publik dan tempat-tempat yang harusnya terbebas dari politik praktis, misalnya masjid, sekolah sampai grup-grup media sosial yang dikelola oleh lembaga-lembaga keagamaan, sosial dan keagamaan dapat mendorong suasana lebih damai.

Khusus di media sosial ini, harus ada sekelompok masyarakat dalam hal ini para admin grup media sosial yang mendedikasikan diri untuk secara langsung menjadi pelopor untuk membangun perdebatan yang lebih mendidik, mencegah hoax, tentu mengurangi kecenderungan provokasi pada para warga grup dunia maya tersebut. Penggunaan labelling dengan panggilan berupa cebong dan kampret tentu harus ditanggalkan, dan digantikan pada stereotip yang memancarkan optimisme dan prasangka positif.

Mari bersama-sama merelakan cebong dan kampret hidup dihabitatnya sendiri di alam bebas, tanpa harus dibawa-bawa sebagai stereotip antar kelompok yang pada gilirannya dapat merugikan ikhtiar membangun budaya politik yang berkeadaban. Biarlah stereotip cebong dan kampret, menjadi narasi dalam sejarah sosial dimasa lalu, dan tak perlu kita reproduksi kembali di Pipres 2019 ini.

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.