America First Donald Trump, kembali menjadi salah satu tema perdebatan para politisi dan pengamat politik di Indonesia. Saat jargonya ‘Make America Great Again’ akan ditiru menjadi slogan ‘Indonesia First‘. Dalam konteks Indonesia, rupanya ada beberapa kalangan yang tertarik menjadikan slogan “Indonesia First” sebagai cara untuk membangkitkan semangat untuk menjadi yang terbaik, disegala bidang.
Namun jika melihat kondisi Indonesia, tentu berbeda dengan Amerika. Penggunaan slogan ini tidak mesti tepat. Amerika tidak sedang bermimpi. Amerika telah merasakan menjadi salah satu kekeuatan nomor wahid, kekuatan Adikuasa selama beberapa dasawarsa terakhir.
Meskipun kini muncul Tiongkok sebagai kekuatan baru yang mengancam superioritas mereka. Sementara kita, menjadi nomor wahid, barangkali itu salah satu mimpi besar. Tapi, jika kita mau realistik tentu terlalu banyak yang harus di perbaiki, sebelum bermimpi menjadi first, menjadi yang terbaik.
Meskipun demikian, kita melihat juga fakta bahwa dalam berbagai kesempatan peringatan hari besar nasional akhir-akhir ini, semangat untuk bangkit, dengan slogan Indonesia Hebat terus disosialisasikan kepada publik.
Meskipun demikian, diakui atau tidak, masyarakat kita tampak heroik dan berkobar kobar saat terlibat dalam momen momen peringatan hari besar nasional, kita lihat baru saja dalam hari santri dan hari Pahlawan. Dengan berbagai yel-yel, kita seolah nampak sebagai ‘pejuang sejati’, rela mati demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun semangat membara itu harus di ikuti oleh kerja keras dan kreativitas.
Pada masa kolonialisme, baik Belanda maupun Jepang, pengorbanan dalam bentuk tindakan nyata benar-benar tampak mata. Tidak berhenti pada slogan dan teriakan dalam rapat-rapat umum. Namun paradoks dengan situasi masa kini, slogan ini bertebaran dalam baliho, meme di media sosial, video kampanye yang tersebar di Youtube, sampai diucapkan dalam kampanye, baik oleh para calon legislatif maupun calon presiden.
Beberapa pertanyaan ini penting untuk kita jawab: apakah semboyan untuk bangkit melalui slogan Indonesia Hebat telah membawa perubahan yang baik menuju cita-cita sebagai bangsa yang disegani? Apakah nasionalisme telah menjadi energi perjuangan melawan kolonialisme, telah benar benar kita terapkan secara konsisten dan menjadi energa penggerak untuk kita mencapai kebesaran peradaban yang diakui dunia? Tentu pertanyaan itu harus dijawab dengan berbagai data.
Tentu kita juga menghargai sekelompok politisi yang berupaya mengadaptasi slogan ala Trump, yakni Make Indonesia Great Again, untuk slogan dalam kampanyenya. Namun untuk itu butuh pengorbanan yang harus benar-benar tampak nyata. Pengorbanan yang tidak hanya sloganistik.
Namun justru dapat dilihat dari rekam jejak para pengusuh jejak itu. Apakah para calon pelayan masyarakat yang kita pilih, sehari-harinya mampu hidup bersahaja dan sederhana layaknya pemimpin kita pada masa perjuangan merebut kemerdekaan? Atau justru sebaliknya, dengan rumah dan kendaraan mewah, dan aset yang besar dan kekayaan yang menggunung. Jadi slogan Make Indonesia Great Again, jika ingin disosialisasikan harus dimulai dengan keluar dari tradisi retorika kosong, bahkan cenderung olok-olok kepada sekelompok warga bangsa uang lain.
Nasionalisme kita dimasa kini harus diupayakan dengan melakukan dua upaya nyata dengan menjadikan seluruh slogan yang diusung para capres yakni Indonesia Hebat atau Indonesia Adil Makmur sebagai alat penggerak melakukan perlawanan terhadap penguasaan baru yang makin kompeks dan canggih.
Bisa jadi adalah kapitalisme neoliberal, yang berwujud dalam gaya hidup, budaya konsumeristik, sampai kebijakan nasional yang lebih berpihak pada kepentingan nasional. Kita harus beranjak lebih jauh dari heroisme semu dalam bentuk teriakan-teriakan, dengan melakukan tindakan yang bersifat kolektif.
Fakta Hibriditas dan Melampaui Nasionalisme Sloganistik
Generasi masa kini tentu tak bisa hanya di bumbui dengan jargon nasionalisme dan ke-Indonesia-an sebagai kata baku yang identik dengan perjuangan hidup dan mati. Nasionalisme dan Ke-Indonesiaan yang sloganistik yang selama ini kita lihat, adalah warisan orde lalu yang perlu di transformasikan secara lebih membumi.
Nasionalisme dan ke-Indonesiaan kita harus realistik dan tidak terpaku pada aspek-aspek literer, yuridis dan sloganistis semata. Karena kemampuan kita untuk keluar dari jebakan dimensi nasionalisme yang sloganistik dan selanjutnya membiasakan keIndonesiaan kita mencair dalam bentuk kedamaian dalam kebhinekaan kita.
Jika impian First Indonesia digelorakan, bukan berarti serta merta mengharamkan tampilnya identitas yang jamak. Indonesia Hebat, bukanlah bentuk sikap rasisme atas kelompok, ras dan agama tertentu. Sikap yang sering dialamatkan pada Trump dalam proyek Make America Great Again, tentu tidak bisa di copy paste dalam kondisi keIndonesiaan kita. .
Justru kita harus belajar banyak dari sejarah, kebangkitan Indonesia sesungguhnya disokong dari kebangkitan identitas-identitas lokalistik yang beragam. Pergerakan kemerdekaan dilahirkan oleh berbagai ras, suku dan agama. Bahkan ras yang dianggap asing, seperti Arab, China, dan bahkan kulit putih yang dapat kita lihat pada sosok EE Douwess Dekker.
Generasi Indonesia kini adalah yang dilahirkan dari interaksi lokalitas dan globalitas itu secara terus menerus. Slogan Indonesia Hebat atau Indonesia Adil Makmur yang di sosialisasikan para elite politik, sesungguhnya harus membangkitkan narasi kebangkitan lokus-lokus kecil, dan mampu merangkum berbagai hibriditas (percampuran-percampuran lokalitas dan globalitas) sebagai kekuatan utama.
Dengan demikian impian yang terus menerus di jajakan setiap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ini akan dapat melahirkan energi yang lebih kreatif dan dinamis. Lokalitas yang berkembang pesat secara bersama-sama, akan melahirkan kekuatan yang bersifat trans-lokal, yang tetap diikat oleh semangat Kebhinekaan.
Dengan ruang terbuka bagi kebangkitan lokalitas dalam berbagai kreasi oleh kelompok minoritas sekalipun, akan membuat bangsa ini menjadi organisme yang benar benar hidup, organisme yang bangkit. Sel-sel identitas lokal akan dapat bergerak berkembang biak dalam tubuh Ke-Indonesia-an tanpa harus di hantui oleh ancaman rasisme.