Kuartal III/2018 pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,1% jika dibandingkan dengan kuartal II/2018. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara kumulatif sampai dengan Bulan September 2018 (kuartal III) adalah sebesar 5,17%. Sementara kuartal II/2018 yakni sebesar 5,27%.
Faktor penopang utama bagi pertumbuhan ekonomi pada periode ini adalah konsumsi rumah tangga yang tumbuh 5,01% yoy di kuartal III 2018 atau dengan berkontribusi sebanyak 55,26% terhadap PDB. Angka ini meningkat dibandingkan dari realisasi kuartal III 2017 yang sebesar 4,93%.
Sisi investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 6,96% atau berkontribusi 32,12% terhadap PDB. konsumsi pemerintah tumbuh 6,28% atau berkontribusi 8,70% terhadap PDB. Kinerja ekspor yang mengalami pertumbuhan 7,52% atau berkontribusi 22,14% pada PDB. Namun masih kalah dari pertumbuhan impor yang sebesar 14,08% atau bekontribusi -22,81 persen pada PDB. Menyumbang terjadinya defisit sehingga mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi.
Faktor lain adalah kontribusi dari pertumbuhan lapangan usaha khususnya industri pengolahan yang menyumbang 19,88% dari PDB. Kemudian industri batu bara dan pengilangan migas turun sebesar 1,63%, dan industri non migas naik 5,01%. Jasa Perusahaan berkontribusi 1,77%, industri Informasi dan Komunikasi berkontribusi sebesar 3,75%.
Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh komponen pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani sektor rumah tangga (PK-LNRT) sebesar 8,54 persen. Angka ini kurang signifikan pasalnya hanya menyumbang 1,19% terhadap PDB.
Meskipun mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi jika dibanding kuartal II/2018, namun angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17% tentunya cukup mengembirakan, ditengah volatilitas nilai tukar rupiah yang memiliki trend melemah. Serta defisit neraca perdagangan Indonesia yang sama-sama memiliki trend defisit.
Simak saja respon pasar dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merespon secara positif angka pertumbuhan ekonomi nasional. Dimana IHSG pada langsung menguat menguat 0,01% sesaat setelah pengumuman resmi BPS mengenai pertumbuhan ekonomi kuartal III/2018. Padahal sebelumnya merosot sampai zona 0,11%.
Meskipun demikian, pelambatan angka pertumbuhan ekonomi kuartal III/2018 jika dibandingkan dengan kuartal II/2018 harus menjadi perhatian serius. Pasalnya volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, serta perang dagang AS-China yang berdampak langsung terhadap perekonomian global masih menghantui kinerja perekonomian nasional.
Belum lagi sektor investasi yang sering menjadi salah satu andalan untuk mendongkrak kinerja perekonomian. Data BPKM kuartal III/2018, investasi juga mengalami penurunan sebesar 1,6% jika dibandingkan dengan kuartal III tahun 2017. Dengan total investasi adalah sebesar Rp 173,8 triliun.
Dari jumlah tersebut porsi penanaman modal asing (FDI) tercatat sebesar Rp 89,1 triliun atau turun 20,2% dibandingkan pada periode yang sama tahun 2017 yang tercatat sebesar Rp 111,7 triliun. Sementara penanaman modal dalam negeri naik menjadi Rp 84,7 triliun atau 30,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni sebesar Rp 64,9 triliun.
Masalah-masalah fundamental perekonomian nasional saat ini memang masih cukup rentan terhadap hal-hal tersebut di atas. Misalnya kinerja ekspor migas dan non migas, maupun tren peningkatan impor khususnya migas yang terus meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi dalam negeri.
Belum lagi masalah pengangguran dimana BPS menyebutkan bahwa angka pengangguran terbuka (TPT) adalah sebesat 5,34% atau setara dengan 7,001 juta jiwa dari 131,01 juta jiwa angkatan kerja. Inflasi juga masih menjadi salah satu persoalan utama. Inflasi Bulan Oktober memang cukup kecil, yakni 0,28%, namun inflasi secara komulatif yakni dari tahun kalender Januari-Oktober adalah sebesar 2,22% dan inflasi tahun ke tahun itu sebesar 3,16%.
Oleh sebab itu, dalam rangka mendorong kembali angka pertumbuhan ekonomi nasional khususnya sampai dengan akhir tahun 2018 (kuartal IV/2018), pemerintah harus fokus memperkuat perekonomian di luar Pulau Jawa. Gencarnya pemerintahan Jokowi-JK yang membangun infrastruktur di luar Pulau Jawa memang belum berdampak signifikan terhadap perekonomian dalam jangka pendek. Sehingga memerlukan strategi lain untuk memperkuat perekonomian luar Jawa sebagai strategi mengembalikan angka pertumbuhan ekonomi agar terus mengalami pertumbuhan.
Data BPS memang menyebutkan bahwa pulau Jawa berkontribusi sebesar 58,57% (tumbuh 5,74%), Pulau Sumatera tumbuh 4,72% (dengan share 21,53%), Kalimantan sebesar 3,45% (dengan share 8,07%), Pulau Sulawesi tumbuh 6,74% (dengan share 6,28%), Bali dan Nusa Tenggara tumbuh minus 0,65% (dengan sharenya 3,04%), Maluku dan Papua tumbuh 6,87% (dengan share 2,51%).
Untuk mempercepat proses pertumbuhan ekonomi di luar Pulau Jawa, beberapa strategi yang bisa dilakukan adalah dengan ; pertama, membuat kebijakan spasial ekonomi di daerah-daerah yang terintegrasi dengan infrastruktur nasional yang sedang dibangun dan dikembangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Sehingga diharapkan akan muncul pusat-pusat pertumbuhan baru di tiap-tiap daerah yang beririsan langsung dengan potensi lokal masing-masing daerah. Kebijakan ini juga akan berdampak pada rendahnya biaya ekonomi akibat pemangkasan jalur distribusi, memangkas rente ekonomi, serta dapat menjadi daya tarik usaha baik kapitalisasi dari usaha yag sudah ada maupun daya tarik investasi baru dalam rangka Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) bagi tiap-tiap daerah.
Kedua, mengunakan instrumen fiskal yakni dengan mengunakan dana desa sebagai stimulus untuk mendorong spasial ekonomi pedesaan. Hal ini dilakukan dengan diawali dari studi mengenai mapping skala ekonomi pedesaan dari semua desa yang ada di Indonesia khsusnya di luar Pulau Jawa yang tentunya jumlahnya auh lebih banyak jika dibandingkan dengan desa-desa yang tersebar di Pulau Jawa. Outputnya adalah clusterisasi pedesaan berbasis potensi. Seperti desa wisata, desa pertanian, desa nelayan, serta cluster-claster yang lainnya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh desa tersebut.
Ketiga, pemerintah kembali mendorong kemandirian nasional sebagai penopang utama perekonomian nasional, yakni dengan kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan kedaulatan ekonomi, yang semuanya berbasis potensi-potensi nasional. Hal ini penting, pasalnya geo-ekonomi dan perang dagang AS-China cukup signifikan mempengaruhi perekonomian nasional. Dengan kemandirian, maka kondisi perekonomian global, tidak akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian dalam negeri, khsususnya jika sudah tercipta kemandirian pangan dan energi.
Terakhir, yang tidak kalah penting adalah terkait dengan stabilitas nasional khususnya stabilitas politik di tahun politik. Memberikan jaminan bagi stabilitas politik nasional khususnya bagi para investor (PMA maupun PMDN) menjadi penting dalam rangka menahan aliran dana keluar negeri, termasuk sebagai bagian integral dari mitigasi pemerintah terhadap resiko-resiko ekonomi yang berpotensi terjadi di tahun politik.