Ada kegamangan yang terjadi tatkala pemikir politik dan sosial membahas bagaimana pemimpin yang baik dilahirkan. Sebagian besar sarjana Barat yang hari ini menjadi kiblat pemikiran cenderung mengedepankan unsur matter (raga dan benda). Dengan kata lain, mereka mendegradasikan unsur roh (spirit) dalam kepemimpinan. Pengabaian unsur roh telah memberi kesan bahwa kepemimpinan hanya terbatas pada aspek duniawi (Khalif Muammar A, 2016).
Berbanding terbalik dengan pandangan Raja Ali Haji. Menurut beliau, keduanya harus dilihat sebagai unsur yang saling mempengaruhi. Bahkan unsur roh semestinya diletakkan lebih tinggi. Baginya, capaian luaran bergantung pada capaian batiniah (hati). Artinya, falsafah moral akan menentukan hasil akhir dari setiap tindakan dan kebijakan yang dibuat oleh pemimpin.
Pemimpin tidak lain adalah sebagai cerminan. Ia menjadi imam yang selayaknya memberi teladan. Ia pun merepresentasikan seorang sultan yang terpilih atas legitimasi rakyatnya untuk memimpin sebuah negeri menuju kemakmuran. Bahkan pada saat bersamaan, pemimpin merupakan representasi khalifah yang menjadi “wakil Tuhan” untuk membumikan syariat Islam dan risalah kenabian agar tercapainya keadilan.
Inilah hakikat pemimpin sebagaimana dinukilkan Raja Ali Haji dalam Thamarat Al-Muhimmah—salah satu karya agung yang membahas politik, pemerintahan, dan hukum ketatanegaraan. Jika ditelaah, jelaslah pemikirannya tidak terlepas dari falsafah moral yang bersandar pada ajaran Islam (Sucipta & Pambudi. S, 2019). Hal ini disebabkan kondisi sosio-kultural yang ada pada saat itu. Di mana beliau hidup pada masa Kerajaan Riau-Lingga yang notabene menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam di alam Melayu.
Pemimpin yang Baik Lahir dari Kejujuran
Dalam usaha untuk melahirkan pemimpin yang baik, seorang pemimpin harus berpegang teguh pada prinsip kejujuran—atau yang disebut Raja Ali Haji (1886) dengan istilah “menyucikan diri dari kecelaan lidah.”
Di antara “kecelaan lidah” itu adalah suka berdusta, menyalahi janji, dan suka berkata keji. Ketidakmampuan pemimpin menghindari ketiganya niscaya mendatangkan mudharat bagi diri dan orang yang dipimpinnya. Pada gilirannya menyebabkan kebinasaan pada negeri yang ada di bawah kuasanya.
Secara filosofis, dapat dipahami, kejujuran menandakan kesepaduan antara perkataan dengan perbuatan. Lewat kejujuran pula, kemuliaan diri dan kepercayaan orang lain akan meningkat. Tak ayal, Raja Ali Haji mengumpamakan pemimpin yang jujur layaknya kebun bunga yang harum semerbak dan diliputi oleh nilai estetik. Harum dan keindahannya itu akan membuat orang yang di dekatnya merasa nyaman dan tentram.
Jika ditafsirkan secara argumentum a contrario, maka pemimpin yang “kecelaan lidahnya” akan menghilangkan nilai estetik dan harum semerbak pada kebun bunga tadi. Ia diibaratkan kebun bunga yang berubah menjadi tempat membuang najis. Sulit membayangkan, manakala tempat yang tadinya indah dan harum berganti menjadi kotor dan busuk. Terlebih perkara najis merupakan perkara yang harus dihindari.
Begitulah gaya santun nan tegas dari Raja Ali Haji dalam mewanti-wanti pemimpin. Kendatipun tidak menggunakan frasa yang agresif, setiap tuturnya senantiasa menyimpan makna yang mendalam.
Sejatinya beliau ingin menegaskan, bahwa fondasi kepemimpinan akan goyah jika tidak dilandasi prinsip kejujuran. Pada dasarnya, pemimpin yang tidak jujur mengakibatkan sistem menjadi tergerus dan mengalami disorientasi. Alhasil, segala kebijakan yang diambil cenderung bersifat manipulatif dan koruptif.
Buah pikiran Raja Ali Haji tersebut tampaknya sangat relevan dengan kondisi pemerintahan hari ini. Tidak sedikit kepala daerah yang menyalahgunakan kewenangan karena belum menempatkan moral kejujuran sebagai prioritas. Misalnya saja berkaitan kasus korupsi.
Setidaknya sejak tahun 2004-2019, terdapat 124 kepala daerah dijatuhi hukuman pidana akibat menilap uang rakyatnya (Jayani, 2019). Belum lagi berbicara terkait kasus yang berskala kecil, rasanya tidak cukup kolom opini ini menampung kasus-kasus tersebut.
Terlepas dari itu semua, pemikiran Raja Ali Haji memberikan ibrah berharga kepada kita semua. Bahwa menjadi pemimpin yang baik tidak cukup bermodalkan kecakapan dan kompetensi semata. Jauh lebih utama, harus menjadi imam, sultan, sekaligus khalifah yang berpijak pada prinsip-prinsip kejujuran. Jika berlaku sebaliknya, sebuah negeri hanya menjadi “lahan basah” bagi para desertir amanah.***