Kita semua sangat senang sampai memuji setinggi langit pasangan Markus-Kevin ketika berhasil menjadi juara di ajang bulutangkis dunia. Markus dan Kevin adalah dua atlet muda potensial keturunan Tionghoa yang selalu menjadi juara sehingga mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Kita bangga menjadi orang Indonesia ketika melihat aksi dan prestasi mereka yang sangat luar biasa.
Namun, bila masuk di ranah politik dan ekonomi, identitas Tionghoa masih menyimpan sejuta problem di Indonesia. Kita cenderung masih setengah hati mengakui nasionalisme dan komitmen kebangsaan saudara kita yang keturunan Tionghoa. Ketidaksukaan pada mereka sering berujung pada umpatan “sana baliklah ke negara asal nenek moyang kalian di Tiongkok.”
Tulisan ini akan berbicara tentang kasus Meiliana, seorang ibu keturunan Tionghoa dari Tanjung Balai Sumatera Utara, yang divonis 1,5 tahun penjara dengan tuduhan penistaan agama akibat mengeluhkan pengeras suara (TOA) di masjid depan rumahnya. Pada hari Jumat tanggal 22 Juli 2016, Meliana menyampaikan keluhannya dalam sebuah percakapan kecil dengan pemilik warung dekat rumahnya terkait bunyi TOA masjid depan rumahnya yang semakin besar dari biasanya.
Meliana mengakui bahwa ia merasa kurang nyaman dengan kebisingan bunyi TOA itu. Si pemilik warung kemudian menyampaikan keluhan Meiliana ke saudaranya dan itu ditafsirkan sebagai bentuk pelarangan azan. Berawal dari percakapan kecil, kasus Meiliana menggelinding menjadi besar dan melibatkan banyak pihak.
Beberapa hari kemudian, rumah Meiliana didatangi oleh para jamaah dan pengurus masjid untuk mengkonfirmasi keluhan Meiliana. Meiliana mengakui keluhannya terkait bunyi TOA masjid yang memekakkan telinganya, namun para jamaah masjid menafsirkan keluhan Meiliana itu sebagai bentuk pelarangan azan.
Setelah pertemuan di rumah Meliana terjadi, suami Meiliana mendatangi pengurus masjid untuk meminta maaf atas insiden yang menimpa istrinya. Meiliana dan suami kemudian dipanggil ke kantor lurah untuk mengikuti proses mediasi. Kantor lurah ternyata telah dipenuhi oleh massa yang ingin bertemu Meiliana. Karena mendapatkan ancaman dan intimidasi, Meiliana akhirnya dipindahkan ke kantor Polsek Tanjung Balai Selatan.
Di waktu yang sama, rumah Meiliana dibakar dan dirusak oleh sekelompok massa. Setelah membakar dan merusak rumah Meiliana, massa bergerak merusak beberapa vihara dan klenteng yang ada di Tanjung Balai sebagai bentuk balas dendam terhadap perilaku Meiliana yang dianggap telah menistakan Islam.
Untungnya, polisi sempat mengikuti massa perusak dan diam-diam menciduk 9 orang penjarah, sehingga ini menjadi pintu masuk untuk penyidikan dan penangkapan tersangka lainnya. Para pelaku pengrusakan berhasil ditangkap, namun sayangnya Pengadilan Negeri Kota Tanjung Balai hanya memberikan vonis yang ringan 1-4 bulan kepada para provokator, perusak rumah ibadah, dan juga penjarah tersebut.
Awalnya, tak ada pihak yang ingin melaporkan kasus Meiliana, namun adanya desakan terus menerus dari berbagai kelompok Islam dan juga adanya fatwa penistaan agama oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), membuat Meiliana akhirnya ditetapkan menjadi tersangka oleh kepolisian pada Maret 2017 dan dijerat dengan tindak pidana penodaan agama, pasal 156 subsider 156 a KUHP.
Penulis disini tidak ingin membahas lebih jauh kronologis Meliana yang mengkritik TOA yang kemudian ditafsirkan sebagai tindakan pelarangan azan. Namun ada persoalan serius yang harus kita pecahkan bersama di masa mendatang terkait soal penistaan agama dan juga identitas ketionghoaan.
Pertama, Pasal 156a KUHP yang kerap menjadi perangkat hukum untuk memenjarakan para pelaku penodaan agama tidak boleh dibaca terpisah dengan UU No.1/ PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Pada awalnya pasal KUHP hanya mencantumkan pasal 156. Pasal 156a baru diadakan dalam pasal KUHP setelah dikeluarkannya UU No.1/ PNPS 1965 oleh Presiden Soekarno. UU No.1/ PNPS 1965 muncul untuk mengakomodir permintaan dari organisasi Islam yang ingin melarang aliran kepercayaan karena dianggap bisa menodai agama yang ada di Indonesia.
Pasal 156a KUHP sendiri menyinggung tentang tidak diperbolehkannya seseorang melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Untuk memahami lebih jauh substansi penodaan agama, maka kita perlu membaca bunyi pasal 1 UU No.1/ PNPS 1965 bahwa penodaan agama adalah “… menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Kata “permusuhan” yang ada di pasal KUHP 156a jelas masih sangat multitafsir karena tidak adanya parameter yang jelas tentang perbuatan yang mengajak pada permusuhan. Ketidakjelasan ini menjadi rawan dimanfaatkan dan dipolitisir oleh suatu pihak untuk mengkriminalisasi suatu individu atau kelompok yang tidak disenangi.
Dengan berdasarkan ketentuan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Meiliana tidak mengajak sama sekali pada permusuhan. Ia hanya mengeluhkan penggunaan TOA yang volumenya dianggap sudah berlebihan.
Meiliana juga tidak melakukan aksi penodaan agama sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 1 UU No.1/ PNPS 1965 karena ia tidak menggunakan dukungan umum dan juga tidak menyampaikan perasaannya di muka umum. Ia tidak melakukan penafsiran terhadap agama dan juga tidak melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan agama Islam.
Meliana hanya menyampaikan keluhannya sebagai individu dengan beberapa orang dalam sebuah percakapan kecil. Keluhan yang dilakukan Meiliana terhadap bunyi TOA murni bersifat pribadi dan tidak melibatkan masyarakat umum.
Ditinjau dari sudut pandang Islam, TOA sendiri adalah sesuatu yang bersifat profan alias bid’ah, yang tidak ada di zaman Rasulullah. TOA adalah produk modern yang diadopsi Islam untuk kepentingan syiar.
Namun bila tidak digunakan secara bijak, TOA dapat berpotensi mengganggu kehidupan sosial khususnya pada masyarakat yang plural. Sebenarnya bila ingin bijak, tanpa suara TOA yang keras pun, umat Islam sebenarnya sudah dapat mengakses azan setiap masuk waktu salat di telepon genggam mereka.
Azan sendiri adalah seruan panggilan untuk salat yang hukumnya sunnah. Dalam kasus TOA, kita tidak perlu menunjukkan ego kita sebagai mayoritas. Justru yang harus kita lakukan di tengah realitas masyarakat yang plural adalah mengendalikan ego, menjadi pengayom bagi masyarakat, sekaligus menciptakan rasa aman dan nyaman, karena pada hakikatnya Islam adalah ajaran yang rahmatan lil alamin.
Kedua, unsur penegak hukum kita cenderung lebih tunduk mengikuti tekanan massa dalam mengambil sebuah keputusan ketimbang melihat sebuah persoalan secara jernih dan komprehensif terkait kasus penodaan agama.
Hampir seluruh kasus penodaan agama yang terjadi di Indonesia khususnya terhadap Islam selalu berakhir dengan hukuman penjara, padahal pasal penodaan agama itu sendiri adalah pasal karet yang dapat dimanfaatkan oleh suatu pihak untuk mengkriminalisasi suatu individu atau kelompok yang tidak disenangi.
Ketiga, kebencian terhadap etnis Tionghoa ternyata masih belum tuntas di negeri ini. Tionghoa masih menjadi momok yang menjijikkan bagi sebagian warga Indonesia. Proses persidangan Meiliana menjadi semakin pelik karena di waktu yang hampir bersamaan, kebencian terhadap Tionghoa juga meningkat tajam akibat adanya kasus Al-Maidah Ahok yang penuh dengan sandiwara dan intrik politik.
Narasi tentang Tionghoa sebagai parasit bagi bangsa Indonesia masih saja dipelihara dan intensitasnya semakin meningkat tatkala kita merasa kalah bersaing secara ekonomi dengan para keturunan etnis Tionghoa tersebut.
Karena itu, keberadaan pasal 156a KUHP tetap harus ditinjau kembali oleh pemerintah karena pasal ini sangat rawan disalahgunakan. Perlu juga ada sudut pandang yang lebih baru dan segar terhadap penulisan sejarah kita khususnya yang terkait dengan Tionghoa. Kita sudah dua puluh tahun merdeka dari Orde Baru yang rasis dan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, tetapi mengapa kita umumnya masih bermental Orde Baru?