Aktivitas dengan media sosial sudah menjadi hal umum yang dilakukan masyarakat di era ponsel pintar saat ini. Jumlah pengguna media sosial di dunia pun makin bertambah. Pada 2020 diperkirakan akan ada 3 miliar pengguna media sosial atau kurang dari separuh jumlah manusia di Dunia.
Indonesia sendiri menjadi salah satu Negara, dengan jumlah pengguna media sosial yang tinggi. Sebuah riset tahun 2018 menyebutkan dari total penduduk Indonesia 265,4 jiwa, pengguna aktif media sosial mencapai 130 juta.
Penetrasi masif media sosial tidak terlepas dari manfaatnya. Mulai dari hubungan pertemanan, ekspresi diri, curahan pendapat, hingga memperoleh berita. Sayangnya, di tengah manfaat positif itu, keberadaan media sosial juga menyimpan sisi negarif.
Sudah lebih dari satu tahun perang terhadap berita bohong digaungkan, semakin gencar kampanye anti-hoax, faktanya makin banyak saja jumlah berita bohong yang “gentayangan” di media sosial.
Produksi jumlah berita di media sosial secara jumlah terbilang tinggi. Media sosial memungkinkan semua orang selama dirinya memiliki aksek terhadap internet, seketuka itu pula mereka tidak hanya sebagai follower, tapi juga bisa menjadi editor berita.
Bahayanya, tak semua pembuat berita di media sosial itu punya kompetensi jurnalistik, tidak sedikit berita dibuat sengaja untuk menimbulkan kekacauan. Sejumlah kasus diusut polisi, pernah di sidang bahkan ada yang sudah masuk penjara, karena membuat dan menyebar hoax. Catatan kasus hukum itu membuktikan bahwa kejahatan di medsos marak, kejahatan-kejahatan baru lahir seiring tumbuhnya pengguna media sosial.
Dari sisi ekonomi, media sosial melahirkan kesemptan bagi pelaku usaha untuk lebih cepat menjangkau konsumen. Media sosial bahkan disebut-sebut telah mengancam keberadaan media arus utama dalam urusan “lapak” iklan. Bukan hanya perusahaan-perusahaan besar yang bermain, perseorangan bermunculan menjadi endoser.
UMKM tumbuh memanfaatkan media sosial untuk meraih untung di tengah persaingan ekonomi yang ketat saat ini. Sejatinya, lahirnya media sosial membawa dampak positif jika dilihat dari sisi ini. Sementara dari sisi sosial, media baru ini juga telah merubah kebiasan masyarakat, termasuk cara bertutur dan bergaul.
Media sosial banyak melahirkan gerakan-gerakan sosial yang positif dalam bentuk kepedulian dan kepekaan sosial. Disisi lain, media sosial juga telah melahirkan generasi “anti-sosial” karena lebih doyan menulis status daripada bertegur sapa di dunia nyata.
Lalu bagaimana dengan dampak politik, kita bisa rasakan sendiri bagaimana kencangnya isu politik dalam konten-konten yang dibuat di semua jenis media sosial belakangan ini. Bahkan selama masa kampanye pemilu hingga hari ini, isu politik tak ada habisnya dibahas pengguna media sosial, mulai dari dukungan, cacian hingga saling adu pendapat mereka yang berbeda pandangan.
Selain digunakan untuk pencitraan dan pamer keberhasilan. Media sosial juga menjadi media untuk mereduksi kepentingan politik, guna meraih kekuasaan, oleh elit yang hanya mementingkan kepentingan dirinya dan golongan. Kehawatiran pemerintah atas aktifitas di media sosial bukan tanpa alasan. Pembentukan tim hukum yang mengawasi ujaran tokoh di media sosial, telah mengukuhkan media sosial sebagai kekuatan baru yang patut diperhitungkan.
Gerakan massa di sejumlah negara disebut-sebut lahir karena kuatnya dorongan di media sosial. Media sosial, yang awalnya hanya digunakan sebagai sarana informasi dan komunikasi, berubah menjadi media perubahan yang sangat kuat. Revolusi Arab Spring misalnya, diamini sangat dipengaruhi oleh warga yang aktif menginisiasi gerakan politik, sehingga menyebarnya wacana tentang revolusi.
Jauh sebelum itu, pemanfaatan media sosial seperti twitter, facebook hingga youtube untuk skala yang lebih besar sebagai wadah menggalang massa untuk perlawanan politik terjadi pada 2010.
Masyarakat Tunisia tergerak hatinya saat ada aksi bunuh diri dengan cara membakar diri seorang pemuda penjual sayur yang barang dagangannya dijarah aparat polisi. Peran media sosial dalam menggerakkan massa juga pernah terjadi di Hong Kong, aksi protes dengan memanfaatkan media sosial terjadi pada 2014. Saat itu, masyarakat Hong Kong marah atas dihapuskannya pemilihan kepala Pemerintahan Hong Kong secara langsung.
Jika dilihat dari banyak kejadian, peristiwa demi peristiwa terjadi karena ada satu perasaan yang sama atas ketidakadilan, kekerasan kekuasaan yang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi negaranya, melanggar asas demokrasi, dan nilai kemanusiaan yang dianut. Lalu bagaimana dengan Indonesia hari ini?
Menkopolhukam Wiranto menaruh perhatian serius terhadap aktivitas para elit di media sosial. Pernyataan yang menjurus pada provokasi akan diminimalisir. Belakangan disinyalir, isu yang erat kaitannya dengan hasil pemilu jadi isu yang dikhawatirkan Pemerintah.
Penguatan Literasi Masyarakat
Indonesia menjadi negara dengan tingkat pengguna media sosial yang tinggi. Sayang, ini tidak sebanding dengan cermin pendidikan masyarakatnya. Indonesia masih menjadi negara tingkat minat baca yang rendah. Dengan minat baca yang “cetek,” seseorang akan mudah termakan informasi. Ini juga menjadi indikatornya kenapa hoax menjamur. Tinggal klik, seseorang dapat dengan mudahnya berbagi berita yang belum tentu dianggap benar. Media sosial telah melahirkan karakter instan penggunanya.
Sejak awal Saya mendukung ketegasan Pemerintah untuk melakukan penyaringan atas konten-konten negatif di media sosial, seperti pornografi, kekerasan fisik dan hoax. Bagaimana dengan pembentukan tim hukum, bentukan Menkopolhukam? Pembentukan tim hukum ini diharapkan tidak merduksi semangat kebebasan publik berpendapat yang saat ini tercermin dalam aktivitas media sosial.
Tim ini jangan berubah menjadi “hakim” pengganti pengadilan. Jika ada yang dianggap melanggar, bukankah sudah ada kepolisian sebagai penegak hukum, dan ada proses peradilan.
Menkopolhukam mengatakan tim ini dibentuk untuk menjerat mereka yang merongrong Pemerintahan. Bukankah itu sudah jelas aturaannya ada KUHP dan Undang-Undang terkait lain, begitupun dengan tindakan menghina dan merendahkan Presiden serta lembaga Negara, jawabannya adalah semua adalah kewenangan kepolisian.
Jangan sampai tim hukum yang berisi para akhli hukum itu mengurangi peran penegak hukum yang ada. Bukankah tidak sebaliknya, polisi yang didepan, dan jika diperlukan bisa bertanya pada para ahli hukum tersebut.
Disamping itu, Kemenkominfo juga harus menguatkan peranya melakukan filter dengan kewenangan dan teknokogi yang dimilikinya, sehingga media sosial tetap menjadi ranah yang sehat dan justru bisa dimanfaatkan untuk memudahkan komunikasi antar massa, memperkuat kolaborasi dalam membangun negeri.
Media sosial telah menjelma menjadi kekutan baru, entah itu dimanfaatkan untuk hal-hal positif atau sebaliknya. Indonesia sendiri sudah punya UU ITE yang cukup untuk membatasi hak seseorang berprilaku di media sosial. Self control atau kemampuan untuk melakukan pengawasan atas tingkah laku sendiri sangat dibutuhkan. Sudah banyak yang terjerat hukum. Bijak dan hati-hati dengan “jari jempol” saat beraktivitas di media sosial adalah solusi.