Kamis, Mei 2, 2024

Media Sosial dan Ancaman Kebhinnekaan Kita

Mohammad Takdir
Mohammad Takdir
Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen Fakultas Ushuluddin, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.

Kehadiran media sosial di tengah kemajuan teknologi informasi seolah menjadi potret kecanggihan manusia modern dalam menciptakan layanan inovatif yang bermanfaat bagi kelancaran relasi diantara individu manusia di berbagai belahan dunia. Pemanfaatan media sosial dalam konteks masa kini merupakan instrumen penting untuk mempermudah interaksi dan jaringan dalam berbagai aspek kehidupan. Manusia modern sekarang ini seolah tidak bisa lepas dari media sosial yang dipergunakan untuk berbagai kepentingan, baik kepentingan bisnis, media aspirasi, kritik, maupun kepentingan politik demi memperoleh dukungan dari rakyat.

Melalui media sosial, manusia dengan mudah berkomunikasi dengan sejawatnya tanpa hambatan apa pun. Bisa dikatakan, bahwa saat ini umat manusia telah sampai pada penjajahan global (global colonizing), sebuah petualangan jagat alam raya maya yang melampaui realitas. Dari kemajuan inilah, muncul berbagai harapan, euforia, dan optimisme dalam menyambut datangnya sebuah era baru (new age) yang tidak terbungkus oleh sekat-sekat geografis, ideologis, dan batasan-batasan normatif-etis dalam menjelajahi dunia realitas.

BACA JUGA: Ahok, Penistaan Agama, dan Demokrasi Kita

Fenomena merebaknya media sosial ini, oleh Erich Fromm (1977), disebut dengan hiperrealitas (hyperreality) atau sebuah realitas virtual (virtual reality). Perkembangan media sosial telah memungkinkan manusia hidup dalam dunia yang disebut ”desa global” (global village), sebuah dunia yang tak lebih besar dari layar kaca atau sebuah disket dengan perangkat lunaknya yang mampu mengkalkulasi, memproduksi, dan me-replay segala bentuk komunikasi media yang digunakan. Realitas virtual inilah, yang akan memberikan jaminan yang lebih dari sekadar ”nihilisme” atau ”realitas kosong” (vacum reality) untuk memenuhi hasrat utilitarian manusia. Utilitarianisme adalah suatu sikap yang menunjukkan bahwa kebenaran dan kesalahan ditentukan oleh banyaknya kesenangan dan ketidaksenangan yang diakibatkannya. (Astar Hadi, 2005).

Berkah atau Bencana?

Di tengah euforia kemajuan teknologi informasi, apakah media sosial yang digunakan manusia modern sekarang ini merupakan sebuah berkah atau bencana bagi terpeliharanya semangat toleransi dan keberagamaan di Indonesia? Pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh semakin derasnya isu-isu negatif di media sosial yang menyebarkan api kebencian dan permusuhan antar elemen bangsa. Salah satunya adalah isu SARA yang dijadikan sebagai instrumen untuk menjatuhkan lawan politik pada pemilihan kepala daerah.

Terjadinya konflik yang diakibatkan oleh pernyataan negatif di media sosial tentu saja membutuhkan refleksi kritis dari setiap individu manusia tentang kenyataan yang terlihat dalam setiap pemanfaaan media sosial oleh semua kalangan, baik dari kalangan muda maupun kalangan usia tua. Pada satu sisi, kehadiran media sosial yang begitu menjamur ini menjadi berkah tersendiri bagi setiap orang di berbagai belahan dunia untuk melakukan komunikasi secara bebas tanpa batas dengan siapa pun. Di sisi lain, media sosial banyak juga memberikan pengaruh negatif bagi terpeliharanya semangat toleransi antar umat beragama dan tegaknya rasa persatuan dan kesatuan antar sesama bangsa.

BACA JUGA: Anak Jokowi Dilaporkan: Polisi akan “Mendalami”

Saya mencermati bahwa kehadiran media sosial yang berkembang pesat di dunia maya bisa menjadi bencana yang sangat besar tegaknya nilai-nilai toleransi dalam bingkai kebhinnekaan. Fungsi media sosial yang semestinya dipergunakan untuk kebaikan, ternyata banyak disalahgunakan untuk menyuburkan api permusuhan, kejahatan virtual, sikap intoleran, dan diskriminasi atas nama agama. Salah satu bencana media sosial yang sering disalahgunakan adalah menyebarkan api permusuhan melalui isu SARA atau sentimen yang berbau sektarianisme dan primordialisme.

Harmoni Toleransi

Dugaan isu penistaan agama yang dilakukan Ahok menjadi cermin akan dampak negatif dari media sosial yang dipergunakan untuk menyebarkan api permusuhan dan sikap intoleran. Media sosial, seperti facebook, twitter, maupun instagram justru menjadi instrumen untuk mengobarkan semangat anti-toleransi yang disertai dengan nada kebencian dan permusuhan. Media sosial lebih banyak dimanfaatkan untuk menyebarkan isu-isu negatif yang bernada menjatuhkan dan menghina terhadap kelompok lain yang berbeda latar belakang, baik perbedaan suku, bahasa, budaya, maupun agama. Apalagi, isu-isu yang disebarkan selalu menyangkut masalah sentimen sektarianisme dan primordialisme yang mengusung api permusuhan antar umat beragama.

Media sosial pada hakikatnya hadir untuk menyebarkan virus kebaikan, tapi faktanya yang terjadi malah sebaliknya. Berbagai status di media sosial seringkali tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur dan keadaban bangsa. Pernyataan negatif di media sosial yang bernada intoleran dan diskriminasi seolah tidak pernah berhenti mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Media sosial seolah menjadi virus yang mematikan bagi terpeliharanya harmoni toleransi di Indonesia, yang semestinya menjadi instrumen untuk merayakan keberagaman (celebrate diversity) dengan penuh suka cita dan kebahagiaan. Akibatnya, hubungan antar agama pun menjadi sebuah taruhan untuk mengontrol isu-isu negatif yang berkembang di media sosial.

Sebagai bangsa yang majemuk, sudah saatnya segenap elemen bangsa dari level atas sampai bawah, mendorong pemanfaatan media sosial untuk menyebarkan virus kebaikan, terutama untuk terciptanya toleransi demi perayaan keberagaman yang menjadi simbol kebhinnekaan Indonesia. Media sosial harus menjadi instrumen untuk memberikan pendidikan politik yang beradab, santun, bermartabat, dan bermoral demi tegaknya iklim demokrasi yang menjunjung tinggi keberagaman Nusantara. Media sosial bukan lagi sebagai jalan untuk menyuburkan api permusuhan, tetapi menjadi media yang memberikan kecerdasan.

Dengan mengusung optimisme tinggi, kita semua berharap bahwa kehadiran media sosial bukan menjadi bencana bagi tegaknya harmoni antar sesama bangsa, melainkan bisa menjadi berkah yang membawa kemaslahatan bagi setiap orang. Sudah saatnya, pemikiran untuk menyuburkan api permusuhan dengan cara menyebarkan fitnah dan perilaku rasis tidak lagi menjadi tontonan yang memalukan di tengah iklim demokrasi yang sudah hampir matang. Media sosial harus dimanfaatkan untuk tujuan membangun budaya damai, saling menghormati, hidup berdampingan (koeksistensi), dan bertindak aktif tanpa kekerasan (active non-violence) yang mencerminkan diri sebagai bangsa yang luhur dan bermoral. Semoga!

BACA JUGA: Kasus Kaesang dan Delusi Tuduhan Penodaan Agama

Mohammad Takdir
Mohammad Takdir
Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen Fakultas Ushuluddin, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.