Rabu, November 20, 2024

Media Sosial dalam Pemilu

Fakhri Ilham
Fakhri Ilham
Penulis adalah S1 Ilmu Hadis UAD dan Kader IMM FAI UAD
- Advertisement -

Jagat media sosial telah pada Pemilu lalu, berbagai kubu telah menunjukkan strategi untuk memenangkan paslonnya melalui media sosial. Tidak tanggung-tanggung, berbagai efek yang timbul pun telah kita rasakan, dari mulai kurang harmonisnya rumah tangga, perseteruan dalam grup Whats App  sampai ketidak percayaan terhadap pakar.

Berbagai permasalahan tersebut tidak bisa kita lepas dari yang namanya media sosial, saat ini media sosial telah menjadi refrensi utama seseorang untuk mengetahui perkembangan dunia saat ini. Tidak bisa kita pungkiri, adanya media sosial pada akhirnya memiliki dampaknya sendiri baik secara negatif ataupun positif.

Dalam dampak positif misalnya, masyarakat lebih mudah mengakses informasi secara cepat. Begitu juga dampak negatifnya, dalam ranah anak-anak misalnya, kecanduan akibat bermain gadget bisa dibilang meningkat. Ini dibuktikan melalui survei bahwa pada 2021, 19,3% anak-anak di Indonesia kecanduan di Intenet.

Hal ini membuktikan bahwa permasalahan mengenai dampak negatif mengenai media sosial merupakan sebuah hal serius di Indonesia. Apalagi dalam situasi PEMILU saat ini, kita tidak bisa pungkiri bahwa situasi saat ini lebih banyak menunjukkan sisi negatif dari media sosial daripada positifnya. Bisa kita lihat dengan banyaknya ujaran kebencian yang terjadi sehingga ada sebagian orang yang memilih untuk menonaktifkan media sosialnya agar tidak terbawa arus nantinya.

Media Sosial sebagai Rusaknya Mental

Perceraian dalam PEMILU 2019 telah terjadi sebanyak 1.300 Pasutri, faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah perbedaan politik. Perbedaan yang terjadi lantaran beragamnya informasi yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya, bahkan KOMINFO mencatat sebanyak 3.356 Hoax telah merajalela internet pada PEMILU 2019.

Bahwa terjadinya Hoax dalam internet merupakan sebuah peringatan bagi kita untuk tidak selalu percaya dengan apa yang kita lihat dalam internet. Tingkatnya perceraian pada tahun 2019 merupakan sebuah pelajaran untuk kita untuk selalu memilah dan memilih informasi yang beredar di Internet. Karena bisa dibilang, Hoax yang terjadi dalam internet bisa memiliki dampak terhadap peradaban manusia itu sendiri.

Kendati demikian, penyebaran Hoax bukan hanya satu-satunya penyebab perceraian pada PEMILU 2019. Faktor lain penyebab perceraian itu sendiri dikarenakan terlalu fanatik dengan pilihan. Kita tahu bahwa mencintai terlalu berlebihan itu tidak baik, apalagi terlalu berlebihan terhadap seseorang yang hanya terjadi pada lima tahun sekali. Karena efek yang ditimbulkan jika terlalu fanatik adalah rentan terkena depresi, situasi ini disebut sebagai Election Stress Disorder.

Istilah ini dipopulerkan oleh Steven Stosny ketika Pilpres 2016 yang lalu, ketika banyaknya masyarakat yang mengeluh mengenai kesehatan mental. Terjadinya hal tersebut merupakan sebuah fenomena bahwa masyarakat masih belum siap dengan lalu lalang berita mengenai politik khususnya pemilu.

Fenomena seperti ini diharapkan tidak terjadi di Indonesia, apabila situasi tersebut terjadi di Indonesia maka akan lebih parah nantinya, bukan hanya perceraian melainkan kegilaan akan terjadi dimana-mana, cukup Gen Z saja yang sering mengalami gangguan kesehatan mental yang lain jangan.

Dengan efek yang cukup serius, masyarakat kita harus sadar bahwa dampak yang akan terjadi tidak main-main. Sebagai masyarakat setidaknya kita tahu bahwa perubahan penyebaran informasi dan pengetahuan memiliki masa nya tersendiri.

- Advertisement -

Dalam tradisinya, setidaknya ada beberapa faktor terjadinya penyebaran informasi dalam perkembangan sejarah melalui jenis komunikasinya. Ada komunikasi lisan, tulis, elektronik.

Komunikasi jenis lisan itu dilakukan antara kiai dan santri yang apabila kita mengutip Clifford Geertz, peran kiai disebut sebagai cultural broker . Istilah ini menampilkan kepada kita bahwa kiai menjadi satu-satunya agen yang menghubungkan santri dengan dunia luar. (Kuntowijoyo: 2018)

Sedangkan jenis komunikasi yang kedua adalah tulis, yaitu jenis komunikasi yang dilakukan antara guru dan murid. Keadaan ini terjadi ketika sudah banyaknya tulisan yang dijadikan alat komunikasi seperti buku-buku, surat-surat kabar didirikan dan sekolah-sekolah didirikan.

Jenis komunikasi yang terakhir adalah elektronik sehingga pola hubungan yang terjadi juga berubah. Dengan hadirnya elektronikpun pada akhirnya memunculkan turunan-turunan dalam penerapannya, seperti radio, televisi, smartphone, dll.

Dengan adanya berbagai alat yang dihasilkan melalui komunikasi jenis elektronik artinya elektronik ini semakin tidak bisa tertebak alat apalagi yang akan muncul sebagai alat komunikasi.

Dikarenakan kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya dengan elektronik atau tekenologi, maka yang harus kita perhatikan adalah kehati-hatian dalam menggunakannya. Bisa jadi, efek negatif yang terjadi semakin brutal dan sulit diantipasi.

Maka dalam hal ini pemerintah perlu turun tangan dengan menerapkan regulasi dalam penggunaan media sosial. Meskipun hal ini akan menjadi pro kontra, tetapi ini merupakan salah satu cara untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Kepakaran Justru Diabaikan

Bahaya media sosial yang sangat sulit diantisipasi adalah dengan maraknya matinya kepakaran. Dengan hadirnya fenomena tersebut menjadi pakar-pakar yang ada saat ini tidak didengar pendapatnya, justru yang didengar adalah orang-orang yang kita tidak tahu latar belakang pendidikannya dan justru malah yang kurang pendidikannya.

Fenomenan ini sesuai dengan yang disampaikan Tom Nichols dalam bukunya The Death Of Expertise. Nichlos mengatakan bahwa fenomena gejala modern adalah kurangnya masyarakat kepada ahli yang sesuai dengan bidangnya. Masyakarat lebih suka melihat sebuah informasi yang menguntungkan pribadinya sendiri, sehingga komentar dari ahli sangat diabaikan.

Kita bisa melihat pada beberapa minggu sebelum pemilihan dengan maraknya pernyataan sikap dari guru-guru besar di beberapa Universitas di Indonesia. Yang mana guru-guru besar menganggap demokrasi pada pemerintahan Jokowi menurun dan perlu diperbaiki.

Dengan hadirnya pernyataan sikap tersebut justru yang terjadi adalah munculnya stigma bahwa gerakan tersebut ditunggangi, seakan-akan gerakan tersebut bersifat politis dan lebih condong kepada paslon tertentu. Itulah bahaya stigma yang muncul ketika gerakan tersebut muncul.

Kesalehan Digital sebagai Suatu Solusi

Dengan maraknya keragaman perilaku media sosial yang sangat sulit diantisipasi, maka kesalehan digital sebagai sebuah solusi alternatif. Jika regulasi pemerintah pada akhirnya sulit diterapkan, maka tokoh-tokoh masyarakat harus bisa menunjukkan hal itu. Karena tidak bisa kita pungkiri bahwa tokoh masyarakat sampai saat ini masih dijadikan patron baik di masyarakat perdesaan ataupun perkotaan.

Hadirnya patron setidaknya bisa meredam dampak negatif yang ada di media sosial, influencer harus turut berperan untuk menjaga sikap mereka dalam bermedia sosial. Karena saat ini, sebahian tokoh-tokoh dunia maya kurang memperhatikan dampak-dampak yang dilakukan oleh mereka dalam bermedia sosial, sehingga pengikut atau masyarakat menjadi terpengaruh dengan aktivitas mereka, maka dari itu kesalehan digital diperlukan

Fakhri Ilham
Fakhri Ilham
Penulis adalah S1 Ilmu Hadis UAD dan Kader IMM FAI UAD
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.