Kemunculan berbagai jenis media sosial dalam dasawarsa terakhir sangat menarik minat publik dan bahkan juga sangat menyita waktu. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa rata-rata generasi kita memiliki lebih dari satu sosial media dan mampu menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menikmati fasilitas yang ditawarkan sosial media tersebut.
Di satu sisi kemunculan media sosial merupakan suatu kebutuhan di era digital dewasa ini. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkannya untuk berinteraksi dan saling berbagi secara cepat antar satu sama lain dengan jarak berjauhan, baik dengan format teks, suara ataupun video sangat mengagumkan.
Selain itu, media sosial juga digunakan sebagai wadah untuk mengekspresikan diri dalam bentuk idealnya, baik berupa gagasan-gagasan pemikiran, rangkaian aktivitas harian, ekspresi fisik dan sebagainya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa disisi lain media sosial juga menyimpan potensi yang dapat menyebabkan terjadinya konflik dan perpecahan.
Kebebasan untuk mengekspresikan diri di media sosial melalui fitur post, upload, share, dan comment kadang di maknai sebagai suatu hak untuk melakukan itu sebebas-bebasnya. Bebas untuk post, upload, share dan comment apapun bahkan tanpa pertimbangan matang akan manfaat dan mudharat yang bisa didapatkan.
Sebagai fasilitas ruang publik era digital hari ini, media sosial idealnya dapat menjadi ruang yang merekatkan antar anak bangsa, ruang pembelajaran bagi semua, ruang untuk bertukar gagasan kemajuan bersama, bukan sebaliknya.
Dalam beberapa waktu terakhir aktivitas saling hujat, caci-maki, ujaran kebecian dan hoaks yang terjadi di ruang publik digital melalui sosial media semakin mengkhawatirkan jika ditinjau dari tingkat kesadaran dan kedewasaan dalam menyikapi pelbagai perbedaan dan informasi berbeda yang dilemparkan ke ruang publik digital itu.
Karena aktivitas interaksi melalui sosial media, banyak generasi anak bangsa terbelah menjadi kelompok-kelompok berbeda yang berseberangan dan saling menjatuhkan, terjebak pada sikap saling klaim kebenaran dan keunggulan. Kondisi itu mengindikasikan semacam mulai menghilangnya etiket baik dalam berkomunikasi atau berinteraksi antar anak bangsa.
Media sosial melalui fitur-fitur yang dimilikinya memang memiliki potensi untuk memfasilitasi terjadinya interaksi dengan banyak orang secara sekaligus dan berkelanjutan. Meskipun diantara mereka sebenarnya tidak saling kenal mengenal.
Secara psikologis, tanpa adanya kesadaran untuk selalu berinteraksi dengan etiket baik kepada siapapun, maka masing-masing pihak yang berinteraksi dengan tidak saling kenal mengenal itu cenderung merasa bisa bebas untuk mengungkapkan apapun tanpa beban, entah pujian, entah caci-makian.
Meskipun memang, ada juga juga interaksi antar orang yang saling kenal mengenal (baca: tidak terlalu akrab) yang dilakukan di sosial media namun tanpa etiket yang baik. Kondisi ini secara tidak lansung mengisyaratkan adanya pemahaman perbedaan etiket dalam berinteraksi secara langsung (face to face) dengan berinteraksi via sosial media.
Era digital hari ini dan era ke depan, hal yang harus kita sadari bahwa dunia digital dengan fasilitas-fasilitas seperti media sosial yang ditawarkannya akan terus ada dan semakin di kembangkan.
Ke depan kita akan memasuki masyarakat 5.0, era dimana industri dikembangkan dengan berorientasi pada “melayani manusia” (human-centered technology), bukan menggantikan manusia dan seharusnya hal itu akan semakin meningkatkan keeratan dan kebersamaan antar anak banga.
Namun, jika kebebasan dan kemudahan yang diberikan itu tidak digunakan dengan pertimbangan matang dan etiket yang baik, maka media sosial yang kita kita miliki bukan lagi bisa menjadi media untuk bersosialisasi, meningkatkan interaksi dan mempererat silaturami, namun berpotensi menjadi sumber konflik sosial antar anak bangsa.
Media sosial idealnya digunakan sebagai sarana untuk menguatkan hubungan sosial antar anak bangsa. Kemampuannya untuk menjembatani jarak dan mengurai celah diantara padatnya aktivitas antar anak bangsa merupakan suatu potensi bagi penguatan aspek sosial kita, bukan sebaliknya.
Diterapkannya rambu-rambu tentang pelbagai aktivitas di dunia digital seperti body shaming, pencemaran nama baik, penghinaan, ujaran kebencian (hate speech) dan sebagainya ternyata tidak cukup efektif untuk membantu mewujudkan suasana yang kondusif di dunia digital, utamanya pada pola dan etiket dalam interaksi yang ditampilkan generasi anak bangsa melalui sosial media.
Bronfenbrenner (1981) dalam The Ecology of Human Development : Experiments by Nature and Design mengemukakan bahwa perkembangan manusia, utamanya unsur karakter tidak bisa dipisahkan lingkungan sekitarnya. Ada interaksi kuat antara pembangunan manusia dengan pembangunan kondisi lingkungan sekitarnya.
Untuk itu, Menurut hemat penulis, ikhtiar untuk mewujudkan generasi anak bangsa yang unggul dengan bernafaskan nilai-nilai Pancasila harus dilakukan melalui penanaman sejak dini tentang etiket hidup dan berinteraksi di dunia digital secara baik, utamanya melalui sarana sosial media dengan orang-orang yang dikenal dan tidak dikenal, baik secara personal maupun dengan banyak orang, dengan latar belakang beragam.
Ikhtiar tersebut juga harus diiringi dengan pengkondisian lingkungan sekitarnya, salah satunya adalah ruang-ruang publik digital, yang secara langsung dan tidak langsung harus melibatkan peran lembaga-lembaga pendidikan, masyarakat, keluarga dan teman sebaya.
Interaksi merupakan salah satu hak utama manusia sebagai makhluk sosial. Dengan berinteraksi manusia dapat saling berbagi untuk kebersamaan dan kemajuan. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan sosial media dalam memfasilitasi interaksi antar sesama di era digital dewasa ini merupakan suatu kebutuhan sekaligus keharusan.
Namun, tanpa didasari oleh kesadaran dan etiket baik dalam penggunaannya, interaksi yang dilakukan hanya akan berujung konflik dan perpecahan. Untuk itu, perlu kesadaran dan usaha bersama untuk mewujudkan suasana ruang publik yang kondusif bagi kebersamaan antar generasi dan kemajuan bangsa melalui interaksi baik via sosial media.
Wallahu a’lam bisshawab