Jumat, November 8, 2024

Media Cetak sebagai Simpul Perjuangan

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)
- Advertisement -

Pers merupakan alat untuk siapa saja yang ingin menyebarkan informasi, berita, maupun propaganda. Pers telah menjadi pilar dalam demokrasi yang berfungsi bisa sebagai pengimbang kekuasaan, maupun jadi corong pemerintah itu sendiri.

Bahkan di Indonesia, tidak jarang ketua partai memiliki media massanya sendiri, entah dalam bentuk saluran televisi, radio, atau media cetaknya masing-masing. Media massa itu berpihak.

Salah seorang kawan saya pernah menyampaikan bahwa media massa berpihak kepada kebenaran, adapun yang lainnya berujar bahwa media massa berpihak pada uang. Di era modern ini, uang bisa dikatakan adalah segalanya, uang merupakan kekuasaan yang sebenarnya di era materialisme ini. Para penguasa pasti memiliki penyokong dana nya masing-masing atau justru mereka sendiri adalah penguasa kapital sekaligus pemerintahan.

Dalam drama “Subversif” yang ditulis oleh Faiza Mardzoeki (yang merupakan adaptasi dari karya Henrik Ibsen) juga memasukkan unsur media massa bernama Neo-Kencana Pos, sebuah surat kabar yang kelihatannya liberal-progresif namun pada akhirnya terbungkam karena permasalahan pendanaan. Pada akhirnya mereka menghamba kepada kekuasaan demi mempertahankan aliran dana yang membuat surat kabar itu tetap berdiri dengan “keyakinannya” yang fana.

Cukup mungkin pembahasan terkait surat kabar, mari kita masuk pada figur Haji Misbach. Seorang muslim yang baik namun memiliki pandangan yang sangat komunis. Figurnya seperti terlibas oleh zaman karena kedekatannya dengan pemikiran dengan simbol palu dan arit tersebut.

Hal ini merupakan keberhasilan Orde Baru dalam membersihkan komunisme, PKI, dan semua figurnya demi melanggengkan kekuasaan. Kemenangan sebenarnya adalah menghilangkan kebebasan dan merenggut warisan pemikiran.

Haji Misbach adalah seorang kolumnis sekaligus propagandis yang hebat, yang memilih Medan Moeslimin sebagai alat untuk menyebar propaganda nya. Buku ini adalah himpunan dari tulisan-tulisan si Haji Merah di surat kabar tersebut. Seperti apa isinya? Mari simak resensinya sebagai berikut.

Diawali dengan sebuah pengantar dari Yus Pramudya Jati, buku ini juga membeberkan siapa itu Haji Misbach, bagaimana sosok dan pemikirannya. Pengantar dari Yus ini sangat berguna bagi para pembaca yang masih sangat awam dengan pemikiran Haji Misbach, tidak jarang orang tidak mau membaca tulisan-tulisannya karena halauan komunis yang dipercayai oleh Misbach, namun dalam sesosok komunis itu ada istilah yang tepat untuk menggambarkannya ”More than Meets the Eye” (seperti Transformers).

Esai pertama disampaikan dalam hanacaraka (jawa kuna), berlanjut kepada esai kedua yang menceritakan tentang keluarnya dua orang dari Medan Moeslimin, M. Soewarno dan R. Trihardono sebagai redaktur dan kepala redaktur surat kabar tersebut. Sebuah esai perpisahan yang dipersembahkan oleh Misbach kepada keduanya.

Esai lainnya, “Seruan Kita” memuat tulisan yang cukup panjang. Esai itu seperti Misbach sedang berdakwah untuk berpihak kepada orang-orang miskin sekaligus mengajak kita untuk berefleksi sebagai muslim yang terkadang lalai dalam menjalankan kewajibannya, menumpuk baik ilmu maupun harta tanpa membaginya kepada yang membutuhkan. Nuansa seorang muslim yang komunis sangat sarat dalam esai ini, keberpihakan kepada yang lemah dan tertindas.

- Advertisement -

Meskipun gayanya berapi-api namun tetap si Haji Merah tidak lupa mengalirkan semua pandangan para pembacanya dengan mencontoh tindakan junjungannya: Nabi Muhammad S.A.W dalam membebaskan orang lain dari kesengsaraan.

Dalam himpunan tulisan ini juga memuat karya Misbach dan Harsoloemakso yang meminta kepada pemerintah Belanda untuk membentuk sebuah Raad Ulama (Dewan Ulama’) yang mengatur permasalahan umat Islam di Hindia Belanda, meminta bahwa dana yang dikumpulkan di masjid-masjid digunakan untuk keperluan umat Islam, dan mencabut subsidi “penuntun” agama.

Mungkin yang dimaksud oleh kedua orang tersebut sebagai Dewan Ulama’ ialah sejenis Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sekarang menjadi sumber fatwa ad hoc dari Pemerintah Indonesia (meskipun kadang fatwa nya tidak seampuh Kiai atau Ustad dari organisasi-organisasi Islam di Indonesia).

Dewan Ulama’ tersebut dijelaskan dengan rinci melalui esai selanjutnya, dari dua esai tentang Raad Ulama’ ini, pembaca akan tahu organisasi yang diampu oleh Misbach bernama Sidik, Amanah, Tabligh, Vatonah (S.A.T.V).

Raad Ulama’ tersebut terdiri atas anggota yang dipilih dari tiap daerah oleh masyarakat Hindia Belanda, diakui oleh pemerintah Belanda, dan mendapatkan gaji dari Baitulmal. Raad Ulama’ ini bisa menjadi otoritas tunggal dalam permasalahan umat Islam di Indonesia bersangkutan dengan fatwa yang bisa mereka keluarkan.

Tulisan-tulisan Haji Misbach sangat menggugah pembacanya untuk berpikir bagaimana menjadi seorang muslim yang kaffah. Sudahkah usaha-usaha kita dalam beribadah setiap hari diikuti dengan amalan lain yang membantu kaum musthadafin, ataukah kita hanya memikirkan akhirat tapi melupakan bahwa di dunia masih banyak orang yang membutuhkan bantuan, se-egois itukah kita dalam beribadah?

Membaca karya si Haji Merah layaknya membaca Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis, kedua tulisan tersebut, meskipun berbeda gaya (satunya esai renungan, satunya sastra), namun sama-sama mengajak kita untuk merenungkan tindakan kita sebagai seorang muslim.

Apakah sudah kaffah tindakan kita atau justru kita termasuk orang-orang yang merugi karena tidak pernah memikirkan kemaslahatan umat. Maka dari itu, ibadah juga termasuk berbuat baik kepada sesama manusia, tolong-menolong merupakan ibadah yang tidak remeh di mata Allah S.W.T.

Baik esainya di Medan Moeslimin maupun Islam Bergerak, Haji Misbach kerap melakukan kritik dengan tidak berpaling terhadap ajaran-ajaran Islam. Pandangan semacam ini sudah jarang kita temui, hanya segelintir orang yang masih berpegang bahwa Islam berpihak kepada kaum musthadafin (orang yang tertindas), dan barang itu yang penting untuk kita renungkan lalu kita laksanakan. Karena seperti Hadis Rasulullah Muhammad S.A.W: “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, Ath- Thabrani, Ad-Duruqutni).

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.