KPU melansir terdapat 171 daerah yang mengikuti jalannya pesta demokrasi lima tahunan ini. Tidak hanya para elit sipil saja yang bergerak ikut meramaikan, namun sejumlah perwira TNI-Polri ikut terjun ke dalamnya.
Dari data yang dilansir oleh KPU dari website infopemilu.kpu.go.id, tercatat bahwa terdapat 10 anggota TNI/Polri yang maju untuk memperebutkan kursi nomor satu di daerah, baik Provinsi, Kota, ataupun Kabupaten. Sementara terdapat 7 calon wakil kepala daerah. Hal ini mengalami peningkatan dari Penyelenggaraan Pilkada di tahun 2015 dan 2017.
Ketua KPU, Arief Budiman mengatakan “terjadi kenaikan anggota TNI-Polri aktif menjadi calon kepala daerah pada Pilkada 2018, sebelumnya memang ada tapi sudah tidak aktif”. Para Perwira TNI-Polri yang menjadi kontestan Pilkada, diantaranya adalah: Letjen Edy Rahmayadi yang didukung oleh partai PKS, Hanura, Golkar, PAN, Gerindra, dan Nasdem. Kemudian di Provinsi Maluku terdapat Irjen Pol. Drs. Murad Ismail dengan partai PPP, Nasdem, dan Demokrat sebagai partai pengusungnya.
Partai PKS, Nasdem, dan PAN mengusung Brigjen TNI Edy Nasution, sebagai calon wakil Gurbenur, mendampingi Syamsuar pada Pilkada Riau. Dan Irfan Safrauddin seorang mantan Kapolda Kaltim untuk maju pada Pilkada Kaltim dengan dukungan oleh Partai Hanura dan PDIP
Kilas Balik TNI-Polri di Pemilu
Hak politik bagi TNI-Polri pada masa orde lama diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 7 Th. 1954 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, menjelaskan bahwa “Pemerintah mengadakan ketentuan-ketentuan khusus untuk memungkinkan pelaksanaan hak pilh bagi anggota-anggota Angkatan Perang dan Polisi, yang pada hari dilakukan pemungutan suara sedang dalam menjalankan tugas operasi atau tugas biasa di luar tempat kedudukannya dan apabila perlu dengan mengadakan dalam waktu sependek-pendeknya pemungutan suara susulan untuk mereka itu”
Berdasarkan ketentuan diatas maka pada era orde lama, anggota angkatan bersenjata dan polri diberikan hak yang sama sebagai warga negara, baik dalam ranah politik. Pemberlakuan kesejajaran hak politik bagi angkatan bersenjata, pada kala itu didukung oleh faktor historis, yakni konstribusi angkatan bersenjata dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia yang teramat dominan, sehingga para aparatur pembentuk hukum beranggapan, upaya pelanggaran politik angkatan bersenjata dan polri tidak dapat hadir dalam pesta demokrasi tersebut
Kemudian, terdapat pergeseran fungsi dan makna yang dialami oleh angkatan bersenjata dan polisi pada masa orde baru. Pada masa ini terdapat upaya politisasi lembaga militer, hal ini ditegaskan pada Pasal 10, 14, dan 24 UU No. 16/69 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa ABRi tidak dapat menggunakan hak untuk memilih dan dipilih, namun ABRI memiliki wakil-wakilnya dalam lembaga permusyawarakatan melalui mekanisme pengangkatan.
ABRI pada masa orde baru turut mendominasi kehidupan politik nasional dengan konsep dwifungsi ABRI, hal ini tentunya menimbulkan berbagai macam problematika dan stigma negatif di masyarakat, karena ABRI hanya digunakan untuk mengamankan serta menopang kekuasaan pemerintah pada kala itu.
Setelah pemerintahan orde baru lengser, kini Indonesia beralih kepada agenda reformasi, agenda reformasi merupakan iklim segar bagai secercah harapan kehidupan demokrasi bangsa ini, beberapa agenda pembaharuan hukum dan politik diantaranya adalah penghapusan makna dwifungsi ABRI. Netralitas TNI dan Polri diperlukan untuk menjunjung tinggi cita-cita Reformasi, Dalam konsep demokrasi, TNI-Polri merupakan alat pertahanan dan keamanan negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, oleh karena itu TNi-Polri haruslan permisif dan tidak memiliki konflik kepentingan didalamnya agar tidak menciderai prinsip demokrasi.
Pandangan Hukum
Dalam konsep demokrasi, TNI dan Polri merupakan alat pertahanan dan keamanan yang harus menjalankan fungsinya secara netral dan profesional. Kaidah hukum mengenai pengaturan ini terletak dalam UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indoensia.
Pasal 39 ayat (2) UU TNI menyebutkan “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis.” Kemudian dalam UU Polri menyebutkan “Kepolisian negara republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.”
Kiranya pengaturan hukum diatas telah menyebutkan secara tegas bahwa anggota TNI dan Polri aktif dilarang keras untuk terjun langsung dalam politik praktis,
Berdasarkan ketentuan hukum diats, secara normatif para perwira TNI/Polisi harus mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum mereka ingin terjun dalam kehidupan politik, agar menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power, serta potensi inkonsistensi politik tidak dilanggar
Lebih lanjut, fenomena diatas terletak pada UU No. 10/2016 tentang Pilkada mengatur bahwa anggota TNI dan Polri mengajukan pengunduran secara tertulis sejak ditetapkannya sebagai pasangan calon Pilkada, untuk menanggapi hal tersebut KPU menerbitkan Peraturan KPU No. 03/2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gurbenur, Bupati, dan Wali Kota menyebutkan, ketika tahap pendaftaran, bakal calon hanya melampirkan pernyataan kesediaan mengundurkan diri, setelah itu keputusan pengunduran diri dari atasan harus diberikan paling lambat 30 hari menjelang pencoblosan.
Atas fenomena ini, peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahjudi Djafar pun angkat bicara. Menurutnya akan menjadi dilematis jika regulasi yang mengatur keikutsertaan TNI dan Polri dalam politik praktis diterapkan dalam hal ini. Terdapat simpang siur antara masing-masing regulasi yang diterapkan, sehingga perlunya revisi UU Pilkada dan Peraturan KPU tersebut, pungkasnya.
Perlu diingat, para perwira TNI dan Polri memiliki rantai komandi yang jelas, rantai komando atau biasa yang dikenal sebagai esprit de corps. Perkataan atau himbauan dari perwira kepada bawahannya merupakan suatu komando yang mutlak, serta harus diikuti atau dilaksanakan oleh bawahannya, apabila komando tersebut disalah artikan maka potensi terjadinya abuse of power dalam pilkada sangatlah besar.
Lebih lanjut, perwira aktif baik TNI maupun Polri sepanjang masih berstatus aktif, dapat menggunakan sarana dan prasarana yang melekat pada jabatannya sehingga kecenderungan untuk memanfaatkan sarana dan prasarana untuk kepentingan pilkada sangatlah besar.
Atas fenomena yang telah diungkapkan di atas, penulis harap para elit sipil, serta segenap elemen masyarakat berkolaborasi bersama untuk mengajukan judicial review terhadap anomali UU UU No. 10/2016 tentang Pilkada dan Peraturan KPU KPU No. 03/2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gurbenur, Bupati, dan Wali Kota agar netralitas TNI-Polri tetap terjaga dari bujuk rayu politik praktis.
Referensi
[1] https://www.merdeka.com/politik/kpu-sebut-anggota-tni-polri-aktif-dan-asn-ikut-pilkada-2018-meningkat.html
[2] http://www.imparsial.org/publikasi/opini/tni-polri-dilarang-berpolitik/