Bulan maulid telah tiba. Mayoritas umat Muslim di berbagai belahan dunia merayakan kelahiran suri tauladannya, Nabi agung Muhammad SAW. Termasuk yang sedang heboh adalah Saudi Arabia, yang mulai tahun ini merayakan Maulid Nabi, diresmikan dengan hari libur nasional di negara tersebut. Namun meskipun demikian, apakah seluruh umat Muslim benar-benar memaknai maulid atau hanya sebagai euforia rutin saja?
Maulid pada hakikatnya adalah rasa gembira dan rasa syukur umat muslim kepada Tuhan karena dalam rangkaian alamnya ini telah menciptakan sosok mulia, sosok agung, sosok yang menjadi makhluk terbaik, Muhammad SAW. Meskipun Nabi belum pernah memerintahkan umatnya untuk merayakan hari lahirnya, namun apakah itu menjadi alasan bagi umatnya untuk tidak merayakannya? Apakah dengan demikian berarti umat Islam yang merayakan maulid merasa lebih pintar dan lebih tahu daripada Nabi?
Saya rasa tidak demikian. Logika yang benar adalah dengan merayakan maulid, berarti umat Islam justru menghormati kelahiran Nabi dengan cara memuliakannya dengan kembali mengenang sejarahnya, menceritakan perjuangannya dalam mendakwahkan Islam, dan bershalawat kepadanya. Toh, meskipun tidak ada perintah namun juga tidak ada larangan. Bukankah Nabi berpuasa hari senin karena hari itu adalah hari kelahirannya? Bukankah kaidah fikih mengatakan al-Ashlu fil asy’ya’ al-ibahah,segala sesuatu yang tidak ada perintahnya dan tidak ada larangannya adalah boleh?
Berbicara masalah maulid tidak saja berbicara masalah kelahiran Nabi Muhammad. Berbicara maulid bukan saja berbicara masalah sunnah atau bid’ah. Berbicara maulid tidak saja berbicara tentang kegembiraan. Berbicara maulid dalam konteks yang tepat adalah apakah kita sebagai umatnya telah benar-benar mengikuti segala yang diteladankan pada kita. Karena Nabi diutus ke dunia untuk dicontoh segala sikap dan perilakunya. Bukan hanya sebagai manusia yang menyampaikan risalah ketuhanan.
Kenyataan yang terjadi sekarang justru berbanding terbalik dengan keinginan Nabi terhadap umatnya. Umat yang saling bertikai, umat yang saling bertengkar, dan umat yang terpecah belah. Alasannya pun sederhana, hanya karena masalah-masalah furuiyyah yang seharusnya tidak jadi masalah.
Cahaya Muhammad itu begitu bersinar, namun kita enggan melihatnya. Cahaya Muhammad itu begitu menentramkan, namun kita enggan menyentuhnya. Sebenarnya apa yang kita cari dari perayaan maulid ini? Apakah cita-cita persatuan umat Islam atau hanya ingin saling menguatkan argument tentang boleh atau tidaknya maulid? Kalau yang kita cari hanya kebanggaan tentang dalil atau argument tentang maulid, lantas apakah dengan demikian kita bisa merasakan cahaya Muhammad yang benar-benar nyata itu?
Mental yang sakit dari umat Islam adalah ketika mereka tidak merasa bahwa saudara-saudaranya yang muslim adalah saudaranya. Mereka justru kerap menjadikan musuh siapa saja yang tidak sepaham dengannya, bahkan termasuk yang seakidah. Hal ini bukan barang baru lagi bagi umat Islam.
Sejarah mencatat bagaimana umat Islam masa lampau saling bertikai karena berbeda pandangan. Apalagi masalah yang menyangkut politik kekuasaan. Sudah masyhur di kalangan umat bagaimana sejarah perang Siffin antara pengagum Ali dan pengikut Muawiyah, dan bagaimana pula sejarah menyedihkan perang Jamal yang terjadi bahkan di internal keluarga Nabi sendiri, yakni antara Sahabat Ali dan A’isyah.
Peperangan-peperangan tersebut bukan hanya menjadi sejarah kelam umat Islam, melainkan menjadi hambatan umat Islam untuk mengembangkan dakwahnya. Bagaimana mungkin orang non-muslim mengatakan Islam adalah agama rahmat jika yang terjadi pada sejarahnya adalah pertikaian dan peperangan?
Tugas umat muslim zaman milenial adalah bukan untuk mengungkit kembali sejarah kelam tersebut. Tugas utama mereka adalah bagaimana mereka mengambil hikmah dan pelajaran agar sejarah tersebut tidak terulang kembali. Ini merupakan tugas berat, karena perkembangan teknologi yang semakin pesat akan berdampak buruk jika digunakan sebagai sarana permusuhan. Berapa banyak kita lihat pesan-pesan kebencian tersebut berkeliaran dengan bebas di media sosial.
Revolusi mental sudah saatnya digalakkan. Pemerintah dalam hal ini mempunyai peran vital dalam menangkal idelogi-ideologi ekstrem. Melalui wewenang dan kebijakannya, khususnya di media sosial, karena media sosial sebagai lading empuk bagi oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk mendoktrinasi mereka, para pemuda yang baru belajar agama. Pemuda-pemuda potensial ini seharusnya dilindungi dari ideologi-ideologi kebencian. Karena mereka sangat riskan terpengaruh terhadap marketing yang berbau agama. Mereka ingin tahu lebih dalam agama, namun jalan yang mereka tempuh bukanlah jalan yang benar.
Pemuda merupakan potensi paling vital dalam melaksanakan revolusi mental. Semangat dan idealisme yang mereka miliki akan mampu membawa kepada kemajuan bagi Indonesia jika semangat nasionalisme dan semangat beragama yang humanis mampu mereka emban. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, bangsa ini niscaya akan terus-menerus berada dalam keterpurukan dan perpecahan.
Maulid adalah sarana paling tepat untuk mengenalkan mereka kepada suri tauladannya. Bagaimana cahaya-cahaya Nabi Muhammad itu bisa merasuk ke dalam kalbu-kalbu mereka. Agar para pemuda itu mengerti bahwa suri tauladannya tak pernah mencaci. Nabinya tak pernah membenci, karena agama yang dibawa adalah agama kasih sayang. Maulid juga sebagai sarana agar mereka tahu bahwa nabinya diutus bukan sebagai pelaknat, melainkan sebagai rahmat.
Semoga di bulan maulid ini Tuhan mengabulkan permintaan kita untuk diakui sebagai umat Nabi Muhammad SAW, sang penolong di hari akhir kelak, amin.