Hancur sudah sepakbola sebuah negara jika induk organisasinya lebih mementingkan presentasi ketimbang prestasi. Akan hancur juga sepakbola sebuah negeri saat federasinya tidak serius mengurus liga dan timnas negara tersebut. Maka hancur sudah sepakbola Indonesia kalau ternyata induk organisasi ikut bermain dalam permainan kotor, yaitu pengaturan skor.
Ketidakseriusan PSSI mengatur sepakbola dapat dilihat dari gagalnya PSSI memperpanjang kontrak Luis Milla. Ada rumor yang menyebutkan bahwa ada pihak tertentu yang tidak menginginkan Luis Milla kembali menunggangi timnas. Tujuannya satu, agar Indonesia gagal juara AFF. Dilihat dari segi permainan, permainan Indonesia juga sangat hancur dibawah kepelatihan Bima Sakit, padahal pemainnya masih sama seperti yang diracik oleh Luis Milla.
Selain perkara Luis Milla, penuntasan match fixing atau pengaturan skor juga tidak menjadi prioritas PSSI. Hidayat, yang merupakan anggota Exco PSSI terbukti ingin melakukan pengaturan skor pada pertandingan PSS Sleman melawan Madura FC. Tapi, hukuman yang dijatuhkan oleh PSSI hanya 3 tahun dilarang berkecimpung di dunia sepakbola. Berbeda saat pemain yang melakukan kesalahan di dalam lapangan, yang dihukum seumur hidup. Karirnya putus, kasusnya dianggap sudah selesai.
Kejahatan pengaturan skor adalah kejahatan paling kejam. Tetapi ternyata, kejahatan paling kejam dalam dunia sepakbola adalah sebuah induk organisasi bola yang sudah tahu terjadi pengaturan skor tetapi masih tidak meneruskan kasus tersebut untuk membuka nama-nama dibalik itu semua. Kasus lainnya adalah kasus sepakbola gajah 4 tahun silam, yang akhir ceritanya seakan ditelan bumi, hilang seketika, tanpa pernah diungkap siapa dalangnya. Kembali, pemain dan pelatih menjadi wayang sekaligus kambing hitam. Sepakbola Indonesia akan terus jalan di tempat atau malah cenderung mundur ke belakang kalau ini tetap terus dibiarkan.
Selain itu, hukuman Komdis PSSI juga sering tak relevan, yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hal ini terbukti dengan seriusnya PSSI memfasilitasi anggota Exco yang terlibat pengaturan skor. Sementara itu, PSSI sangat kejam dengan menjatuhi hukuman yang sangat kejam ke pemain yang menjadi wayang pertandingan pengaturan skor. Tanpa mencari dan membuka siapa dalangnya, kasus pemain tersebut seakan sudah selesai, pemain bersalah. Tak ada satupun nama yang muncul kepermukaan siapa dalang dibalik pengaturan skor tersebut.
PSSI seakan terlihat sangat jelas, sangat melindungi mereka yang terlibat pengaturan skor. PSSI sangat melindungi orang yang jelas-jelas bersalah, maka patut dipertanyakan, ada apa dengan PSSI? Sebegitu membelanya dengan mereka yang terlibat pengaturan skor. Kini, harapan penikmat sepakbola di Indonesia tak bisa lagi digantungkan ke PSSI. PSSI seperti kolam, kolam yang sangat kotor, terdapat banyak bibit-bibit penyakit di dalamnya. Apapun ikan yang hidup disana maka akan tercemar juga.
Sangat banyak persoalan yang tak bisa diselesaikan oleh PSSI, semisal penentuan jadwal liga, kinerja wasit, kesehatan finansial tim, dan persiapan timnas Indonesia. Saat ini, sangat banyak tim di Indonesia yang memiliki kesehatan finansial yang sangat buruk. Hasilnya, tim memilih jalan pintas untuk membayar gaji pemainnya, dengan cara menjual “diri” ke mafia.
Kini, harapan kita semua ada di pundak Satgas Anti-Mafia Bola untuk membersihkan kolam yang sudah kotor tersebut. Kalaupun ternyata sepakbola Indonesia masih terdapat mafia dan ternyata mafianya adalah pengurus PSSI lagi, rasanya lebih baik jika Indonesia tanpa sepakbola saja.