Sebelum digitalisasi merebak, seorang Jurnalis adalah sesosok manusia yang mengetahui banyak hal esklusif dibandingkan kebanyakan orang. Sebagai penyampai berita, sekaligus pusat informasi publik. Selain kemampuannya mengolah peristiwa, seorang Jurnalis biasanya juga mengetahui banyak hal yang tak terpublikasi, sehingga buku seri sejarah kecil “petitie histoire” yang ditulis Alm. Rosihan Anwar, menjadi sangat referensial untuk menelaah kembali sejarah lalu dari sisi lebih subyektif.
Dalam setiap peristiwa, seperti halnya musibah kemanusiaan, orang baru tahu informasi tersebut, kalau ada jurnalis yang mengabarkannya. Dahulu dengan maraknya media elektronik, informasi bisa melesat lebih cepat, dibandingkan koran harian. Kini setiap orang bisa menjadi pengabar melalui ponsel mereka masing-masing. Sehingga beberapa menit pasca kejadian, atau bahkan ketika kejadian tengah berlangsung, informasi sudah menyebar ke jejaring sosial.
Pada era seperti ini, posisi jurnalis sebagai pengabar berita, sepertinya tidak lagi tunggal. Bahkan disatu sisi, tak jarang media yang hanya mencatut informasi dari jejaring sosial, yang entah diunggah oleh siapa. Terutama media daring, yang belakangan menjamur seperti gulma di musim penghujan.
Namun patut diingat, bahwa ada pembeda yang jelas ketika informasi tersebut diunggah oleh orang yang secara serampangan, dengan seorang jurnalis terlatih. Seorang jurnalis dibekali kemampuan mengolah informasi dengan komplit, dari 5w+1h sampai validitasnya. Informasi baru dipublikasikan, setelah memenuhi syarat-syarat tersebut.
Sisi jurnalisme semacam ini perlu kiranya dimiliki oleh siapapun, meski ia hanya seorang “konsumen peristiwa”. Sebab informasi yang simpang siur, dan kemudian diunggah ke publik, bisa menimbulkan beragam penafsiran, salah paham, atau menjadi sasaran empuk bagi mereka yang hendak membelokkannya dengan isu tertentu.
Banyak foto yang diambil beberapa tahun silam, kemudian diunggah kembali untuk digiring pada isu tertentu. Sementara tak semua pengguna jejaring sosial tahu validitasnya, dan lebih banyak dari mereka yang rendah sisi jurnalismenya, sehingga percaya begitu saja.
Menjadi sangat menggelisahkan ketika hal ini juga terjadi pada media, yang katakanlah, cukup punya nama atau yang dikunjungi banyak pembaca. Meski hal serupa banyak didapati pada media daring yang tak jelas identitasnya, tidak jelas siapa pemiliknya, tidak tercantum pula struktur redaksinya. Media yang hanya untuk menghantam pihak-pihak yang berbeda dengannya.
Masalahnya, sekarang ini banyak juga media yang tergoda dengan banyaknya pengunjung. Sebab dari sisi bisnis sangat menggiurkan, pertaruhannya dengan pendapatan. Sangat dilematis, disatu sisi ingin menyajikan informasi yang terpercaya, namun disisi lain keberlangsungan media tersebut sangat bergantung pada ketersediaan dana, sehingga informasi yang masih simpang siur dengan lekas dipublikasikan, dengan alasan bisa mengklarifikasinya setelah jelas faktanya.
Tapi itu urusan mereka, yang terpenting bagaimana jurnalisme bisa dihidupkan kembali, diperluas sampai pada level rakyat biasa, yang kerap dijadikan obyek adu domba. Dengan misalkan, menambah mata pelajaran Jurnalistik pada kurikulum pendidikan kita, atau pada kelas-kelas di Universitas. Meski ada banyak Universitas yang mewajibkan Mata kuliah Pendidikan Jurnalistik, namun pada umumnya lebih pada menulis kreatif, ketimbang kemampuan mengalisis.
Artinya, jurnalisme tidak selalu berkait langsung dengan keterampilan menulis, tapi lebih bagaimana menelaah berita. Sebab karya jurnalistik toh tidak selalu disajikan dalam bentuk tulisan, bisa dalam bentuk audio dan visual.
Pada level paling sederhana, jurnalisme bisa dimunculkan dengan tidak serta merta percaya pada berita yang ditulis media tanpa identitas, terutama media daring. Cek dahulu media tersebut, biasanya pada navigasi websitenya tercantum struktur redaksi, serta alamat dan email yang bisa dihubungi. Jika tidak ada, dan lantas beritanya begitu bombastis, anggap saja angin lewat.
Jurnalisme penting dalam rangka mengklarifikasi kebenaran, jangan sampai jurnalisme mati, sehingga orang dengan mudah terombang ambing oleh berita dan wacana yang tidak jelas siapa pengumpannya. []