Minggu, April 28, 2024

Masyarakat Modern dan Hukum Modern

Aloysius Budipratama
Aloysius Budipratama
Berminat dalam bidang Hukum dan Kebijakan Publik. Menyelesaikan Studi S2 Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Menyelesaikan Teori S3 Hukum Universitas Katolik Parahyangan, dan Menyelesaikan Teori S3 Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran. Pernah terlibat sebagai peneliti pada Lembaga Penelitian di Jakarta.

Kehidupan dan fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini boleh diberi label sebagai masyarakat modern dan berlindung pada payung hukum modern. Terminologi masyarakat modern muncul sekitar dua ratus tahun lalu di Eropa Barat, yang berhimpitan erat dengan industrialisasi.

Sebab konsep modernisasi yang melahirkan masyarakat modern pada dasarnya berpangkal dari adanya industrialisasi. Modernisasi sebagai proses mengglobal telah menjadikannya sadar atau tidak, sengaja atau tidak, setuju atau tidak, merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari oleh siapapun di dunia ini.

Selain itu ramuan pemikiran rasional sebagai cara berpikir duniawi juga sangat mempengaruhi terbentuknya masyarakat modern. Berpikir rasional berarti semua klaim kebenaran harus dapat dipertanggung-jawaban secara argumentatif.

Cara berpikir modern tentu berbeda dengan cara berpikir masyarakat beberapa abad silam. Cara berpikir hukum pada masyarakat Yunani kuno misalnya, selalu menempatkan manusia sebagai bagian dari alam semesta.

Seluruh peristiwa yang terjadi sejak kemunculan hingga kelenyapannya merupakam keharusan alam yang diyakini sebagai hukum atau nomos. Perubahan pemikiran Yunani kuno berangsur terjadi sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi dengan kemunculan kaum Sofis yang memberikan pencerahan pemikiran terhadap warga kota. Pemikiran tentang hukum dalam tradisi Yunani Kuno selanjutnya banyak dipengaruhi oleh triumvirat Sokrates, Plato, dan Aristoteles, yang menekankan pentingnya keinsyafan  peran manusia sendiri sebagai keutamaan dalam pembentukan hukum.

Kekaisaran Romawi dalam perjalanannya banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani dan agama Kristiani. Hukum Romawi sebelum Masehi sebenarnya hanya berlaku didalam  kota Roma, namun berangsur menjadi semakin universal seturut perluasan wilayah kekuasaan Romawi.

Hukum Romawi semula hanya berfungsi sebagai pedoman hakim dalam memutus perkara yang menempatkan peraturan kaisar sebagai undang-undang. Pada tahun 528-534 Masehi seluruh perundang-undangan Kekaisaran Romawi dikumpulkan dalam satu Kodeks atas perintah Kaisar Yustinianus yang dikenal sebagai Codex Iuris Romani atau Codex Iustinianus atau Corpus Iuris Civilis. Hukum Romawi dipelajari secara mendalam oleh para sarjana, dan terbukti memberikan kontribusi besar dalam pembentukan hukum modern.

Pemikiran hukum pada masa silam juga tidak dapat dilepaskan dari dinamika abad pertengahan berkisar antara abad ke-5 hingga ke-15 Masehi. Abad pertengahan ditandai sejak keruntuhan Kekaisaran Romawi hingga awal kemunculan Renaisans. Masa yang berlangsung sekitar 1000 tahun ini ditandai oleh dominasi agama-agama besar terutama Kristiani dan Islam. Kedua agama ini  memberi berpengaruh sangat besar terhadap pandangan hidup dan pembentukan hukum.

Konstruksi yang muncul adalah untuk dapat disebut hukum berarti selalu berkaitan erat dengan ajaran agama. Konsekuensi dari validitas konstruksi hukum demikian adalah bahwa hukum positif harus sesuai dengan ketentuan agama. Hukum berdasarkan pandangan agama Islam dikonstruksikan sebagai bagian dari wahyu secara langsung. Sedangkan agama Kristiani mengkonstruksikan bahwa wahyu  mempengaruhi hukum secara tidak secara langsung.

Perbedaan pandangan dari kedua agama ini merupakan konsekuensi dari perbedaan pandangan terhadap hukum alam. Agama Kristiani cenderung mempertahankan hukum alam sebagai norma karena alasan alam adalah ciptaan Tuhan. Sedangkan agama Islam cenderung berpandangan sudah cukup dengan mengunggulkan hukum agama tanpa perantaraan hukum alam.

Pengertian hukum secara tradisional sebagaimana tercermin pada pemikiran Yunani Kuno, Romawi Kuno dan Abad Pertengahan boleh dikatakan bersifat ideal. Sedangkan pengertian hukum zaman modern, yaitu sejak abad ke-15 hingga abad ke-20 lebih bersifat empiris. Hukum zaman modern selalu meletakan tekanan pemahaman hukum sebagai entitas yang dibentuk oleh manusia dan untuk manusia sendiri.

Pada zaman modern, hukum positif yang diciptakan selalu berada di dalam konteks kekuasaan negara sebagai keutamaan pemikiran. Pembentukan hukum zaman modern dilakukan dengan cara terlebih dulu mengadakan kajian-kajian ilmiah lintas disiplin ilmu oleh para ahli. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Prof Arief Sidharta, “Hukum adalah gejala kemasyarakatan yang majemuk, banyak aspek, dimensi dan faset.

Hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, agama dan seterusnya. Hukum dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat, dimana bentuknya ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan bentuk dan sifat-sifat masyarakat itu sendiri. Dengan demikian dalam dinamikanya, hukum selalu dikondisikan dan mengkondisikan masyarakat”.

Di dalam hukum sekaligus terkandung dua kecenderungan: (1) Kecenderungan Konservatif: yang diujudkan dalam bentuk mempertahankan dan memelihara apa yang sudah dicapai; (2) Kecerungan Modernisme: yang diujudkan dalam bentuk membawa, mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan. Oleh karena itu didalam implementasinya, hukum memerlukan kekuasaan dan sekaligus menentukan batas-batas serta cara-cara penggunaan kekuasaan”.

Pemikiran masyarakat modern tentang hukum tidak dapat menisbikan pemikiran positivisme hukum, yang beberapa elemen ajarannya  juga mewarnai pemberlakuan hukum dimanapun  negara di dunia. Dalam bentuk ekstrem faham Positivisme Hukum telah melahirkan pandangan legisme, yang menyatakan hukum adalah undang-undang, sehingga tidak ada hukum selain dalam bentuk undang-undang.

Namun yang patut kita renungkan bersama saat ini adalah, pandangan positivisme hukum yang menyatakan bahwa semua perundang-undangan yang tercipta harus berdasarkan prosedur yang sah dari kekuasaan negara yang sah. Dengan demikian satu-satunya kriteria keberlakuan hukum apabila pembuatan dan perundangannya dilakukan secara resmi oleh penguasa negara yang sah.

Positivime hukum sama sekali tidak pernah menutup pintu agar hukum yang dianggap tidak adil tidak boleh diperbaiki atau diganti. Perbaikan, penyempurnaan, ataupun pencabutan perundang-undangan dalam pandangan positivisme hukum mutlak dapat dilakukan asalkan dilakukan berdasarkan prosedur yang telah digariskan oleh penguasa negara yang sah.

Masyarakat Modern yang selalu mendengungkan maksimalisasi akal agar dapat dipertanggung-jawabkan secara argumentatif, Hukum Modern yang selalu mendengungkan perlunya keterlibatan ahli dalam kajian ilmiah pembentukan hukum, dan Positivisme Hukum yang selalu mendengungkan validitas prosedur yang diciptakan oleh otoritas negara, kesemuanya merupakan hasil peradaban manusia yang bernilai dan menjadi kebutuhan bersama. Karakter masyarakat modern yang selalu berpikir rasional telah membawa karakter hukum modern juga  diciptakan secara rasional.

Aloysius Budipratama
Aloysius Budipratama
Berminat dalam bidang Hukum dan Kebijakan Publik. Menyelesaikan Studi S2 Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Menyelesaikan Teori S3 Hukum Universitas Katolik Parahyangan, dan Menyelesaikan Teori S3 Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran. Pernah terlibat sebagai peneliti pada Lembaga Penelitian di Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.